Leluhur Nabi Muhammad SAW Pimpinan Para Saudagar yang Tak Terlalu Tajir
loading...
A
A
A
Para leluhur Nabi Muhammad SAW , seperti Hasyim dan Abdul Muthalib , adalah pemimpin kafilah dagang kaum Quraish . Hanya saja, mereka bukanlan taipan yang berlimpah harta. "Klan Hasyim dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan cenderung pada perdamaian," tutur Quraish Shihab dalam bukunya berjudul "Membaca Sirah Nabi Muhammad, Dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih".
Dr Jawwad Ali dalam bukunya berjudul "Sejarah Arab Sebelum Islam" juga menjelaskan secara umum, anak-anak Abdul Muthalib, memang tidak kaya raya seperti halnya para pedagang Mekkah dan tokok-tokoh tenar Quraisy lainnya. "Namun, mereka hidup berkecukupan (kelas menengah), kaya hati, serta menjadikan Qushay dan Hasyim sebagai teladan," tuturnya.
Seperti yang lainnya, Abdullah (Ayah Rasulullah SAW) juga keluar dari Mekkah untuk memimpin kafilah dagang. Dalam perjalanan pulang dari Gaza menuju Mekkah, beliau menderita sakit di Madinah hingga akhirnya menghebuskan nafas terakhirnya di sana.
Ayah Nabi meninggal dunia tanpa meninggalkan harta yang berlimpah kepada keluarganya. Tapi, dari generasi ke generasi klan Bani Hasyim menjadi pemimpin dan tokoh yang dihormati di tengah-tengah kaumnya.
Kafilah Besar
Leluhur Nabi Muhammad SAW telah membawa kaum Quraisy disegani di antara suku-suku di Semenanjung Arabia karena sukses dalam perdagangan. Untuk menggambarkan begitu hebatnya perdagangan kaum Quraisy bisa dilihat dari besarnya rombongan kafilah dagang Mekkah yang pernah dicegat oleh kaum Muslim Madinah, tak lama setelah Nabi menetap di sana, yang memicu terjadinya Perang Badar pada 16 Maret 624.
Philip K Hitti dalam bukunya berjudul "History of the Arabs" mencatat kafilah itu terdiri dari sekitar 1.000 ekor unta yang penuh muatan, dengan nilai barang dagangan sebesar 50.000 dinar, serta sekitar 300 orang yang ikut pada misi dagang tersebut.
Menurut Quraish Shihab, masyarakat Arab sebelum Islam telah menggunakan dua jenis mata uang asing, yakni dinar dan dirham. Satu Dinar Byzantium seberat 4,55 gram, sedangkan dirham adalah tujuh per sepuluh dinar.
Jika 1 dinar emas Bizantium, setara dengan 4,55 gram, maka 50.000 dinar (dengan konversi 1 gram emas Rp769.000), maka nilai barang dagangan karavan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp175 miliar.
Karakteristik penting lain dari kegiatan ekonomi Mekkah ini adalah kehadiran sektor layanan pendukung dalam pemeliharaan karavan perdagangan: portir, pemandu, pengendara unta, gembala, pelayan, dan penghibur. Dan, yang terpenting adalah penjaga atau pengawal keamanan.
Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam "Seleksi Sirah Nabawiyah, Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif" menjelaskan suku Kinanah yang tinggal di dekat Mekkah, menjadi sekutu utama suku Quraisy dalam pengawalan ini.
Merekalah yang bertugas menjaga keamanan rombongan kafilah Mekkah. Saudagar Quraisy memberi upah atau gaji tertentu kepada mereka, dan para pemimpin mereka ikut memiliki andil dalam usaha perdagangan mereka.
Syair dan Puisi
Rombongan karavan dagang besar ini telah memberikan banyak penghasilan kepada penduduk Mekkah. Perkembangan perdagangan itu memastikan banyak orang di kota Mekkah senantiasa hidup dalam kemakmuran. Biasanya, dengan kekayaan akan mendatangkan gaya hidup perlente. Mereka memiliki rumah-rumah mewah dan hidup yang bermegah-megah.
Seperti halnya Abdullah bin Jadan al-Timi, menurut Quraish Shihab, dia minum dari gelas yang terbuat dari emas. Kekayaan yang dinikmati sejumlah elit Mekkah menciptakan suatu pola hidup masyarakat yang menjadikan mereka lebih banyak meluangkan waktu untuk menikmati syair dan puisi.
Dinamika pedagang Mekkah mulai mempengaruhi struktur sosial ketika serangkaian hubungan sosial yang lebih kompleks berdasarkan kepemilikan modal pedagang mulai muncul.
Pedagang kaya, secara bertahap membentuk kelompok dengan kepentingan bersama sebagai pemilik modal, akhirnya membentuk strata teratas masyarakat.
Status sosial terendah adalah budak dan keturunan mereka, baik yang berasal dari Arab maupun non-Arab. Akhirnya, secara sosial masyarakat Mekkah terpolarisasi menjadi kaya dan miskin.
Kendati demikian, menurut Quraish Shihab, berbeda dengan sejumlah pengusaha yang berupaya memonopoli aktivitas perdagangan di Mekkah, klan Hasyim dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan cenderung pada perdamaian.
Dikisahkan, ketika satu keluarga Bani Makhzum mengalami kesulitan pangan, Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW, menyampaikan kepada suku Quraisy untuk bergotong-royong saling membantu. Yang belakangan melahirkan konsep kerjasama kemitraan dagang, di mana keuntungan dari perjalanan dagang dibagi rata antara si kaya dan miskin.
