Interfaith dan Islamophobia (Bagian Terakhir)
loading...
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan interfaith dapat berujung ganda. Berujung madu atau berujung racun. Kegiatan ini, sebagaimana media sosial misalnya, bisa membawa manfaat besar. Atau sebaliknya mendatangkan mudhorat yang tidak disangka-sangka.
Itulah barangkali yang menjadi pertimbangan Rasulullah SAW ketika beliau melarang sahabat-sahabatnya membaca Kitab Suci orang lain di awal kerisalahan. Pastinya ada pertimbangan mudhorat saat itu.
Belakangan beliau justeru beliau menugasi sebagian sahabat, salah satunya Abdullah bin Salam, untuk mendalami Kitab Taurat itu. Kebetulan memang latar beliau pernah beragama Yahudi.
Pelarangan dan/atau di sisi lain penugasan (perintah) ini menunjukkan adanya realita mudhorat dan manfaat dalam mempelajari Kitab suci orang lain. Maka secara langsung atau tidak juga demikian dalam berinteraksi dengan penganut agama lain. Tentu kedua sisi ini harus masuk dalam konsideran kita semua.
Secara umum sebenarnya saya sering sampaikan bahwa kita yang berada di jalan Dakwah ini menghadapi dua kemungkinan. Menghadapi kemungkinan tantangan dan sebaliknya menghadapi kemungkinan godaan. Keduanya dapat menjadi lobang kejatuhan bagi da’i di jalannya.
Pada bagian lalu saya telah sampaikan beberapa manfaat dari kegiatan interfaith. Dari Interfaith sebagai jalan realisasi rahmah Islam. Hingga kepada pembuktian terbalik dari berbagai tuduhan buruk terhadap Islam.
Adapun mudhoratnya tentu akan lebih banyak ditentukan oleh bagaimana cara pandang pelaku interfaith. Dengan interfaith seseorang boleh saja terperangkap dalam pemahaman "unifikasi" atau penyatuan agama-agama. Dengan kata lain interfaith mengantarnya kepada pemahaman jika semua agama itu sama.
Sesungguhnya kekhawatiran sebagian orang dan hal itu memang valid. Sebab memang ada pelaku Interfaith yang kemudian hanyut atau terwarnai pemikiran unifikasi agama-agama itu. Padahal tanpa disadari cara pandang seperti itu dengan sendirinya meremehkan makna keragaman (diversity) yang dijunjung tinggi.
Kegiatan interfaith yang kami lakukan di Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya tetap dengan konsideran tentang dua kemungkinan itu. Menimbang dengan jeli antara kemungkinan manfaat dan mudhorat yang ditimbulkan.
Di tulisan ini saya akan memberikan contoh Interfaith yang kami lakukan bersama Komunitas Yahudi Amerika. Pemilihan contoh ini karena relasi Islam dan Yahudi barangkali adalah relasi yang paling aneh dan unik. Tentu karena banyak pertimbangan, salah satunya karena konflik Timur Tengah yang klasik itu.
Namun ada satu hal yang kami sadari di Amerika adalah bahwa suara Umat Islam, walaupun dengan jumlahnya yang cukup signifikan, masih belum didengarkan. Hal itu karena Umat masih kalah dalam membangun persepsi. Media sebagai alat membangun imej ada dalam genggaman orang lain.
Dan karenanya untuk menyuarakan kepentingan umat, khususnya upaya melawan Islamophobia diperlukan tangan-tangan lain yang kuat. Dan realitanya masyarakat Yahudi di Amerika memilki tangan-tangan kuat itu. Inilah salah satunya yang kemudian menjadi alasan kenapa Interfaith dengan Komunitas Yahudi ini menjadi intens sejak peristiwa 9/11 di tahun 2001 lalu.
Dalam perjalanan yang cukup panjang itu kami banyak mengakui betapa banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara kedua Komunitas ini. Padahal dari sekian banyak agama-agama dunia, Islam dan Yudaisme adalah agama yang paling identikal (most identical faiths).
Dari sekian banyak kesalahpahaman, satu hal pasti yang perlu dikoreksi adalah tendensi jeneralisasi antara satu dengan yang lain. Dan pastinya tendensi ini tidaklah adil pada komunitas masing-masing. Mereka melihat prilaku segelintir Umat sebagai wajah Umat secara keseluruhan. Demikian pula Umat ini selalu melihat bahwa prilaku pemerintan atau Yahudi Israel mewakili semua orang Yahudi dunia.
