Interfaith dan Islamophobia (Bagian 2)

Kamis, 03 Februari 2022 - 23:21 WIB
loading...
Interfaith dan Islamophobia (Bagian 2)
Imam Shamsi Ali, Direktur/Imam Jamaica Muslim Center. Foto/Ist
A A A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center

Interfaith atau interaksi antarpemeluk agama di dalam hidup Rasulullah SAW sendiri bukan sesuatu yang asing. Kita diingatkan kembali oleh sejarah istri pertama beliau, Khadijah radhiyallahhu 'anha (RA) yang ternyata dari kalangan keluarga kristiani di Mekah.

Belakangan ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama justru sepupu Khadijah lah (Waraqah bin Naufal) yang memberikan dukungan moral, bahkan berjanji kelak jika diberikan umur panjang akan menjadi pengikut Rasulullah SAW.

Yang pasti interfaith atau interaksi Rasul dan pengikut agama lain bukan dengan seminar atau konferensi maupun ceramah. Tapi dalam bentuk relasi kehidupan nyata antara rasulullah SAW dan umat beragama lain.

Sebagian catatan sejarah itu saya sampaikan di bawah ini:

Pertama, ketika Rasulullah SAW dan pengikutnya mengalami tantangan berat dari pembesar Mekah, bahkan siksaan yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Di saat seperti itu Rasulullah SAW memerintahkan sebagian pengikutnya untuk melakukan hijrah ke sebuah negeri yang penduduknya beragama Nasrani. Negeri itu adalah Habasyah atau lebih dikenal dengan Ethiopia saat ini.

Raja negeri itu adalah seorang Nasrani yang sangat taat. Sangat beragama, santun dan bijak. Raja Najasyi namanya. Beliau saat itu menerima pengikut Muhammad SAW dan melindunginya, bahkan ingin mendengarkan penjelasan tentang agama/keyakinan pendatang itu. Pimpinan pengungsi ketika itu, sepupu Rasulullah SAW Ja'far bin Abi Talib, membacakan ayat-ayat tentang kehidupan Isa dan Ibunya Maryam AS.

Mendengarkan ayat-ayat itu menjadikan sang raja meneteskan airmata. Nuraninya tersinari oleh kebenaran ayat-ayat Al-Qur'an. Apalagi berkaitan erat dengan hatinya sebagai Kristen yang taat. Sebagian ulama bahkan mengatakan bahwa secara batin beliau sesungguhnya menerima Islam setelah mendengarkan ayat-ayat itu.

Hal itu semakin dikuatkan ketika sang raja bahkan menolak mentah-mentah permintaan pembesar Mekkah untuk mengekstradisi kembali mereka ke kampung asal (Mekkah). Beliau seolah mengatakan mereka (pengikut Muhammad) adalah saudara-saudaraku yang harus dilindungi.

Itulah catatan pertama dalam sejarah Islam yang tercatat sebagai interaksi publik antara Komunitas Muslim dan Komunitas Kristen secara terbuka.

Kedua, jauh sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, di kota ini telah menetap selain komunitas Arab dari suku 'Aus dan Khazraj juga ada dua komunitas agama lainnya. Yaitu komunitas Yahudi dan komunitas Nasrani. Kedua komunitas ini memiliki posisi dan pengaruh terhormat di masyarakat Madinah karena mereka relatif lebih maju, baik dalam pendidikan maupun ekonomi. Bahkan masyarakat Yahudilah yang memegang pasar Madinah (Wall Streetnya) saat itu.

Ketibaan Rasulullah SAW di Madinah secara alami menuntut beliau untuk membangun komunikasi, relasi, dan kerjasama dengan semua komunitas Madinah. Apalagi dalam posisi beliau, selain sebagai seorang Nabi dan Rasul, juga sebagai kepala negara. Oleh karenanya baik dalam kapasitas beliau sebagai pemimpin agama maupun publik (kepala negara) beliau dituntut untuk membangun komunikasi dengan semua komunitas agama tersebut.

