Tafsir Surat Yasin Ayat 20-22: Figur Orang Tak Bernama dari Pinggiran Kota

Kamis, 25 November 2021 - 17:11 WIB
loading...
Tafsir Surat Yasin Ayat 20-22: Figur Orang Tak Bernama dari Pinggiran Kota
Surat Yasin ayat 20-22 berkisah tentang sosok tak bernama yang membela sang utusan. (Foto/Ilustrasi: Dok SINDOnews)
A A A
Surat Yasin ayat 20 -22 memuat kisah tentang seseorang yang datang dari “pinggiran kota”. Ia datang dengan tergesa-gesa setelah mendengar kabar tentang para utusan yang didustakan oleh masyarakat Antokiah dan mereka mengancam akan menyiksa para utusan itu.



Kedatangannya untuk memverifikasi dan menguatkan misi para utusan yang keselamatannya sedang terancam serta mengimbau kepada masyarakat Antokiah untuk menerima dakwah para utusan tersebut.

Orang ini tidak disebut namanya dalam Al-Quran. Pada mufassir pun berbeda pendapat tentang siapa gerangan orang ini. Hanya saja, mayoritas mufassir menyepakati namanya adalah Habib al-Najjar.

Allah SWT berfirman:

وَجَاۤءَ مِنْ اَقْصَا الْمَدِيْنَةِ رَجُلٌ يَّسْعٰى قَالَ يٰقَوْمِ اتَّبِعُوا الْمُرْسَلِيْنَۙ
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْـَٔلُكُمْ اَجْرًا وَّهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ۔


Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas dia berkata, “Wahai kaumku! Ikutilah utusan-utusan itu. Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” ( QS Yasin : 20-21 )

Prof Dr Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah memaknai “ujung kota” tersebut dengan “pinggiran kota”. Ia mengutip dari Ibnu ‘Asyur yang mengatakan bahwa kata Aqsa yang berarti ujung atau tempat jauh mengindikasikan bahwa sebelum tersebar di pusat kota, keimanan kepada Allah pada waktu telah menyebar di pinggiran kota terlebih dahulu.

Lalu mengapa penyebaran tauhid itu tidak langsung di pusat kota?

Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur dikatakan bahwa, hal itu terjadi karena di pusat kota merupakan pemukiman para penguasa dan pemuka-pemuka Yahudi yang tidak rela kekuasan mereka terusik.

Ketiga utusan itu ditolak oleh penguasa dan pemuka-pemukanya dengan alasan-alasan yang tidak logis.

Secara tidak langsung hal itu turut mempengaruhi terhadap pola pikir masyarakat sekitarnya. Pola pikir masyarakat menjadi ngawur dan tidak logis. Atas kericuhan ini, datanglah seorang lelaki dari “ujung kota” itu untuk menetralisir keadaan.



Laman Tafsir Al-Quran menyebu para mufassir berbeda pendapat mengenai identitasnya. Suyuti mengatakan bahwa namanya adalah Habib al-Najjar. Hal serupa juga dikemukakan al-Bantani, Wahbah Zuhaili, al-Zamakhsyari, serta Ibnu Katsir. Menurut al-Tabari namanya adalah Habib bin Muro. Ibnu ‘Asyur mengatakan Habib bin Murrah.

Terlepas dari perbedaan-perbedaan itu, Quraish Shihab cenderung memfokuskan pada inti pesan redaksinya. Ia mengatakan bahwa siapapun orangnya atau namanya, yang terpenting adalah ayat di atas menunjukkan betapa tulusnya yang bersangkutan sehingga ia rela datang jauh-jauh demi membela para utusan tersebut. Agar lebih mudah, selanjutnya kita sebut orang dari “ujung kota” itu dengan nama Habib.

Pembelaah Habib atas utusan-utusan itu terkait dengan pendustaan dan ancaman yang dilakukan oleh masyarakat Antokiah.

