Dunia, Penjara Bagi Orang Beriman dan Surga Bagi Orang Kafir
loading...
A
A
A
Imam Ibn Hajar Al-Asqalani pada zamannya adalah seorang hakim besar Mesir . Beliau jika pergi ke tempat kerjanya berangkat dengan naik kereta kencana yang ditarik oleh kuda-kuda atau keledai-keledai dalam sebuah arak-arakan.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati pasar. Seorang Yahudi Mesir penjual minyak ter, tiba-tiba menghadangnya.
Imam Ibn Hajar turun dan tersenyum kepada lelaki itu. Kala mereka berhadap-hadapan, penampilan keduanya tampak bertolak belakang. Ibn Hajar terlihat anggun dan megah dengan imamah putihnya yang cerah. Sementara Yahudi penjual minyak itu dekil, compang-camping, dan kumal. Bau apak nyaris busuk menguar dari badan dan pakaiannya.
Si Yahudi itu berkata ketus kepada Ibnu Hajar. Benarkah Nabimu bilang "dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surga nya orang kafir ?
"Ya, benar," jawab Ibnu Hajar.
"Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini. Sedang aku -yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini,” tanya Yahudi.
“Coba lihat,” sambung si Yahudi, “Aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak, miskin, dekil, compang-camping, dan lusuh. Aku merasa terpenjara oleh kekafiranku ini, sehingga aku adalah mukmin. Sedangkan kamu, hidup mewah dan tampil megah, menaiki kereta yang sangat indah. Sungguh, kamu seakan-akan hidup di surga. Maka sesuai hadis tadi, kamu adalah orang kafir.”
Ibn Hajar menyimak dan menganguk-angguk dengan senantiasa mengapungkan senyum di bibirnya. “Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadis itu, duhai cucu Ya’qub ?” balas Ibn Hajar.
Lelaki itu mengangguk.
“Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku,” papar Ibn Hajar, “Sebab segala kemewahan yang ku nikmati sekarang, sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dunia ini masih menahan langkah kami dengan jarak waktu, menguji keyakinan kami dengan takut, lapar, lelah, kekurangan, kehilangan, kesempitan, dan kesedihan. Adapun di surga, tak ada lagi semua itu, hanya nikmat yang tak berakhir lagi tak membosankan. Sunggguh, meski kau melihat kami tampak megah dan mewah, kami sedang terpenjara sebab masih menanti nikmat yang jauh lebih berlipat."
“Adapun engkau," ujar Ibn Hajar lagi. "Seperti yang engkau telah rasakan, hidupmu di dunia memang disesaki kepayahan dan penderitaan. Tetapi ketahuilah, semua nestapa yang mencekikmu itu tiada artinya dibanding apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka.
Saat ini kau masih dapat bernafas lega, makan jika lapar, minum jika haus, juga memiliki anak dan istri. Duniamu yang kau katakan terasa menyiksa, sungguh adalah surga, tempatmu masih bisa tertawa, berjalan dan berlari, bekerja dan memperoleh gaji.
Betapa surganya itu, dibanding siksa abadi kelak di neraka sejati. Api yang menghanguskan, siksa yang meremukkan. Kehausan yang diguyuri air mendidih. Kelaparan yang disuapi darah, nanah, dan zaqqum."
Si Yahudi penjual minyak itu ternganga. Dia menunduk dan tergugu. Ketika mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca, dia berkata lirih, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Segera, tanpa mempedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam.
“Selamat datang! Selamat datang, saudaraku! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala puji-pujian hanya milik-Nya yang telah menyelamatkanmu dari neraka !” sambutnya.
Mereka pun berangkulan erat. Hari itu, si penjual minyak di bawa Ibn Hajar ke rumahnya, dididik dan akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang ternama.
Pada suatu hari beliau dengan keretanya melewati pasar. Seorang Yahudi Mesir penjual minyak ter, tiba-tiba menghadangnya.
