Dinasti Ghaznawi, Kesultanan yang Didirikan Seorang Budak

Kamis, 10 Maret 2022 - 09:01 WIB
loading...
Dinasti Ghaznawi, Kesultanan yang Didirikan Seorang Budak
Ilustrasi Sultan Mahmud Ghaznawi di istananya (Foto: Afganfun)
A A A
Dinasti Ghaznawi didirikan oleh Alptigin, seorang budak dari dinasti Samaniah, pada permulaan paruh kedua abad X Masehi. Mulanya ini hanyalah sebuah kerajaan kecil yang penuh intrik.

Wilayah Dinasti Ghaznawi kemudian meluas dari pinggir laut Kaspi di sebelah utara sampai Sungai Gangga di India dan dari sungai Oxus di Asia Tengah sampai sungai Indus (Hind) di pesisir selatan.

Dinasti ini menjadi besar pada masa Mahmud Ghaznawi. Ia menyatakan diri sebagai seorang penguasa merdeka dan untuk pertama kalinya memakai gelar sultan.



Mahmud telah memimpin 17 kali ekspedisi ke India dan selalu memperoleh kemenangan dalam setiap ekspedisi. Ekspedisi pertamanya terjadi tahun 1000 terhadap kota-kota garis depan Khyber Pass. Ia berhasil merebut benteng dan kota tersebut. Sementara, ekspedisi terakhirnya, tahun 1027 dilakukan di wilayah yang didiami suku Jat.

Berkat ekspedisinya yang terus menerus tersebut, hampir seluruh wilayah India utara jatuh ke tangan Mahmud. Secara politis, ekspedisi-ekspedisi ini membuka jalan bagi penaklukkan India di masa yang akan datang oleh pasukan Islam.

Selama 34 tahun masa pemerintahannya, Sultan Mahmud sangat memperhatikan masalah kebudayaan dan pengetahuan. Ia dikenal sebagai pelindung terbesar bagi perkembangan ilmiah abad ke-11.

Sultan Mahmud membawa peradaban Hindu dan Islam ke arah hubungan yang dekat dan saling tukar ide. Al-Biruni juga pernah hidup bersama Sultan Ghaznawi dan menghasilkan karya Tahkik-i-Hind (Penelitian tentang India).



Sultan Pertama
Mahmud Ghaznawi adalah penguasa pertama dalam sejarah dunia yang mengenakan gelar sultan secara resmi. Gelar tersebut disematkan kepadanya dengan makna bahwa dia merupakan seorang Khalifah Muslim, pemimpin tertinggi dalam otoritas keagamaan, dan pemimpin politik dari sebuah wilayah kekuasaan yang sangat luas, yang mana mencakup Iran, Turkmenistan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Afghanistan, Pakistan, dan India utara pada hari ini.

Nama lengkapnya adalah Yamin ad-Dawlah Abdul-Qasim Mahmud bin Sabuktegin. Ia lahir di kota Ghazna, sekarang di Afghanistan tenggara, pada tahun 971 M. Ayahnya, Abu Mansur Sabuktegin, adalah orang Turki, mantan prajurit Mamluk dari Ghazni.

Kata “Mamluk” berasal dari bahasa Arab yang berarti “seseorang yang dimiliki”, maknanya setara dengan kepemilikan terhadap barang tertentu, atau bila disederhanakan, Mamluk artinya adalah “budak”. Meskipun Mamluk secara faktanya memang budak, namun penting untuk diketahui bahwa gambaran tentang sosok Mamluk jauh dari gambaran umum tentang budak.

Mamluk adalah prajurit elit yang tadinya merupakan tawanan perang, kemudian dipekerjakan untuk mengabdi secara militer kepada seorang khalifah.

Ketika Alptigin mendirikan sebuah rezim tentara budak, dapat dikatakan dinasti Ghaznawi sebagai pelopor sebuah rezim yang di dalamnya didominasi prajurit budak.



Penaklukan
Ketika Dinasti Samaniyah (819–999), yang berbasis di Bukhara (sekarang di Uzbekistan) mulai runtuh, Sabuktegin mengambil alih kekuasaan di kampung halamannya di Ghazni pada tahun 977.

Dia kemudian melanjutkan penaklukkan terhadap kota-kota besar Afghanistan lainnya, di antaranya Kandahar. Kerajaan yang dibangunnya membentuk inti dari kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah yang akan datang, dan dia dinobatkan sebagai pendiri tonggak awal dinasti.

