Kisah Khalifah Hisham, Angkat Keturunan Penghuni Neraka Saqar sebagai Gubernur Madinah
loading...
A
A
A
Khalifah kesepuluh Dinasti Umayyah , Hisham bin 'Abdul-Malik bin Marwan bin Hakam, dianggap sebagai khalifah yang sarat nepotisme. Keputusannya yang paling kontroversial adalah ketika ia mengangkat pamannya sebagai Gubernur Madinah. Sang paman ini adalah keturunan musuh Rasulullah SAW yang oleh Al-Qur'an divonis sebagai penghuni neraka Saqar.
Di antara para khalifah Umayyah yang berkuasa dari Syria, Hisham menjadi satu dari tiga khalifah yang memiliki masa kekuasaan terlama, yakni 19 tahun. Dua yang lain adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan 'Abdul Malik bin Marwan.
Hisham lahir pada tahun 72 H, diangkat sebagai khalifah kesepuluh Bani Umayyah pada tahun 105 H. Ia naik tahta menggantikan saudara tirinya, Yazid bin Abdul Malik yang wafat karena dirundung patah hati.
Ada yang berpendapat, pada di era Hisham, menjadi salah satu puncak masa keemasan Dinasti Umayyah. Hal ini ditandai dengan banyak kemenangan dalam serangkaian ekspedisi militer. Hanya saja, sebagian lagi justru berpendapat sebaliknya. Ini terjadi karena di masa Hisham muncul banyak pemberontakan.
Pada era Hisham pemerintahannya sedang memeram bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.
Hisham bin Abdul Malik mewarisi setumpuk persoalan dari khalifah sebelumnya: Yazid II. Hingga mau tak mau iapun harus meladeni sejumlah pertempuran di berbagai front.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa Hisyam sebenarnya mencoba untuk bersikap moderat dan tidak memancing kegaduhan. Ia berusaha mengembalikan suasana keadilan di masa Umar bin Abdul Aziz. Tapi bagaimanapun, Hisham bukanlah Umar.
Contoh paling sederhana, Umar secara tegas melarang para khatib mencaci maki Ali bin Abi Thalib ketika khutbah Jumat. Tapi Hisham tidak mampu melarang kaumnya, ia hanya mampu sebatas menahan dirinya untuk tidak mencaci Ali saja.
Ini salah satu hal yang membuat Hisyam demikian lemah dibanding Umar bin Abdul Aziz. Ia tidak mampu melepaskan diri dari belenggu keluarga Umayyah. Bahkan di masa Hisham, nepotisme berlangsung demikian massif.
Dalam History of Tabari dijelaskan pada periode Hisham pemberontakan satu persatu muncul. Gejala umum yang terjadi dari serangkaian pemberontakan tersebut adalah menguatnya paham kesukuan di kalangan masyarakat yang dikuasai, dan mengerasnya fregmentasi politik antara Arab dan non-Arab.
Anehnya, Bani Umayyah seolah tidak menyadari bahwa sumber dari segala sumber masalah yang mereka hadapi adalah diri mereka sendiri. Bertahun-tahun Hisham dan keluarga Umayyah berusaha mengembalikan situasi yang berlangsung di zaman Umar bin Abdul Aziz , tapi selama durasi itu pula ia disibukkan dengan masalah pemberontakan di berbagai kawasan di seluruh wilayah.
Padahal situasi tersebut lahir sebagai respons atas maraknya praktik nepotisme dalam tubuh Dinasti Umayyah di era Hisham bin Abdul Malik. Wilayah-wilayah yang jauh diperlakukan seperti koloni, dan masyarakat non-Arab diperlakukan berbeda status politiknya.
Hisham, misalnya, tanpa pertimbangan objektif sedikitpun mengangkat pamannya dari pihak ibu yang bernama Ibrahim bin Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji).
Sosok pilihan Hisham ini sangat tidak kompeten, bahkan kebodohannya dalam hal agama dipertontonkan di hadapan jamaah haji yang datang dari berbagai negeri. Yang lebih parahnya, ia menyandarkan kredibilitas kata-katanya dari nasabnya, yang ketika diurai secara rinci ternyata berasal dari sosok yang oleh Al-Qur'an divonis sebagai penghuni neraka Saqar.
Pada musim haji tahun 109 H, Ibrahim bin Hisham berpidato di depan khalayak dengan membanggakan nasabnya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat unik (al-wahid).”
Maksudnya adalah sosok yang Allah SWT ciptakan sediri sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur'an, Surat al-Mudatssir ayat 11, “Biarlah Aku bertindak terhadap orang yang aku ciptakan sendiri (wahidan)”.