Dr Jawwad Ali dalam bukunya berjudul "Sejarah Arab Sebelum Islam" juga menjelaskan secara umum, anak-anak Abdul Muthalib, memang tidak kaya raya seperti halnya para pedagang Mekkah dan tokok-tokoh tenar Quraisy lainnya. "Namun, mereka hidup berkecukupan (kelas menengah), kaya hati, serta menjadikan Qushay dan Hasyim sebagai teladan," tuturnya.
Seperti yang lainnya, Abdullah (Ayah Rasulullah SAW) juga keluar dari Mekkah untuk memimpin kafilah dagang. Dalam perjalanan pulang dari Gaza menuju Mekkah, beliau menderita sakit di Madinah hingga akhirnya menghebuskan nafas terakhirnya di sana.
Ayah Nabi meninggal dunia tanpa meninggalkan harta yang berlimpah kepada keluarganya. Tapi, dari generasi ke generasi klan Bani Hasyim menjadi pemimpin dan tokoh yang dihormati di tengah-tengah kaumnya.
Kafilah Besar
Leluhur Nabi Muhammad SAW telah membawa kaum Quraisy disegani di antara suku-suku di Semenanjung Arabia karena sukses dalam perdagangan. Untuk menggambarkan begitu hebatnya perdagangan kaum Quraisy bisa dilihat dari besarnya rombongan kafilah dagang Mekkah yang pernah dicegat oleh kaum Muslim Madinah, tak lama setelah Nabi menetap di sana, yang memicu terjadinya Perang Badar pada 16 Maret 624.
Philip K Hitti dalam bukunya berjudul "History of the Arabs" mencatat kafilah itu terdiri dari sekitar 1.000 ekor unta yang penuh muatan, dengan nilai barang dagangan sebesar 50.000 dinar, serta sekitar 300 orang yang ikut pada misi dagang tersebut.
Menurut Quraish Shihab, masyarakat Arab sebelum Islam telah menggunakan dua jenis mata uang asing, yakni dinar dan dirham. Satu Dinar Byzantium seberat 4,55 gram, sedangkan dirham adalah tujuh per sepuluh dinar.
Jika 1 dinar emas Bizantium, setara dengan 4,55 gram, maka 50.000 dinar (dengan konversi 1 gram emas Rp769.000), maka nilai barang dagangan karavan tersebut diperkirakan mencapai sekitar Rp175 miliar.
Karakteristik penting lain dari kegiatan ekonomi Mekkah ini adalah kehadiran sektor layanan pendukung dalam pemeliharaan karavan perdagangan: portir, pemandu, pengendara unta, gembala, pelayan, dan penghibur. Dan, yang terpenting adalah penjaga atau pengawal keamanan.
Akram Dhiya’ Al-Umuri dalam "Seleksi Sirah Nabawiyah, Studi Kritis Muhadditsin terhadap Riwayat Dhaif" menjelaskan suku Kinanah yang tinggal di dekat Mekkah, menjadi sekutu utama suku Quraisy dalam pengawalan ini.
Merekalah yang bertugas menjaga keamanan rombongan kafilah Mekkah. Saudagar Quraisy memberi upah atau gaji tertentu kepada mereka, dan para pemimpin mereka ikut memiliki andil dalam usaha perdagangan mereka.
Syair dan Puisi
Rombongan karavan dagang besar ini telah memberikan banyak penghasilan kepada penduduk Mekkah. Perkembangan perdagangan itu memastikan banyak orang di kota Mekkah senantiasa hidup dalam kemakmuran. Biasanya, dengan kekayaan akan mendatangkan gaya hidup perlente. Mereka memiliki rumah-rumah mewah dan hidup yang bermegah-megah.
Seperti halnya Abdullah bin Jadan al-Timi, menurut Quraish Shihab, dia minum dari gelas yang terbuat dari emas. Kekayaan yang dinikmati sejumlah elit Mekkah menciptakan suatu pola hidup masyarakat yang menjadikan mereka lebih banyak meluangkan waktu untuk menikmati syair dan puisi.
Dinamika pedagang Mekkah mulai mempengaruhi struktur sosial ketika serangkaian hubungan sosial yang lebih kompleks berdasarkan kepemilikan modal pedagang mulai muncul.
Pedagang kaya, secara bertahap membentuk kelompok dengan kepentingan bersama sebagai pemilik modal, akhirnya membentuk strata teratas masyarakat.
Status sosial terendah adalah budak dan keturunan mereka, baik yang berasal dari Arab maupun non-Arab. Akhirnya, secara sosial masyarakat Mekkah terpolarisasi menjadi kaya dan miskin.
Kendati demikian, menurut Quraish Shihab, berbeda dengan sejumlah pengusaha yang berupaya memonopoli aktivitas perdagangan di Mekkah, klan Hasyim dikenal sebagai pedagang yang dermawan dan cenderung pada perdamaian.
Dikisahkan, ketika satu keluarga Bani Makhzum mengalami kesulitan pangan, Hasyim, kakek Nabi Muhammad SAW, menyampaikan kepada suku Quraisy untuk bergotong-royong saling membantu. Yang belakangan melahirkan konsep kerjasama kemitraan dagang, di mana keuntungan dari perjalanan dagang dibagi rata antara si kaya dan miskin.
(mhy)