Baca Juga
Imam Ibn Hajar turun dan tersenyum kepada lelaki itu. Kala mereka berhadap-hadapan, penampilan keduanya tampak bertolak belakang. Ibn Hajar terlihat anggun dan megah dengan imamah putihnya yang cerah. Sementara Yahudi penjual minyak itu dekil, compang-camping, dan kumal. Bau apak nyaris busuk menguar dari badan dan pakaiannya.
Si Yahudi itu berkata ketus kepada Ibnu Hajar. Benarkah Nabimu bilang "dunia itu penjaranya orang yang beriman dan surga nya orang kafir ?
"Ya, benar," jawab Ibnu Hajar.
"Namun kenapa engkau sebagai seorang beriman menjadi seorang hakim besar di Mesir, dalam arak-arakan yang mewah, dan dalam kenikmatan seperti ini. Sedang aku -yang kafir- dalam penderitaan dan kesengsaran seperti ini,” tanya Yahudi.
“Coba lihat,” sambung si Yahudi, “Aku hidup dalam susah dan nestapa sebagai penjual minyak, miskin, dekil, compang-camping, dan lusuh. Aku merasa terpenjara oleh kekafiranku ini, sehingga aku adalah mukmin. Sedangkan kamu, hidup mewah dan tampil megah, menaiki kereta yang sangat indah. Sungguh, kamu seakan-akan hidup di surga. Maka sesuai hadis tadi, kamu adalah orang kafir.”
Ibn Hajar menyimak dan menganguk-angguk dengan senantiasa mengapungkan senyum di bibirnya. “Sudikah jika aku jelaskan padamu makna yang benar dari hadis itu, duhai cucu Ya’qub ?” balas Ibn Hajar.
Baca Juga
Lelaki itu mengangguk.
“Dunia adalah penjara bagi seorang mukmin seperti diriku,” papar Ibn Hajar, “Sebab segala kemewahan yang ku nikmati sekarang, sungguh tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Allah sediakan untuk kami di surga. Dunia ini masih menahan langkah kami dengan jarak waktu, menguji keyakinan kami dengan takut, lapar, lelah, kekurangan, kehilangan, kesempitan, dan kesedihan. Adapun di surga, tak ada lagi semua itu, hanya nikmat yang tak berakhir lagi tak membosankan. Sunggguh, meski kau melihat kami tampak megah dan mewah, kami sedang terpenjara sebab masih menanti nikmat yang jauh lebih berlipat."
“Adapun engkau," ujar Ibn Hajar lagi. "Seperti yang engkau telah rasakan, hidupmu di dunia memang disesaki kepayahan dan penderitaan. Tetapi ketahuilah, semua nestapa yang mencekikmu itu tiada artinya dibanding apa yang Allah sediakan bagimu kelak di neraka.
Saat ini kau masih dapat bernafas lega, makan jika lapar, minum jika haus, juga memiliki anak dan istri. Duniamu yang kau katakan terasa menyiksa, sungguh adalah surga, tempatmu masih bisa tertawa, berjalan dan berlari, bekerja dan memperoleh gaji.
Baca Juga
Betapa surganya itu, dibanding siksa abadi kelak di neraka sejati. Api yang menghanguskan, siksa yang meremukkan. Kehausan yang diguyuri air mendidih. Kelaparan yang disuapi darah, nanah, dan zaqqum."
Si Yahudi penjual minyak itu ternganga. Dia menunduk dan tergugu. Ketika mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca, dia berkata lirih, “Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah.”
Segera, tanpa mempedulikan pakaiannya yang mungkin terkotori, Imam Ibn Hajar Al-Asqalani memeluk si penjual minyak ter yang kini telah berislam.
“Selamat datang! Selamat datang, saudaraku! Selamat atas hidayah Allah padamu, segala puji-pujian hanya milik-Nya yang telah menyelamatkanmu dari neraka !” sambutnya.
Mereka pun berangkulan erat. Hari itu, si penjual minyak di bawa Ibn Hajar ke rumahnya, dididik dan akhirnya menjadi salah seorang muridnya yang ternama.