Menurut Imam al-Qurtubi, Imam Suyuthi, dan Imam Ibn Katsir rangkaian ayat 11-26 Surat al-Mudatssir ditujukan kepada al-Walid bin al-Mughirah, yang tidak lain adalah kakek dari Ibrahim bin Hisham. Ia adalah salah satu tokoh Quraisy yang sangat memusuhi dakwah Rasulullah SAW. Dan di Ayat 26 Surat al-Mudatssir, Allah SWT tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”
Di antara para khalifah Umayyah yang berkuasa dari Syria, Hisham menjadi satu dari tiga khalifah yang memiliki masa kekuasaan terlama, yakni 19 tahun. Dua yang lain adalah Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan 'Abdul Malik bin Marwan.
Hisham lahir pada tahun 72 H, diangkat sebagai khalifah kesepuluh Bani Umayyah pada tahun 105 H. Ia naik tahta menggantikan saudara tirinya, Yazid bin Abdul Malik yang wafat karena dirundung patah hati.
Ada yang berpendapat, pada di era Hisham, menjadi salah satu puncak masa keemasan Dinasti Umayyah. Hal ini ditandai dengan banyak kemenangan dalam serangkaian ekspedisi militer. Hanya saja, sebagian lagi justru berpendapat sebaliknya. Ini terjadi karena di masa Hisham muncul banyak pemberontakan.
Pada era Hisham pemerintahannya sedang memeram bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.
Hisham bin Abdul Malik mewarisi setumpuk persoalan dari khalifah sebelumnya: Yazid II. Hingga mau tak mau iapun harus meladeni sejumlah pertempuran di berbagai front.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa Hisyam sebenarnya mencoba untuk bersikap moderat dan tidak memancing kegaduhan. Ia berusaha mengembalikan suasana keadilan di masa Umar bin Abdul Aziz. Tapi bagaimanapun, Hisham bukanlah Umar.
Contoh paling sederhana, Umar secara tegas melarang para khatib mencaci maki Ali bin Abi Thalib ketika khutbah Jumat. Tapi Hisham tidak mampu melarang kaumnya, ia hanya mampu sebatas menahan dirinya untuk tidak mencaci Ali saja.
Ini salah satu hal yang membuat Hisyam demikian lemah dibanding Umar bin Abdul Aziz. Ia tidak mampu melepaskan diri dari belenggu keluarga Umayyah. Bahkan di masa Hisham, nepotisme berlangsung demikian massif.
Dalam History of Tabari dijelaskan pada periode Hisham pemberontakan satu persatu muncul. Gejala umum yang terjadi dari serangkaian pemberontakan tersebut adalah menguatnya paham kesukuan di kalangan masyarakat yang dikuasai, dan mengerasnya fregmentasi politik antara Arab dan non-Arab.
Anehnya, Bani Umayyah seolah tidak menyadari bahwa sumber dari segala sumber masalah yang mereka hadapi adalah diri mereka sendiri. Bertahun-tahun Hisham dan keluarga Umayyah berusaha mengembalikan situasi yang berlangsung di zaman Umar bin Abdul Aziz , tapi selama durasi itu pula ia disibukkan dengan masalah pemberontakan di berbagai kawasan di seluruh wilayah.
Padahal situasi tersebut lahir sebagai respons atas maraknya praktik nepotisme dalam tubuh Dinasti Umayyah di era Hisham bin Abdul Malik. Wilayah-wilayah yang jauh diperlakukan seperti koloni, dan masyarakat non-Arab diperlakukan berbeda status politiknya.
Hisham, misalnya, tanpa pertimbangan objektif sedikitpun mengangkat pamannya dari pihak ibu yang bernama Ibrahim bin Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji).
Sosok pilihan Hisham ini sangat tidak kompeten, bahkan kebodohannya dalam hal agama dipertontonkan di hadapan jamaah haji yang datang dari berbagai negeri. Yang lebih parahnya, ia menyandarkan kredibilitas kata-katanya dari nasabnya, yang ketika diurai secara rinci ternyata berasal dari sosok yang oleh Al-Qur'an divonis sebagai penghuni neraka Saqar.
Pada musim haji tahun 109 H, Ibrahim bin Hisham berpidato di depan khalayak dengan membanggakan nasabnya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat unik (al-wahid).”
Maksudnya adalah sosok yang Allah SWT ciptakan sediri sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur'an, Surat al-Mudatssir ayat 11, “Biarlah Aku bertindak terhadap orang yang aku ciptakan sendiri (wahidan)”.
Menurut Imam al-Qurtubi, Imam Suyuthi, dan Imam Ibn Katsir rangkaian ayat 11-26 Surat al-Mudatssir ditujukan kepada al-Walid bin al-Mughirah, yang tidak lain adalah kakek dari Ibrahim bin Hisham. Ia adalah salah satu tokoh Quraisy yang sangat memusuhi dakwah Rasulullah SAW. Dan di Ayat 26 Surat al-Mudatssir, Allah SWT tegas mengatakan “Kelak Aku akan memasukkanya ke dalam (neraka) Saqar.”