Ketika Jatuh Sakit, Rabiah Al-Adawiyah: Tuhanku Mendisiplinkanku
loading...
A
A
A
Farid al-Din Attar dalam bukunya berjudul Tadhkirat al-Auliya’ dan diterjemahkan ke bahasa Inggris olehA.J. Arberry menjadi Muslim Saints and Mystics menceritakan bahwa suatu hari Rabiah Al-Adawiyah jatuh sakit. Dia ditanya apa penyebabnya.
“Aku memandang Firdaus,” jawabnya, “Dan Tuhanku mendisiplinkanku.”
Kemudian Hasan al-Basri pergi untuk menjenguknya. “Aku melihat salah satu pemuka Basra berdiri di depan pintu rumah Rabiah, dia ingin memberikan pundi emasnya dan menangis,” kata Hasan bercerita.
“Aku berkata, ‘Tuan, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Karena wanita suci zaman ini, karena jika berkah kehadirannya hilang dari umat manusia, mereka pasti akan binasa. Aku membawa sesuatu untuk biaya perawatannya, dan aku khawatir dia tidak mau menerimanya. Apakah engkau mau mengambil dan memberikannya untuk dia?’.”
Lalu Hasan masuk dan berbicara. Rabiah menatapnya dan berkata, “Dia menafkahi mereka yang menghina-Nya, dan tidak akankah Dia menafkahi mereka yang mencintai-Nya?
Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Aku tidak tahu apakah harta seseorang halal atau tidak; lalu bagaimana aku bisa menerimanya?
Aku pernah menjahit pakaianku yang rusak dengan cahaya dunia. Untuk sesaat hatiku terlena, hingga aku tersadar. Lalu aku merobek pakaian itu di tempat aku menjahitnya, dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepada tuan itu mendoakanku agar jangan sampai hatiku terlena.”
Pada hari lainnya, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi pergi menjenguk Rabiah di pembaringannya.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Hasan memulai, “jika dia tidak tabah menerima ujian dari Tuhannya.”
“Kata-kata ini berbau egoisme,” kata Rabiah menanggapi.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Syaqiq mencoba, “jika dia tidak bersyukur atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” kata Rabiah.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Malik juga mencoba, “jika dia tidak bergembira atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” ulang Rabiah.
“Lalu bagaimana menurutmu?” desak mereka.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” kata Rabiah, “jika dia tidak melupakan ujian dalam merenungi Tuhannya.”
“Aku memandang Firdaus,” jawabnya, “Dan Tuhanku mendisiplinkanku.”
Kemudian Hasan al-Basri pergi untuk menjenguknya. “Aku melihat salah satu pemuka Basra berdiri di depan pintu rumah Rabiah, dia ingin memberikan pundi emasnya dan menangis,” kata Hasan bercerita.
“Aku berkata, ‘Tuan, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Karena wanita suci zaman ini, karena jika berkah kehadirannya hilang dari umat manusia, mereka pasti akan binasa. Aku membawa sesuatu untuk biaya perawatannya, dan aku khawatir dia tidak mau menerimanya. Apakah engkau mau mengambil dan memberikannya untuk dia?’.”
Lalu Hasan masuk dan berbicara. Rabiah menatapnya dan berkata, “Dia menafkahi mereka yang menghina-Nya, dan tidak akankah Dia menafkahi mereka yang mencintai-Nya?
Sejak aku mengenal-Nya, aku berpaling dari makhluk-makhluk-Nya. Aku tidak tahu apakah harta seseorang halal atau tidak; lalu bagaimana aku bisa menerimanya?
Aku pernah menjahit pakaianku yang rusak dengan cahaya dunia. Untuk sesaat hatiku terlena, hingga aku tersadar. Lalu aku merobek pakaian itu di tempat aku menjahitnya, dan hatiku menjadi lega. Mintalah kepada tuan itu mendoakanku agar jangan sampai hatiku terlena.”
Pada hari lainnya, Hasan al-Basri, Malik bin Dinar, dan Syaqiq al-Balkhi pergi menjenguk Rabiah di pembaringannya.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Hasan memulai, “jika dia tidak tabah menerima ujian dari Tuhannya.”
“Kata-kata ini berbau egoisme,” kata Rabiah menanggapi.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Syaqiq mencoba, “jika dia tidak bersyukur atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” kata Rabiah.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” Malik juga mencoba, “jika dia tidak bergembira atas ujian dari Tuhannya.”
“Kami membutuhkan sesuatu yang lebih baik dari itu,” ulang Rabiah.
“Lalu bagaimana menurutmu?” desak mereka.
“Seseorang tidak dapat dipercaya kata-katanya,” kata Rabiah, “jika dia tidak melupakan ujian dalam merenungi Tuhannya.”
(mhy)