Kisah Menyentuh Rabi'ah ar-Ra'yi, 30 Tahun Ditinggal Jihad sang Ayah
loading...
A
A
A
Pemuda perkasa itu bernama Farrukh. Ia akhirnya kembali ke Madinah setelah bertahun-tahun bergabung dengan pasukan muslim dan banyak melakukan pertempuran.
Farrukh kembali ke kota Rasulullah SAW dalam usia 30 tahun. Kini dia bertekad membangun mahligai rumah tangga, menyunting seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya sebuah rumah yang sederhana di kota Madinah, dipilihnya seorang gadis yang sudah matang pikirannya, sempurna agamanya, serasi tubuh, dan usianya.
Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya rumah dan istri yang salehah. Sekarang dia benar-benar bisa merasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur semua tatanan kehidupan, persis seperti yang diharapkan dan dicita-citakannya.
Hanya saja, rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang salehah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan kepadanya tak mampu meredam gejolak kerinduannya terhadap jihad fi sabilillah .
Pahlawan mukmin ini ingin kembali memasuki medan tempur. Setiap kali mendengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.
Hari Jumat, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Khatib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabilillah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi meninggikan agama-Nya.
Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang di hatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian beliau ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”
Farrukh berkata, “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang kukumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah secukup untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-baiknya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, atau Allah Ta’ala memberi aku rezeki sebagai syuhada seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.
Budak yang Dimerdekakan
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menjelaskan Farrukh adalah budak sahabat yang agung ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, amir di Khurasan, yang sudah dibebaskan.
Ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi adalah pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal. Pada tahun 51 Hijriyah ia di dampingi Farrukh dalam setiap pertempuran.
Kala itu kelompok-kelompok pasukan kaum muslimin memporak-porandakan sarang-sarang kekufuran di muka bumi, di Timur dan di Barat.
Setelah Allah Ta’ala mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, ar-Rabi bermaksud melengkapi kemenangannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk mengibarkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “negeri di belakang sungai” itu.
Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direnacakan itu, mengatur strategi dan memberikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi musuh yang hendak diserangnya.
Tatkala perang benar-benar pecah, ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang sejarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Farrukh, budaknya, juga memperlihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan peperangan hingga bertambahlah kekaguman dan penghargaan ar-Rabi’ terhadapnya.
Perang ini dimenangkan pasukan muslim. Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakkan kaki di tepiannya, panglima beserta pasukannya langsung berwudhu. Semua menghadap ke kiblat, menunaikan salat dua rakaat sebagi ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan mereka.
Selanjutnya, panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan dirinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak, ditambah lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima ar-Rabi’
Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kerelaan.
Nah, setelah itu Farrukh pulang ke Madinah. Dan setelah menikah, ia rindu kembali ke medan perang. Farrukh ingin mati sahid.
Farrukh kembali ke kota Rasulullah SAW dalam usia 30 tahun. Kini dia bertekad membangun mahligai rumah tangga, menyunting seorang gadis agar lebih tenang hidupnya. Dibelinya sebuah rumah yang sederhana di kota Madinah, dipilihnya seorang gadis yang sudah matang pikirannya, sempurna agamanya, serasi tubuh, dan usianya.
Farrukh sangat bersyukur atas karunia Allah yang memberinya rumah dan istri yang salehah. Sekarang dia benar-benar bisa merasakan kenikmatan hidup didampingi istri yang mampu mengatur semua tatanan kehidupan, persis seperti yang diharapkan dan dicita-citakannya.
Hanya saja, rumah yang nyaman dengan segala kebutuhan hidup dan istri yang salehah beserta akhlak dan kecantikan yang telah Allah karuniakan kepadanya tak mampu meredam gejolak kerinduannya terhadap jihad fi sabilillah .
Pahlawan mukmin ini ingin kembali memasuki medan tempur. Setiap kali mendengar berita tentang kemajuan yang dicapai pasukan muslimin, makin bertambah kerinduannya untuk berjihad, makin dalam hasratnya untuk dapat mati syahid.
