Bolehkan Muslimah Sholat Secara Berjamaah?Adakah Syarat dan Aturannya?

Rabu, 08 Desember 2021 - 15:30 WIB
loading...
Bolehkan Muslimah Sholat Secara Berjamaah?Adakah Syarat dan Aturannya?
Kaum wanita muslimah tidak wajib mengerjakan sholat berjamaah, akan tetapi syariat tetap membenarkan mereka boleh melakukan sholat secara berjamaah. Foto pinterest
A A A
Sebaik-baiknya sholat bagi wanita muslimah adalah sholat sendiri di rumahnya. Lalu bagaimana dengan sholat jamaah ? Bolehkah mereka melakukannya di masjid atau bersama kelompok jamaah wanita sendiri?

Seluruh ulama sepakat (ijma') bahwa kaum wanita muslimah tidak wajib mengerjakan sholat berjamaah, akan tetapi syariat tetap membenarkan mereka boleh melakukan sholat secara berjamaah. Hanya saja, ketika kaum wanita melaksanakan sholat jamaah ada beberapa cara dan syarat yang harus dipenuhi.



Dikutip dari kitab 'Fiqhus Sunnah Lin Nisaa' atau (Fiqih Sunnah untuk Wanita) yang ditulis Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, menjelaskan tentang tata cara sholat jamaah bagi wanita ini. Sholat berjamaah bagi wanita dapat dilakukan dengan dua cara:

Pertama, kaum wanita mengerjakan sholat berjamaah dengan imam seorang wanita. Cara ini dibenakan oleh syariat berdasarkan tiga alasan, yakni :

1. Pengertian umum hadis-hadis yang menyebut keutamaan salat berjamaah seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam : "Sholat berjamaah dua puluh tujuh (derajat) lebih utama daripada sholat sendirian," (HR Bukhari dan Muslim)

2. Tidak ada dalil yang melarang wanita mengerjakan sholat secara berjamaah

3. Beberapa sahabat wanita mengerjakan sholat berjamaah seperti Ummu Salamah radhiyallahu'anhu dan Aisyah radhiyallahu'anhu.

Raithah Al Hanafiyah meriwayatkan bahwa Aisyahradhiyallahu'anhu pernah mengimani mereka. Ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam salat fardhu.(HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi. Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid)

'Ammar Ad-Duhni meriwayatkan dari seorang wanita dari keluarganya yang dikenal dengan nama Hujairah bahwa Ummu Salamah pernah mengimani mereka dan berdiri di tengah (barisan pertama). (HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi. Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid)

Praktik wanita sahabat ini tidak ada yang membantahnya sehingga layak menjadi dalil kebenaran seorang wanita mengimani jamaah wanita lain.

Kriteria Imam Jamaah Wanita

Dalam buku Fiqih Sunnah untuk Wanita ini juga dijelaskan, apabila sekelompok kaum wanita melakukan sholat berjamaah, maka wanita yang paling layak menjadi imam mereka adalah wanita yang paling baik bacaan (dan pemahamannya) tentang Al-Qur'an. Jika dalam hal ini ada beberapa wanita yang seimbang, maka didahulukan wanita yang lebih mengerti sunnah.

JIka mereka mengerjakan sholat berjamaah dikerjakan di rumah, maka pemilik rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali bila dia melimpahkan haknya kepada wanita lain. Ini berdasarkan hadis Abu Mas'ud Al Anshari ra yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :

"Imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur'an di antara mereka. Jika mereka seimbang dalam kemampuan memaca Al-Qur'an maka dipilih yang lebih mengerti sunnah. JIka mereka seimbang dalam pengetahuan tentang sunnah, maka dipilih yang lebih dulu hijrah...Janganlah seseorang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain dan jangan pula duduk di rumahnya di tempat kehormatannya, kecuali bila diizinkan", (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah).

Kemudian bagaimana posisi imam wanita dalam sholat berjamaah? Imam wanita berdiri di tengah barisan (pertama) jamaah wanita dan bukan di depan mereka, seperti yang dilakukan Aisyah radhiyallahu'anha dan Ummu Salamah radhiyallahu'anha dalam riwayat di atas. Inilah pendapat mayoritas ulama salaf.

Dan, jika sekelompok wanita melakukan salat berjamaah secara terpisah dan jauh dari kaum laki-laki, maka shaf yang paling utama adalah shaf pertama lalu disusul dengan shaf berikutnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam:

"Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya melimpahkan rahmat dan mendoakan orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan" (HR abu Dawud dan Nasa'i)



Tetapi jika mereka sholat di belakang jamaah laki-laki, maka shaf paling utama bagi mereka adalah shaf paling belakang dan shaf paling buruk bagi mereka adalah shaf paling depan.

