Surat Yasin Ayat 28-29: Satu Teriakan Menghabisi Penduduk Antokiah

Jum'at, 03 Desember 2021 - 19:07 WIB
loading...
Surat Yasin Ayat 28-29: Satu Teriakan Menghabisi Penduduk Antokiah
Surat Yasin Ayat 28-29 menjelaskan tentang nasib orang-orang yang mendustakan Habib an-Najjar dan para rasul yang menyampaikan dakwah tentang kebenaran. (Foto/Ilustrasi: Dok. SINDOnews)
A A A
Surat Yasin ayat 28-29 menjelaskan tentang nasib orang-orang yang mendustakan Habib an-Najjar dan para rasul yang menyampaikan dakwah tentang kebenaran.

Habib an-Najjar yang membela para utusan dibunuh oleh penduduk Antokiah. Pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa Habib terpilih sebagai penghuni surga dan sampai menjelang ajalnya, ia tetap menyampaikan pesan damai kepada kaumnya.



Lantas bagaimana nasib orang-orang yang mendustakan Habib dan para rasul tersebut?

وَمَا أَنزَلْنَا عَلَىٰ قَوْمِهِ مِن بَعْدِهِ مِن جُندٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَمَا كُنَّا مُنزِلِينَ.
إِن كَانَتْ إِلَّا صَيْحَةً وَاحِدَةً فَإِذَا هُمْ خَامِدُونَ.


Dan kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya.

Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan suara saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. ( QS Yasin : 28-29 )

Dua ayat ini secara umum membicarakan nasib kaum yang telah mendustakan ajaran rasul mereka dan membunuh seorang lelaki mukmin.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa kaum tersebut adalah penduduk desa Antokiah, sementara lelaki mukmin tersebut bernama Habib an-Najjar. Ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah dan selainnya.

Sebagai akibat perbuatan itu, mereka ditimpa azab berupa suatu teriakan yang seketika membinasakan mereka. Allah SWT tidak hendak mengazab mereka dengan mengirimkan pasukan dari langit. Demikian penjelasannya menurut Wahbah az-Zuhaili.



Menurunkan pasukan dari langit hanya untuk membinasakan mereka memang tidak perlu dan tidak layak dilakukan oleh Allah Swt. Penurunan pasukan dari langit merupakan perkara besar, sementara manusia-manusia durhaka tersebut sangatlah hina dan kecil di hadapan Allah Swt.

Begitu pula kata jundun (pasukan) di sini yang diutarakan dalam bentuk mufrad (tunggal), bukan junud (pasukan-pasukan) sebagaimana biasanya.

Ibnu Katsir menjelaskan hal tersebut berdasarkan riwayat dari Ibn Mas’ud, bahwa gaya bahasa ini bermaksud menyepelekan kaum Antokiah, bahwa perkara mereka sangatlah remeh bagi Allah SWT.

Mengenai penafsiran kata jundun sendiri setidaknya ada dua pendapat. Pendapat pertama, jundun bermakna utusan lain yang membawa risalah baru. Ini pandangan dari Mujahid dan Qatadah sebagaimana yang dikutip dalam Tafsir Ibn Kasir. Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa jundun adalah pasukan yang terdiri dari para malaikat yang dikirim dari langit.

At-Thabari dan mayoritas ulama lebih condong pada makna kedua ini. Sebab menurutnya utusan atau risalah tidak pernah disebut sebagai pasukan langit. Para nabi dan rasul adalah manusia pada umumnya yang berasal dari bumi, sementara yang berasal dari langit adalah malaikat dan sejenisnya.

Mengenai hal ini, Nawawi al-Bantani mengaitkannya dengan pengutusan rombongan tentara malaikat dalam peperangan Nabi SAW. Bahwa dalam membinasakan kaum-kaum durhaka terdahulu, Allah SWT tidak menurunkan malaikat, melainkan cukup dengan bencana alam seperti banjir, gempa, angin topan dan teriakan keras. Adapun mengirimkan rombongan tentara malaikat demi kemenangan Nabi Muhammad Saw merupakan sebuah penghormatan pada beliau.



Adapun kata saihah wahidah pada ayat kedua menurut Ibn ‘Asyur, hanya perlu sekali teriakan saja bagi Allah SWT untuk membinasakan mereka, tidak lebih.

Sedangkan kata iza di kalimat selanjutnya bermakna fujaiyyah, yakni mengisyaratkan mereka akan segera binasa seketika itu juga setelah mendengar teriakan tersebut.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1367 seconds (0.1#10.140)