Setelah menyelesaikan pembangunan masjid (Kubah), penguatan ukhuwah Islamiyah (mempersaudarakan Anshor dan Muhajirun), beliau lalu membentuk konstitusi negara yang lebih populer dikenal dengan nama Piagam Madinah. Selain kedahsyatan kontennya yang sangat pro minoritas (non Muslim), yang juga mengagumkan dari Piagam Madinah ini adalah proses pembentukannya. Di mana semua elemen-elemen komunitas dilibatkan dalam prosesnya.

Mengingat peristiwa ini terjadi di abad ketujuh Masehi, di sebuah tempat yang berada di gurung pasir, menambah kekaguman kita bahwa apa yang dilakukan oleh seorang Muhammad SAW saat itu, menurut ahli sejarah justeru melampaui batas kemampuan berpikir manusia pada masanya. Ini pulalah yang disebut-sebut oleh sebagian ahli sejarah sebagai faktor kenapa peradaban tidak lama bertahan setelah meninggalnya beliau. Menurut para sejarawan, sahabat-sahabat beliau ketika itu tidak mampu mengemban peradaban yang sangat maju dan canggih itu.

Memang harus diakui bahwa interaksi antara beliau (Rasulullah) dan masyarakat non Muslim di Madinah mengalami dinamika naik turun (up and down), bahkan terkadang mencapai titik nadir terendah. Salah satu di antaranya adalah ketika terjadi pengusiran beberapa kabilah dari kalangan Yahudi dari Madinah. Pengusiran ini bukan karena dasar keagamaan. Tapi karena mereka mengkhianati negara (treason) dengan mengkhianati perjanjian mereka untuk loyal kepada negara Madinah saat itu.

Sebaliknya bahkan beberapa kali Rasulullah SAW meminjam uang dari mereka. Bahkan menganggap minoritas itu sebagai bagian dari umatnya sendiri (ummati). Lebih jauh lagi beliau menjamin hak-hak ketenangan dan keselamatan mereka: "siapa yang menyakiti dzimmi atau minoritas non Muslim dalam masyarakat mayoritas Muslim, maka saya (Muhammad) akan menjadi musuhnya di hari Kiamat kelak" (hadits).

Ketiga, di sekitar penghujung tahun ke delapan hijrah di Madinah beliau didatangi oleh sekelompok warga Kristiani dari kalangan suku Najran (Yaman saat itu). Mereka secara khusus datang ke Madinah untuk menemui Rasulullah dan bertanya tentang posisi Yesus dalam pandangan Islam. Rasulullah SAW menerima mereka dengan baik, ramah dan dengan memuliakan mereka. Mereka dibenarkan menginap di masjid, diberikan makanan, bahkan ada catatan sejarah yang mengatakan jika mereka diizinkan untuk beribadah sesuai keyakinan mereka.

Setelah tiga hari tiga malam melakukan dialog (tanya jawab atau bahkan debat / mujadalah) mereka tetap pada keyakinan mereka bahwa Yesus itu anak Tuhan atau Tuhan itu sendiri.

Rasulullah tidak kecewa dan juga tidak marah. Justeru beliau menawarkan persetujuan untuk saling melindungi, tidak menyerang dan tidak saling membahayakan. Mereka setuju dan ditanda tanganilah sebuah kesepakatan yang dikenal dalam sejarah Islam dengan nama "Perjanjian Nejran" (Negran Treaty).

Itu hanya segelintir catatan sejarah interaksi Rasulullah SAW dengan non Muslim. Interaksi inilah yang diterjemahkan dalam dunia modern dengan kata "dialog" antar pemeluk agama. Yaitu keinginan untuk membangun kerjasama pada hal-hal yang menjadi kepentingan bersama (common interests), seraya memegang prinsip keyakinan akidah masing-masing.
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2175 seconds (0.1#10.140)