Muhammadiyah Tetapkan Awal Ramadhan 2 April, Ini Penjelasan Din Syamsuddin
loading...
A
A
A
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan awal puasa Ramadhan tahun ini jatuh pada hari Sabtu, 2 April 2022. Hal ini berdasarkan hasil hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tadjid PP Muhammadiyah.
Maklumat ini dikeluarkan PP Muhammadiyah bernomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang penetapan hasil hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1443 Hijriah.
Dalam maklumat ini, Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada Sabtu, 2 April 2022, dan 1 Syawal 1443 Hijriah jatuh pada Senin, 2 Mei 2022.
Prof Din Syamsuddin MA PhD di hadapan Orbiters—jamaah pengajian dari kalangan artis, akademisi, maupun aktivis—menerangkan, “Insyaallah kita akan memulai malam Ramadhan pada tanggal 1 April, berpuasa pada tanggal 2 April.”
Pembina Kajian Virtual Orbit itu menekankan, menurut rukyat bil aqli, pada Jumat, 29 Sya’ban 1443 H (1 April 2022 M) siang pukul 13.27.13 WIB sudah terjadi ijtima konjungsi bumi, bulan, dan matahari pada garis lurus ekliptika.
Rukyat bil aqli mendasarkan perhitungannya pada ‘penglihatan’ akal pikiran yang menyandarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. “Pada hari itu, waktu matahari terbenam, bulan berada pada ketinggian sekitar dua derajat di atas ufuk,” imbuh Prof Din, dalam pengajian virtual tersebut, Kamis pekan lalu, sebagaimana dilaporkan laman Muhammadiyah, pwmu.co.
Kemudian, dia menerangkan, ada tiga kriteria menurut pendekatan Muhammadiyah. Pertama, ijtima. “Ini pertanda bulan lama segera berakhir, pertanda akhir bulan Sya’ban,” terangnya.
Kata Prof Din, pendapat yang ekstrim menyatakan malam itu sudah jelas malam 1 Ramadhan. Namun, pendekatan Muhammadiyah masih menambah dengan dua kriteria lainnya. Kriteria kedua, ijtima terjadi sebelum matahari terbenam.
Dia mengungkap, “Hampir semua almanak kalender astronomi atau falakiah di kalangan umat Islam menyepakatinya. Di Indonesia banyak yang mengeluarkan almanak. Ormas-ormas Islam, termasuk Asosiasi Astronom Muslim Sedunia itu rata-rata perhitungannya eksak.”
Kriteria ketiga, ketika matahari terbenam, sore tanggal 1 April, bulan belum terbenam. “Matahari terbenam terlebih dahulu, bulan bertengger di atas ufuk. Berapapun derajatnya, dua, satu, bahkan setengah derajat,” tegasnya.
Kontroversi
Ini yang sering menimbulkan kontroversi. Dia menduga, “Untuk tahun ini, diduga akan ada perbedaan pendapat. Karena ketinggian bulan waktu matahari terbenam pada 1 April hanya setinggi dua derajat.”
Maka, lanjut Prof Din, yang menggunakan pendekatan rukyah bil aini (dengan mata kepala) mungkin tidak dapat melihatnya. Termasuk dengan alat, apalagi jika peralatannya kurang canggih.
Mereka menggunakan hadits: “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak dapat dilihat (terkendala kena mendung), maka sempurnakanlah bilangan bulat Syaban 30 hari.”
Kata Prof Din, menurut ahli hadits, hal ini terjadi pada masa Rasulullah SAW yang belum berkembang ilmu pengetahuan Falakh berbasis Fisika, Matematika, dan Astronomi. Tapi ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan dapat melihat secara ilmiah, maka terhitung memasuki bulan suci Ramadhan.
Beda Hadits
Din Syamsuddin menekankan penggunaan dasar hadis yang berbeda. Hadits di atas—bersanad Abu Hurairah dan Ibnu Abbas —mendapat kritikan ulama. Kritiknya, Abu Hurairah ketika pensyariatan puasa belum masuk Islam.
“Beliau masuk Islam 9 Hijriah, sedangkan pensyariatan puasa pada tanggal 2 Hijriah. Begitupula dengan Ibnu Abbas. Ketika pensyariatan puasa masih seorang bayi,” ungkap Prof Din.
Maka hadits yang Muhammadiyah gunakan hanya sama bagian awalnya, tapi beda bagian akhirnya. “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak terlihat, maka perhitungkanlah, perkirakan ini.” Hadits Ibnu Umar inilah yang dipakai ahli hisab.
Ketika Prof Din bertemu Dr Yusuf al-Qardhawi —ulama terkemuka di dunia Islam—-saat itu almarhum Prof Yunahar Ilyas bertanya, “Menurut Syaikh, mana yang lebih kuat antara hisab dan rukyah?”