Tidak Logis
Dalam ayat ke 18 diyatakan bahwa masyarakat Antokiah memvonis tiga utusan itu sebagai pembawa sial. Anggapan ini merupakan hasil dari kebiasaan mereka dalam menentukan nasib, yaitu berdasarkan tradisi pelepasan burung ketika ingin bepergian.

Adapun kaitan anggapan negatif masyarakat Antokiah dengan kedatangan Habib adalah bentuk pembelaan logis yang ia kemukakan. Habib mengatakan bahwa ciri-ciri kejujuran utusan tersebut adalah mereka tidak meminta imbalan atas dakwah dan pertolongan mereka. Orang-orang seperti itu pantas untuk diikuti seruannya.

Hal ini secara tidak langsung menyindir tradisi aneh masyarakat Antokiah yang tidak logis. Bagaimana bisa seorang yang tidak memungut sepeserpun atas pertolongannya dianggap pembawa sial. Selain itu, pembelaan tersebut, menurut Quraish Shihab, menyiratkan kebiasan-kebiasan masyarakat Antokiah yang penuh pamrih.

Ketulusan sudah hilang dari mereka. Pikirannya dipenuhi dengan kecurigaan atas untung material yang akan didapatkan oleh para utusan itu.

Masyarakat Antokiah hampir tidak percaya adanya ketulusan. Kecurigaan yang demikian tidak akan timbul apabila tidak ada tradisi untung-rugi yang mendarah daging dalam setiap aktivitas sosial mereka.

Pantas saja, pembelaan yang dikemukakan oleh Habib adalah, “Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. Secara tidak langsung menyindir pandangan masyarakat Antokiah masa itu. Mereka mengukur semua orang dengan diri mereka sendiri dan selalu menduga adanya keuntungan material dibalik aktivitas semua orang.



Allah SWT berfirman:

وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ


Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan? ( QS Yasin : 22 )

Wahab bin Munabbih sebagaimana dikutip ucapannya oleh Ibn Jarir at-Tabari menyatakan bahwa Habib adalah sosok pemuda pemberani yang dengan gagahnya memperjuangkan dan membela kebenaran yang diyakininya. Ia tidak gentar ‘melawan arus’ demi mempertahankan idealismenya.

Habib menyuarakan tauhid kepada kaumnya yang menyembah berhala. Ia juga dengan terang-terangan menampakkan keimananya kepada mereka. Akibat hal tersebutlah pada beberapa ayat berikutnya diceritakan Habib sampai dibunuh oleh penduduk Antokiah.

Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, ucapan Habib tersebut merupakan sebuah bentuk pertanyaan yang secara lahiriah ditujukan kepada dirinya sendiri, namun hakikatnya merupakan sindiran pada orang-orang yang enggan menyembah Allah Swt yang telah menciptakan mereka seperti para penduduk Antokiah ini.

Sementara Ibn Asyur berpendapat, kalimat tersebut seakan-akan menanyakan, “Siapa yang bisa mencegahku menyembah Tuhan yang telah menciptaku?” Sebab Allah Swt telah memberikan manusia keinginan (iradah) dan kemampuan (qudrah) untuk melaksanakan perintahnya.

Allah SWT juga telah menerangkan melalui utusan-utusannya mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Insan: 3 yang berbunyi:

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. ( QS AL-Insan : 3 )

Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menggaris bawahi kata fatara yang menurutnya berbeda dengan kata khalaqa maupun ja’ala yang sama-sama berarti menciptakan.

Fatara bermakna menciptakan dari ketiadaan atau penciptaan yang pertama kali. Ini mengisyaratkan bahwa Allah Swt adalah yang pertama kali menciptakan manusia dan kelak kepadanya pulalah terakhir kali mereka akan dikembalikan.

Kita semua berasal dari Allah SWT Kita dan segala nikmat yang kita rasakan hakikatnya milik Allah SWT semata, maka ketika masanya telah tiba, semua akan kembali kepadanya. Filosofi ini yang agama Islam ajarkan ketika seseorang menghadapi musibah.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1996 seconds (0.1#10.140)