Pandangan jeneralisir seperti ini telah meracuni relasi antara dua komunitas ini. Kecurigaan bahkan permusuhan yang ada di kepala masing-masing cukup dalam. Apalagi dengan teori konspirasi yang mengatakan bahwa Islam hadir untuk menghancurkan Yahudi. Dan Yahudi adalah sumber segala kejahatan dunia.
Ternyata persepsi itu ternyata tidak semuanya benar. Secara umum kami harus akui bahwa sejak terjalin komunikasi intens dengan komunitas Yahudi, mereka kerap berdiri tegap membela hak-hak Muslim di negara ini. Berbagai serangan baik secara fisik atau non fisik (media misalnya) ada saja dari kalangan komunitas Yahudi yang berani bersuara menentang serangan itu dan membela komunitas Muslim.
Contoh terdekat adalah ketika Muslim Amerika dilabeli komunitas radikal dengan sebuah dengar pendapat (hearing) di Kongress. Tema yang diusung pada dengar pendapat ini adalah "Radicalization of Muslim community in US" yang dikomandoi oleh Peter King, seorang Kongress dari Long Island New York.
Di momen yang begitu buruk itu, di saat umat di jeneralisasi sebagai Komunitas radikal, beberapa Rabi Yahudi menawarkan bantuan untuk merespon (menolak) kepada acara dengar pendapat itu. Namun mereka tetap tidak ingin tampil secara terbuka. Maka mereka menginginkan agar respon itu dikomandoi oleh saya sebagai Imam.
Kami pun mengadakan rally atau demo besar di jantung Kota New York, Times Square. Sekitar tujuh ribuan orang, mayoritasnya non Muslim hadir dengan slogan: "Today I am a Muslim too". Dan saya harus tampil sebagai koordinator yang dihadiri oleh banyak pejabat kota, tokoh agama, hingga beberapa orang Hollywood.
Presiden Nusantara Foundation,
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center
Tidak dapat disangkal bahwa kegiatan interfaith dapat berujung ganda. Berujung madu atau berujung racun. Kegiatan ini, sebagaimana media sosial misalnya, bisa membawa manfaat besar. Atau sebaliknya mendatangkan mudhorat yang tidak disangka-sangka.
Itulah barangkali yang menjadi pertimbangan Rasulullah SAW ketika beliau melarang sahabat-sahabatnya membaca Kitab Suci orang lain di awal kerisalahan. Pastinya ada pertimbangan mudhorat saat itu.
Belakangan beliau justeru beliau menugasi sebagian sahabat, salah satunya Abdullah bin Salam, untuk mendalami Kitab Taurat itu. Kebetulan memang latar beliau pernah beragama Yahudi.
Pelarangan dan/atau di sisi lain penugasan (perintah) ini menunjukkan adanya realita mudhorat dan manfaat dalam mempelajari Kitab suci orang lain. Maka secara langsung atau tidak juga demikian dalam berinteraksi dengan penganut agama lain. Tentu kedua sisi ini harus masuk dalam konsideran kita semua.
Secara umum sebenarnya saya sering sampaikan bahwa kita yang berada di jalan Dakwah ini menghadapi dua kemungkinan. Menghadapi kemungkinan tantangan dan sebaliknya menghadapi kemungkinan godaan. Keduanya dapat menjadi lobang kejatuhan bagi da’i di jalannya.
Pada bagian lalu saya telah sampaikan beberapa manfaat dari kegiatan interfaith. Dari Interfaith sebagai jalan realisasi rahmah Islam. Hingga kepada pembuktian terbalik dari berbagai tuduhan buruk terhadap Islam.
Adapun mudhoratnya tentu akan lebih banyak ditentukan oleh bagaimana cara pandang pelaku interfaith. Dengan interfaith seseorang boleh saja terperangkap dalam pemahaman "unifikasi" atau penyatuan agama-agama. Dengan kata lain interfaith mengantarnya kepada pemahaman jika semua agama itu sama.
