Kisah Mansa Musa Orang dengan Kekayaan Rp5.897 triliun Setelah Haji

Senin, 11 Oktober 2021 - 05:15 WIB
loading...
Kisah Mansa Musa Orang dengan Kekayaan Rp5.897 triliun Setelah Haji
Setelah pulang dari haji, Mansa Musa mengubah kebijakan pembangunan di negerinya. (Ilustrasi/Ist)
A A A
Setelah pulang dari haji, Mansa Musa mengubah kebijakan pembangunan di negerinya. Orang terkaya sepanjang masa dengan kekayaan US$400 miliar atau setara Rp5.897 triliun ini gencar membangun perpustakaan, sekolah, universitas, masjid dan istana bermunculan.



Pada saat berhaji jumlah total kafilah Mansa Musa menuju ke Tanah Suci adalah 60.000 orang, termasuk 12.000 budak, yang masing-masing membawa empat pon emas (1,8 Kg) emas, disamping perbekalan lainnya.

Terdapat pula sekitar 80 unta yang berfungsi khusus untuk membawa emas. Emas yang dibawa unta-unta ini sekitar 300 pound (136 Kg) per hewan, atau bila ditotalkan sama dengan 24 ton emas.

Peristiwa haji Mansa Musa seakan menggugat superioritas Bangsa Arab di antara bangsa-bangsa Muslim lain di dunia. Bangsa Arab, bagaimana pun memiliki perasaan sebagai bangsa unggulan, terlebih Rasulullah SAW sendiri merupakan keturunan Arab.

Meski Islam datang untuk membongkar pemahaman sempit ini, namun penyakit ini tetap tumbuh, terlebih bila berhadapan dengan bangsa Afrika yang berkulit hitam, yang selama berabad-abad lamanya menempati strata terbawah, bahkan di kelas budak dalam stratifikasi masyarakat Arab Jahiliyah.

Lalu tiba-tiba datang seorang raja berkulit hitam dengan segenap kemewahan, kekuasaan, dan sifat glamornya, membanjiri kota-kota dengan emas dan kekayaan yang melimpah.

Para elit lokal yang dia temui pastilah sangat terpukul oleh agregat kekayaan dan posisi kekuasaannya yang begitu jauh, jika dibandingkan dengan kekayaan dan kekuatan absolut Mansa Musa.

Di luar dunia Islam, bagi bangsa-bangsa Eropa, yang pada masa itu sedang memasuki era penjelajahan dan penemuan, fenomena Mansa Musa menjadi catatan tersendiri. Dan tak sampai 7 tahun dari masa perjalanan hajinya, nama Mansa Musa muncul di peta penguasa dan penjelajah bangsa Eropa, meskipun letak kekaisarannya sering salah tempat.

Bagi Mansa Musa sendiri, perjalanan ini menjadi titik balik dari visi pemerintahannya. Setelah melihat-lihat pemandangan di Kairo dan tempat lain, Mansa Musa melihat kemungkinan tak terbatas untuk membangun pusat-pusat kota kekaisarannya.

Setelah meninggalkan Mekkah – dan kemudian Kairo – Mansa Musa membujuk sejumlah ilmuwan, arsitek, dan pengrajin untuk datang dan bekerja padanya.



Gencar Membangun
Eamonn Gearon, dalam bukunya Turning Points in Middle Eastern History, mengatakan begitu sampai di tanah airnya, Mansa Musa mengatur karyawan barunya untuk tugas konstruksi dalam skala yang belum pernah dilihat oleh Kekaisaran Mali.

Perpustakaan, sekolah, universitas, masjid dan istana bermunculan. Mali tumbuh menjadi kota dan pusat pembelajaran abad pertengahan, dan Universitas Timbuktu, yang didirikan oleh Mansa Musa pada tahun 1327, menjadi tenar dan menarik perhatian calon ilmuwan belajar di sana.

Tapi, puncak masa keemasan Mali tersebut hanya berlangsung sekejap. Mansa Musa meninggal pada 1337 setelah 25 tahun memerintah Mali.

Sepanjang sejarah Mali, tak ada raja pengganti yang mampu menandingi kualitas Mansa Musa. Bahkan, ketika sejarawan Muslim yang terkenal, Ibn Khaldun menulis karya magnum opus-nya, Muqaddimah, pada tahun 1377 – atau hanya 50 tahun setelah perjalanan haji Mansa Musa ke Mekkah – Kekaisaran Mali telah mulai mengalami kemunduran yang signifikan.

Akhirnya, Kekaisaran Songhai yang berbasis di Afrika Barat, dengan ibu kotanya Goa (Sekarang Nigeria), muncul dan mengalahkan Kekaisaran Mali yang kian memudar pengaruhnya pada akhir abad ke-14, 15, dan 16.

Kekayaan dan kemasyuran emas Mansa Musa juga tidak selalu berujung baik. Pada tahun 1591, tentara Maroko menyerang dan menaklukkan Kekaisaran Mali, yang pada waktu itu sudah nyaris tidak ada. Sayangnya, pasukan yang menyerang sangat kecewa saat mengetahui bahwa jalan-jalan Timbuktu tidak diaspal dengan emas.

Sedang dari utara, rasa ingin tau menyeruak di pikiran bangsa Eropa. French Geographical Society menawarkan hadiah uang 10.000 franc kepada orang pertama yang mencapai Timbuktu dan kembali dengan informasi tentang kota tersebut. Hadiah tersebut akhirnya diklaim pada tahun 1820 oleh penjelajah Prancis René Caillié. Caillié melaporkan bahwa tidak ada yang menarik atau emas dari kota legendaris tersebut.

Setelah kematiannya, legenda Mansa Musa hilang begitu saja, berikut emas dan segenap kekayaan alamnya yang luar biasa. Timbuktu yang dulu marak sebagai pusat produksi emas, segera menyusut pamornya sedemikian rupa, seiring dengan “menghilangnya” emas dari tanah Mali.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2931 seconds (0.1#10.140)