Musik dan Tarian Sebagai Pembantu Kehidupan Keagamaan (1)

Minggu, 14 Juni 2020 - 08:52 WIB
loading...
A A A
Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beliau berkata, "Belum cukupkah?"

Hadis lain dari Siti Aisyah adalah sebagai berikut:

Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya.

Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan, melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru: "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata: "Biarkan mereka, Abu Bakar , hari ini adalah hari raya."

Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji; dan musik yang membangkitkan semangat perang di darah para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir.

Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: seperti misalnya musik Nabi Daud. Nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam al-Qur'an : "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu."

Di pihak lain, Imam Ghazali menegaskan, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.



Membangkitkan Cinta
Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairahan rohani.

Dalam keadaan ini, Imam Ghazali mengumpamakan, hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun.

Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.

Meskipun demikian, para calon sufi dilarang ikut ambil bagian dalam tarian mistik ini tanpa bantuan pir (syaikh atau guru ruhani)nya.

Diriwayatkan bahwa Syaikh Abul-Qasim Jirjani, ketika salah seorang muridnya meminta izin untuk ambil bagian dalam tarian semacam itu, berkata: "Jalani puasa yang ketat selama tiga hari, kemudian suruh mereka memasak makanan-makanan yang menggiurkan. Jika kemudian engkau masih lebih menyukai tarian itu, engkau boleh ikut."



Bagaimanapun juga, seorang murid yang hatinya belum seluruhnya tersucikan dari nafsu-nafsu duniawi - meskipun mungkin telah mendapat penglihatan sepintas akan jalur tasawwuf - mesti dilarang oleh syaikhnya untuk ambil bagian dalam tarian-tarian semacam itu, karena hal itu hanya akan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada mashlahatnya.

Imam Ghazali mengatakan orang-orang yang menolak hakikat ekstase (kegairahan) dan pengalaman-pengalaman rohani para sufi, sebenarnya hanya mengakui kesempitan pikiran dan kedangkalan wawasan mereka saja.

Meskipun demikian, mereka haruslah dimaafkan, karena mempercayai hakikat suatu keadaan yang belum dialami secara pribadi adalah sama sulitnya dengan memahami kenikmatan menatap rumput hijau dan air mengalir bagi seorang buta, atau bagi seorang anak untuk mengerti kenikmatan melaksanakan pemerintahan.



Oleh karenanya seorang bijak, meskipun ia sendiri mungkin tidak mempunyai pengalaman tentang keadaan-keadaan tersebut, tak akan menyangkal hakikatnya. Sebab, kesalahan apa lagi yang lebih besar daripada orang yang menyangkal hakikat sesuatu hanya karena ia sendiri belum mengalaminya! Mengenai orang-orang ini, tertulis dalam al-Qur'an: "Orang-orang yang tidak mendapatkan petunjuk akan berkata, 'Ini adalah kemunafikan yang nyata'." (Bersambung)
(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1657 seconds (0.1#10.140)