Yusuf al-Qardhawi menjawab hisab. Rukyah itu dzonni. Beliau mengumpamakan, “Lihatlah gunung nun jauh di sana, apa warnanya terlihat dari jauh? Biru. Tapi kalau didekati bukan biru, tapi hijau,” terangnya.
Prof Din menegaskan, dengan rukyah bil aqli yang sekarang ini, sangat mudah diketahui seratus tahun lagi kapan awal Ramadhan. “Jangankan seratus, seribu tahun lagi (bisa). Karena perhitungan sangat eksak. Seperti halnya kita bisa mengetahui waktu sholat Maghrib. Sangat akurat. Bahkan sampai menit-detiknya bisa kita ketahui,” jelasnya.
Dia menambahkan, “Kapan berbuka puasa? Tidak perlu keluar rumah. Lihat saja jam. Ada menitnya, ada detiknya.”
Tak Perlu Dipertentangkan
Di akhir sambutannya, Prof Din mengingatkan, “Saudara-saudara, hal seperti ini tidak perlu dipertentangkan. Silakan menurut pemahaman dan keyakinan masing-masing!”
Namun, sambungnya, tidak akan bisa dipertemukan kalau dasar pendekatannya tidak bisa disepakati. “Sama-sama rukyat. Yang satu bil aini. Yang satu bil aqli,” ujarnya.
Dia menerangkan, “Seandainya tahun ini diduga terjadi kontroversi awal Ramadhan, kalau pada 1 April nanti pihak yang menggunakan rukyat bil aini dengan alat yang ditebar di berbagai daerah, apalagi pas musim hujan tidak bisa melihat hilal, maka seperti yang dianut pemerintah, malam itu kita belum memasuki bulan suci Ramadhan.”
Tapi bagi yang sudah meyakini perhitungan ilmiah, maka dia menegaskan, berarti memasuki bulan suci Ramadhan Jumat malam, 1 April, dengan menunaikan shalat tarawih dan mulai berpuasa pada tanggal 2 April.
Yang paling penting, lanjutnya, marilah kita memaknai bulan suci Ramadhan. “Tidak sekadar kita isi sebagai tamu yang datang secara rutin setiap tahun, namun kita maknai peribadatan yang berdampak pada perkembangan fitrah kemanusiaan,” ajaknya.
Maklumat ini dikeluarkan PP Muhammadiyah bernomor 01/MLM/I.0/E/2022 tentang penetapan hasil hisab Ramadhan, Syawal, dan Zulhijah 1443 Hijriah.
Dalam maklumat ini, Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1443 Hijriah jatuh pada Sabtu, 2 April 2022, dan 1 Syawal 1443 Hijriah jatuh pada Senin, 2 Mei 2022.
Baca Juga
Prof Din Syamsuddin MA PhD di hadapan Orbiters—jamaah pengajian dari kalangan artis, akademisi, maupun aktivis—menerangkan, “Insyaallah kita akan memulai malam Ramadhan pada tanggal 1 April, berpuasa pada tanggal 2 April.”
Pembina Kajian Virtual Orbit itu menekankan, menurut rukyat bil aqli, pada Jumat, 29 Sya’ban 1443 H (1 April 2022 M) siang pukul 13.27.13 WIB sudah terjadi ijtima konjungsi bumi, bulan, dan matahari pada garis lurus ekliptika.
Rukyat bil aqli mendasarkan perhitungannya pada ‘penglihatan’ akal pikiran yang menyandarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi. “Pada hari itu, waktu matahari terbenam, bulan berada pada ketinggian sekitar dua derajat di atas ufuk,” imbuh Prof Din, dalam pengajian virtual tersebut, Kamis pekan lalu, sebagaimana dilaporkan laman Muhammadiyah, pwmu.co.
Kemudian, dia menerangkan, ada tiga kriteria menurut pendekatan Muhammadiyah. Pertama, ijtima. “Ini pertanda bulan lama segera berakhir, pertanda akhir bulan Sya’ban,” terangnya.
Kata Prof Din, pendapat yang ekstrim menyatakan malam itu sudah jelas malam 1 Ramadhan. Namun, pendekatan Muhammadiyah masih menambah dengan dua kriteria lainnya. Kriteria kedua, ijtima terjadi sebelum matahari terbenam.
Dia mengungkap, “Hampir semua almanak kalender astronomi atau falakiah di kalangan umat Islam menyepakatinya. Di Indonesia banyak yang mengeluarkan almanak. Ormas-ormas Islam, termasuk Asosiasi Astronom Muslim Sedunia itu rata-rata perhitungannya eksak.”