Sesungguhnya kekhawatiran sebagian orang dan hal itu memang valid. Sebab memang ada pelaku Interfaith yang kemudian hanyut atau terwarnai pemikiran unifikasi agama-agama itu. Padahal tanpa disadari cara pandang seperti itu dengan sendirinya meremehkan makna keragaman (diversity) yang dijunjung tinggi.
Kegiatan interfaith yang kami lakukan di Amerika dan berbagai belahan dunia lainnya tetap dengan konsideran tentang dua kemungkinan itu. Menimbang dengan jeli antara kemungkinan manfaat dan mudhorat yang ditimbulkan.
Di tulisan ini saya akan memberikan contoh Interfaith yang kami lakukan bersama Komunitas Yahudi Amerika. Pemilihan contoh ini karena relasi Islam dan Yahudi barangkali adalah relasi yang paling aneh dan unik. Tentu karena banyak pertimbangan, salah satunya karena konflik Timur Tengah yang klasik itu.
Namun ada satu hal yang kami sadari di Amerika adalah bahwa suara Umat Islam, walaupun dengan jumlahnya yang cukup signifikan, masih belum didengarkan. Hal itu karena Umat masih kalah dalam membangun persepsi. Media sebagai alat membangun imej ada dalam genggaman orang lain.
Dan karenanya untuk menyuarakan kepentingan umat, khususnya upaya melawan Islamophobia diperlukan tangan-tangan lain yang kuat. Dan realitanya masyarakat Yahudi di Amerika memilki tangan-tangan kuat itu. Inilah salah satunya yang kemudian menjadi alasan kenapa Interfaith dengan Komunitas Yahudi ini menjadi intens sejak peristiwa 9/11 di tahun 2001 lalu.
Dalam perjalanan yang cukup panjang itu kami banyak mengakui betapa banyak kesalahpahaman yang terjadi di antara kedua Komunitas ini. Padahal dari sekian banyak agama-agama dunia, Islam dan Yudaisme adalah agama yang paling identikal (most identical faiths).
Dari sekian banyak kesalahpahaman, satu hal pasti yang perlu dikoreksi adalah tendensi jeneralisasi antara satu dengan yang lain. Dan pastinya tendensi ini tidaklah adil pada komunitas masing-masing. Mereka melihat prilaku segelintir Umat sebagai wajah Umat secara keseluruhan. Demikian pula Umat ini selalu melihat bahwa prilaku pemerintan atau Yahudi Israel mewakili semua orang Yahudi dunia.
Pandangan jeneralisir seperti ini telah meracuni relasi antara dua komunitas ini. Kecurigaan bahkan permusuhan yang ada di kepala masing-masing cukup dalam. Apalagi dengan teori konspirasi yang mengatakan bahwa Islam hadir untuk menghancurkan Yahudi. Dan Yahudi adalah sumber segala kejahatan dunia.
Ternyata persepsi itu ternyata tidak semuanya benar. Secara umum kami harus akui bahwa sejak terjalin komunikasi intens dengan komunitas Yahudi, mereka kerap berdiri tegap membela hak-hak Muslim di negara ini. Berbagai serangan baik secara fisik atau non fisik (media misalnya) ada saja dari kalangan komunitas Yahudi yang berani bersuara menentang serangan itu dan membela komunitas Muslim.
Contoh terdekat adalah ketika Muslim Amerika dilabeli komunitas radikal dengan sebuah dengar pendapat (hearing) di Kongress. Tema yang diusung pada dengar pendapat ini adalah "Radicalization of Muslim community in US" yang dikomandoi oleh Peter King, seorang Kongress dari Long Island New York.
Di momen yang begitu buruk itu, di saat umat di jeneralisasi sebagai Komunitas radikal, beberapa Rabi Yahudi menawarkan bantuan untuk merespon (menolak) kepada acara dengar pendapat itu. Namun mereka tetap tidak ingin tampil secara terbuka. Maka mereka menginginkan agar respon itu dikomandoi oleh saya sebagai Imam.
Kami pun mengadakan rally atau demo besar di jantung Kota New York, Times Square. Sekitar tujuh ribuan orang, mayoritasnya non Muslim hadir dengan slogan: "Today I am a Muslim too". Dan saya harus tampil sebagai koordinator yang dihadiri oleh banyak pejabat kota, tokoh agama, hingga beberapa orang Hollywood.