Mahmud menggantikan ayahnya. Setelah menjadi sultan, ia memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Ghaznawiyah ke wilayah-wilayah yang dulunya merupakan daerah kekuasaan kerajaan kuno, yaitu Kerajaan Kushan.

Dalam kampanyenya, dia menggunakan teknik dan taktik militer khas Asia Tengah, yang terutama mengandalkan kavaleri berkuda yang sangat mudah berpindah-pindah, yang dipersenjatai dengan busur pendek (compound bows).

Mahmud mempunyai semangat besar untuk menyiarkan Islam Sunni. Semangat ini diwujudkan antara lain dengan mengirimkan kelompok-kelompok pengajar Islam Sunni ke daerah-daerah yang ditaklukannya, seperti bangsa Ghur yang ditaklukannya pada tahun 401 H. Ia juga menyingkirkan kaum Mu’tazilah ke Khurasan dan buku-buku mereka, sebagaimana ia membakar buku-buku filsafat dan ilmu perbintangan.

Wilayah kekuasaan Mahmud merupakan wilayah yang terluas dalam sejarah dinasti Ghaznawi. Wilayah tersebut mencangkup India utara di timur, dan Irak-Persia di barat, serta seluruh daerah Khurasan, Takaristan yang berpusat di Balkh, sebagian Transoxiana di utara, dan Sijistan di selatan.

Dia menghiasi wilayah Ghaznah dengan bangunan-bangunan megah, mendirikan sebuah pusat pendidikan, serta menjadikan istananya sebagai tempat peristirahatan bagi para penyair dan ilmuwan.



Invasi ke India
Sebelum kematiannya, kesultanan Ghaznawi membentang sampai ke pantai Samudra Hindia di Gujarat selatan. Mahmud menunjuk raja-raja lokal untuk menjadi bawahan yang memerintah atas namanya di banyak daerah yang telah ditaklukkan.

Selain itu dia juga membuka hubungan baik dengan masyarakat non-Muslim. Dia menyambut para prajurit dan perwira Hindu dan Ismailiyah yang ingin bergabung ke dalam pasukannya. Namun, karena ekspansi dan peperangan yang terus-menerus, pada tahun-tahun terakhir masa pemerintahannya, kondisi keuangan Dinasti Ghaznawiyah mulai sulit. Akibatnya Mahmud memerintahkan pasukannya untuk menyerang kuil-kuil Hindu dan menjarah sejumlah besar emas.

Pada tahun 1026, Sultan Mahmud yang sudah berusia 55 tahun berangkat untuk menyerang negara bagian Kathiawar, yang berada di pantai barat India (Laut Arab). Pasukannya melaju ke ujung selatan Somnath, yang terkenal dengan kuil yang indah Dewa Siwa.

Meskipun pasukan Mahmud berhasil menduduki Somnath, dan menjarah dan menghancurkan kuil, namun berita buruk datang dari Afghanistan. Sejumlah suku Turki telah bangkit untuk menantang pemerintahan Ghaznawiyah, termasuk di antaranya orang-orang Turki Seljuk, yang telah merebut Merv (Turkmenistan) dan Nishapur (Iran).

Pada saat Mahmud meninggal pada 30 April 1030, para pemberontak ini sudah mulai menggerogoti perbatasan-perbatasan wilayah kekuasaan Kesultanan Ghaznawiyah. Sultan Mahmud meninggal pada usia 59 tahun.



Keruntuhan
Mahmud meninggalkan berbagai warisan. Dinastinya akan bertahan sampai tahun 1187, meskipun sudah mulai runtuh dari barat ke timur bahkan sebelum kematiannya.

Dinasti Ghaznawi tidak ditopang oleh angkatan bersenjata yang kuat, sehingga ketika seorang pemimpinnya yang sangat berpengaruh meninggal, maka semuanya segera menemui kehancuran.

Wilayah kekuasaan dinasti Ghaznawi di sebelah timur berangsur melepaskan diri dari pusat kota, dan munculah sejumlah dinasti Muslim independen di India.

Di utara dan barat muncul dinasti Khan dari Turkistan dan dinasti Seljuk dari Persia. Keduanya memisahkan diri dari kekuasaan Ghaznawi.

Di bagian tengah, dinasti Ghuriyah dari Afghanistan yang dipimpin Syihab al-Din al-Ghuri melakukan pemberontakan luar biasa dan puncaknya, pada tahun 1186 berhasil menghancurkan pijakan Ghaznawi yang terakhir di Lahore. Dengan hancurnya pijakan terkahir dinasti Ghaznawi tersebut maka berakhir pula eksistensi dinasti Ghaznawi.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2380 seconds (0.1#10.140)