Kriteria ketiga, ketika matahari terbenam, sore tanggal 1 April, bulan belum terbenam. “Matahari terbenam terlebih dahulu, bulan bertengger di atas ufuk. Berapapun derajatnya, dua, satu, bahkan setengah derajat,” tegasnya.
Baca Juga
Kontroversi
Ini yang sering menimbulkan kontroversi. Dia menduga, “Untuk tahun ini, diduga akan ada perbedaan pendapat. Karena ketinggian bulan waktu matahari terbenam pada 1 April hanya setinggi dua derajat.”
Maka, lanjut Prof Din, yang menggunakan pendekatan rukyah bil aini (dengan mata kepala) mungkin tidak dapat melihatnya. Termasuk dengan alat, apalagi jika peralatannya kurang canggih.
Mereka menggunakan hadits: “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak dapat dilihat (terkendala kena mendung), maka sempurnakanlah bilangan bulat Syaban 30 hari.”
Kata Prof Din, menurut ahli hadits, hal ini terjadi pada masa Rasulullah SAW yang belum berkembang ilmu pengetahuan Falakh berbasis Fisika, Matematika, dan Astronomi. Tapi ketika ilmu pengetahuan sudah berkembang dan dapat melihat secara ilmiah, maka terhitung memasuki bulan suci Ramadhan.
Beda Hadits
Din Syamsuddin menekankan penggunaan dasar hadis yang berbeda. Hadits di atas—bersanad Abu Hurairah dan Ibnu Abbas —mendapat kritikan ulama. Kritiknya, Abu Hurairah ketika pensyariatan puasa belum masuk Islam.
“Beliau masuk Islam 9 Hijriah, sedangkan pensyariatan puasa pada tanggal 2 Hijriah. Begitupula dengan Ibnu Abbas. Ketika pensyariatan puasa masih seorang bayi,” ungkap Prof Din.
Maka hadits yang Muhammadiyah gunakan hanya sama bagian awalnya, tapi beda bagian akhirnya. “Berpuasalah dengan rukyah dan berbukalah nanti bulan Syawal dengan rukyah. Jika tidak terlihat, maka perhitungkanlah, perkirakan ini.” Hadits Ibnu Umar inilah yang dipakai ahli hisab.
Ketika Prof Din bertemu Dr Yusuf al-Qardhawi —ulama terkemuka di dunia Islam—-saat itu almarhum Prof Yunahar Ilyas bertanya, “Menurut Syaikh, mana yang lebih kuat antara hisab dan rukyah?”
Yusuf al-Qardhawi menjawab hisab. Rukyah itu dzonni. Beliau mengumpamakan, “Lihatlah gunung nun jauh di sana, apa warnanya terlihat dari jauh? Biru. Tapi kalau didekati bukan biru, tapi hijau,” terangnya.
Prof Din menegaskan, dengan rukyah bil aqli yang sekarang ini, sangat mudah diketahui seratus tahun lagi kapan awal Ramadhan. “Jangankan seratus, seribu tahun lagi (bisa). Karena perhitungan sangat eksak. Seperti halnya kita bisa mengetahui waktu sholat Maghrib. Sangat akurat. Bahkan sampai menit-detiknya bisa kita ketahui,” jelasnya.
Dia menambahkan, “Kapan berbuka puasa? Tidak perlu keluar rumah. Lihat saja jam. Ada menitnya, ada detiknya.”
Baca Juga
Tak Perlu Dipertentangkan
Di akhir sambutannya, Prof Din mengingatkan, “Saudara-saudara, hal seperti ini tidak perlu dipertentangkan. Silakan menurut pemahaman dan keyakinan masing-masing!”
Namun, sambungnya, tidak akan bisa dipertemukan kalau dasar pendekatannya tidak bisa disepakati. “Sama-sama rukyat. Yang satu bil aini. Yang satu bil aqli,” ujarnya.
Dia menerangkan, “Seandainya tahun ini diduga terjadi kontroversi awal Ramadhan, kalau pada 1 April nanti pihak yang menggunakan rukyat bil aini dengan alat yang ditebar di berbagai daerah, apalagi pas musim hujan tidak bisa melihat hilal, maka seperti yang dianut pemerintah, malam itu kita belum memasuki bulan suci Ramadhan.”
Tapi bagi yang sudah meyakini perhitungan ilmiah, maka dia menegaskan, berarti memasuki bulan suci Ramadhan Jumat malam, 1 April, dengan menunaikan shalat tarawih dan mulai berpuasa pada tanggal 2 April.
Yang paling penting, lanjutnya, marilah kita memaknai bulan suci Ramadhan. “Tidak sekadar kita isi sebagai tamu yang datang secara rutin setiap tahun, namun kita maknai peribadatan yang berdampak pada perkembangan fitrah kemanusiaan,” ajaknya.
(mhy)