Hari Jumat, khatib masjid Nabawi memberikan kabar gembira tentang kemenangan kaum muslimin di berbagai medan perang. Khatib juga memberikan motivasi orang-orang untuk terus berjihad fi sabilillah, menjelaskan kepada mereka akan keutamaan syahid demi meninggikan agama-Nya.
Pulanglah Farrukh ke rumahnya sedang di hatinya telah bulat tekadnya untuk berjuang di bawah panji-panji kaum muslimin yang bertebaran di muka bumi. Kemudian beliau ceritakan tekadnya kepada istrinya, sehingga istrinya bertanya, “Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau hendak menitipkan aku beserta janin dalam kandunganku ini, sedangkan engkau adalah orang asing yang tak punya sanak keluarga di kota ini?”
Farrukh berkata, “Aku titipkan engkau kepada Allah dan rasul-Nya. Kemudian aku tinggalkan untukmu uang 30.000 dinar, hasil yang kukumpulkan dari pembagian ghanimah peperangan. Pakailah secukup untuk keperluanmu dan keperluan bayi kita dengan sebaik-baiknya sampai aku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah, atau Allah Ta’ala memberi aku rezeki sebagai syuhada seperti yang saya dambakan.” Kemudian beliau pamit kepada istrinya, pergi memburu cita-citanya.
Baca Juga
Budak yang Dimerdekakan
Dr. Abdurrahman Ra’at Basya dalam Mereka adalah Para Tabi’in menjelaskan Farrukh adalah budak sahabat yang agung ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, amir di Khurasan, yang sudah dibebaskan.
Ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi adalah pembuka pintu Sajistan dan panglima yang handal. Pada tahun 51 Hijriyah ia di dampingi Farrukh dalam setiap pertempuran.
Kala itu kelompok-kelompok pasukan kaum muslimin memporak-porandakan sarang-sarang kekufuran di muka bumi, di Timur dan di Barat.
Setelah Allah Ta’ala mengaruniakan kemenangan atas Sajistan dan beberapa daerah lainnya, ar-Rabi bermaksud melengkapi kemenangannya yang gemilang dengan melintasi sungai Seyhun untuk mengibarkan panji-panji tauhid di bukit-bukit yang disebut sebagai “negeri di belakang sungai” itu.
Ar-Rabi’ bin Ziyad mempersiapkan pasukan untuk menyongsong perang yang telah direnacakan itu, mengatur strategi dan memberikan pengarahan tentang saat yang tepat untuk menyerang, juga posisi musuh yang hendak diserangnya.
Tatkala perang benar-benar pecah, ar-Rabi’ beserta pasukannya yang militan menampilkan kebolehannya yang selalu dikenang sejarah dengan seruan tasbih dan pekikan takbir. Farrukh, budaknya, juga memperlihatkan kegagahan dan ketangkasannya di medan peperangan hingga bertambahlah kekaguman dan penghargaan ar-Rabi’ terhadapnya.
Perang ini dimenangkan pasukan muslim. Setelah berhasil menyeberangi sungai dan menginjakkan kaki di tepiannya, panglima beserta pasukannya langsung berwudhu. Semua menghadap ke kiblat, menunaikan salat dua rakaat sebagi ungkapan rasa syukur kepada Allah yang telah memenangkan mereka.
Selanjutnya, panglima besar memberikan hadiah kepada Farrukh atas andilnya yang besar dalam peperangan berupa kemerdekaan dirinya. Farrukh juga mendapatkan bagian ghanimah yang banyak, ditambah lagi dengan pemberian secara pribadi dari panglima ar-Rabi’
Tak berselang lama pasca hari-hari bahagia ini, ajal menjemput ar-Rabi’ bin Ziyad al-Haritsi, tepatnya dua tahun sesudah cita-citanya yang agung terwujud, dia kembali ke sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan penuh kerelaan.
Nah, setelah itu Farrukh pulang ke Madinah. Dan setelah menikah, ia rindu kembali ke medan perang. Farrukh ingin mati sahid.