Apakah imam wanita mengerjakan sholat dengan suara yang jelas?

1. Imam wanita boleh mengeraskan suara dalam sholat-sholat yang dikerjakan dengan suara yang jelas, tapi jika ada laki-laki di sekitarnya maka dia tidak boleh mengeraskan suara, kecuali jika laki-laki tersebut masih mahramnya.

2. Wanita melakukan sholat berjamaah di belakang jamaah laki-laki. Kaum wanita dibenarkan sholat berjamaah di belakang kaum pria. Ini didasarkan hadis Anas radhiyallahu'anha yang menyatakan bahwa:

" Aku bersana seorang anak yatim piatu, bermakmum kepada Rasululah di rumah kami. Sedangkan ibuku, Ummu Sulaim, ikut sholat di belakang kami". (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)

Ummu Salamah menyatakan ," Ketika Rasulullah mengucapkan salam, kaum wanita langsung berdiri setelah beliau selesai mengucapkan salam, sedangkan beliau sendiri diam sejenak di tempatnya". (HR Bukhari, ABu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dari dua hadis tersebut dan hadis hadis lainnya yang menjaleskan masalah ini, dipetik dua pelajaran penting yakni:
1. Wanita boleh sholat di belakang shaf laki-laki
2. Wanita yang berdiri di belakang laki-laki, sekalipun tidak ada wanita lain yang menyertainya, ia tetap harus berdiri di shaf paling belakang sendirian. Begitu pula bila dia sholat bersama seorang laki-laki yang masih mahramnya, tetap harus berdiri di belakangnya.

Kalau seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahram dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahram.

Namun jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan mahram tanpa ada jamaah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ

“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadis ini shohih ligoirihi)

Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jamaah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)

Lebih Baik Bagi Wanita Adalah Sholat di Rumahnya

Wanita tetap diperkenankan mengerjakan salat berjamaah di masjid, namun sholat wanita lebih baik adalah di rumahnya.
Dari Ibnu ‘Umar, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, namun shalat di rumah mereka (para wanita) tentu lebih baik.” (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadis ini shahih)

Apabila wanita ingin melakukan sholat berjamaah di masjid, maka ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Minta izin kepada suami atau mahram terlebih dahulu dan hendaklah suami tidak melarangnya.

Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا اسْتَأْذَنَكُمْ نِسَاؤُكُمْ إِلَى الْمَسَاجِدِ فَأْذَنُوا لَهُنَّ

“Jika istri kalian meminta izin pada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka.” (HR. Muslim). An Nawawi membawakan hadits ini dalam Bab “Keluarnya wanita ke masjid, jika tidak menimbulkan fitnah dan selama tidak menggunakan harum-haruman.”
Bahkan tidak boleh seseorang menghalangi wanita atau istrinya ke masjid sebagaimana dapat dilihat dalam kisah berikut.

Dalam Shahih Muslim no. 442 dari jalan Salim bin Abdullah bin Umar bahwasanya Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

“Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.”

2. Tidak boleh menggunakan harum-haruman dan perhiasan yang dapat menimbulkan fitnah.

Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلاَ تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الآخِرَةَ

“Wanita mana saja yang memakai harum-haruman, maka janganlah dia menghadiri sholat Isya’ bersama kami.” (HR. Muslim)

Zainab -istri ‘Abdullah- mengatakan bahwa RasulullahShallalahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada para wanita,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلاَ تَمَسَّ طِيبًا

“Jika salah seorang di antara kalian ingin mendatangi masjid, maka janganlah memakai harum-haruman.” (HR. Muslim)

3. Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur yang terlarang antara pria dan wanita) ketika masuk dan keluar dari masjid.
Dalilnya adalah hadits dari Ummu Salamah:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا سلم قام النساء حين يقضي تسليمه ويمكث هو في مقامه يسيرا قبل أن يقوم . قال نرى – والله أعلم – أن ذلك كان لكي ينصرف النساء قبل أن يدركهن أحد من الرجال

“Rasulullah salam dan ketika itu para wanita pun berdiri. Beliausendiri tetap berada di tempatnya beberapa saat sebelum dia berdiri. Kami menilai –wallahu a’lam- bahwa hal ini dilakukan agar wanita terlebih dahulu meninggalkan masjid supaya tidak berpapasan dengan kaum pria.” (HR. Bukhari)



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2802 seconds (0.1#10.140)