Kisah Menyentuh Rabi'ah ar-Ra'yi, 30 Tahun Ditinggal Jihad sang Ayah

Senin, 11 April 2022 - 17:27 WIB
loading...
A A A
Masih banyak orang hilir mudik di perkampungan Madinah, mengingat baru saja sholat isya usai ditunaikan. Tetapi orang-orang itu berlalu begitu saja. Tidak ada yang mengenalinya, tak ada yang menghiraukannya, tak ada yang memperhatikan kuda atau pedang yang bersandang di pundaknya, sebab mereka yang tinggal di kota-kota Islam sudah tak asing lagi melihat mujahidin yang pulang pergi untuk berperang fii sabilillah.

Rasa penasaran dan was-was menggelayuti pikiran prajurit tua ini. Saat ini ia masih sibuk memikirkan jalan-jalan dan bangunan yang telah banyak berubah, tiba-tiba ia dapatkan dirinya telah berada di depan rumahnya. Dia dapatkan pintunya sedikit terbuka. Kegembiraannya yang meluap menyebabkan ia lupa meminta izin kepada yang berada di dalam rumah. Ia pun langsung masuk rumah melalui pintu tersebut.

Si empunya rumah yang mendengar suara pintu terbuka menengok dari lantai atas rumahnya. Maka dalam cahaya bulan dilihatnya ada seorang yang menyandang pedang dan membawa tombak, malam-malam memasuki kediamannya.

Laki-laki yang menghuni rumah itu pun meloncat dengan marah dan turun sambil membentak, “Engkau berani memasuki rumah dan menodai kehormatanku malam-malam, wahai musuh Allah?!”

Dia menerkam bagaikan singa yang mengamuk ketika sarangnya hendak dirusak. Tak ada kesempatan lagi untuk bicara. Keduanya langsung bergulat, saling terkam, saling tuduh dan makin lama makin panas. Para tetangga dan orang-orang di jalanan mengerumuni dua orang yang sedang berkelahi itu. Mereka hendak mengeroyok orang asing itu untuk membela tetangganya.

Beberapa jurus kemudian, laki-laki yang di rumah itu mencengkeram kuat-kuat leher lawannya seraya berkata, “Wahai musuh Allah, Demi Allah aku tak akan melepaskanmu kecuali di muka hakim!”

Orang asing itu berkata, “Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku, milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.”

Dia menoleh kepada orang-orang sembari berkata, “Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahu lalu pergi berjihad fi sabilillah?”

Bersaman itu, ibu si empunya rumah yang sedang tidur terbangun oleh keributan itu lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu. Namun dengan sekuat tenaga dia berseru, “Lepaskan… lepaskan dia, Rabiah… lepaskan dia, putraku, Dia adalah ayahmu… dia ayahmu… saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah memberkahi kalian, tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu.. jantung hatimu…”

Demi mendengar teriakan itu, seketika Farrukh memeluk dan menciumi putranya. Begitu pula ar-Rabi’ah, beliau mencium tangan ayahnya. Orang-orang pun bubar meninggalkan keduanya.

Turunlah Ummu ar-Rabiah untuk menyambut suaminya dan memberi salam. Padahal dia tak mengira bisa bertemu lagi dengan suaminya setelah hampir sepertiga abad terputus kabar beritanya.



Uang Titipan
Suatu kali, Farrukh duduk-duduk bersama istrinya, bercerita asyik tentang keadaannya dan sebab-musabab terputusnya berita darinya. Namun isterinya tak bisa menikmati ceritanya, karena tiba-tiba muncul perkara yang menggelayuti pikirannya.

Kebahagiaannya berkumpul dengan suaminya dibayangi kekhawatiran akan masalah uang titipan suaminya yang telah ludes. Dalam hati dia bergumam, “Apa yang harus aku katakan bila suamiku menanyakan uang yang diamanatkan kepadaku agar kumanfaatkan dengan baik, bagaimana kiranya sikap suamiku bila aku katakan bahwa hartanya itu sudah habis tak tersisa."

"Bisakah dia menerima alasanku bahwa uang itu habis untuk biaya pendidikan putranya? Percayakah dia bahwa pendidikan putranya sampai menghabiskan 30 ribu dinar? Bisakah suaminya percaya bahwa tangan putranya lebih pemurah dari awan yang mencurahkan hujannya? Sementara dia tidak menyisakan satu dirham pun? Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa dia sangat pemurah dalam memberikan bayaran kepada guru-guru putranya."

Selagi pikirannya terbang jauh, tiba-tiba suaminya menoleh kepadanya dan berkata, “Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah. Kita bisa hidup dari hasil sewanya selama sisa usia kita.”

Ummu ar-Rabi’ah pura-pura sibuk dan tidak menjawabnya, suaminya mengulangi pertanyaannya, “Lekaslah, mana uang itu? Bawalah kemari agar bisa disatukan dengan hasil yang kubawa.”

Dia berkata, “Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan kuambil beberapa hari lagi insyaAllah…"

Pembicaraan antara keduanya terputus lantaran terdengar suara azan. Farrukh bergegas mengambil air wudlu lalu menuju ke pintu sambil bertanya, “Mana ar-Rabi’ah?”

Istrinya menjawab, “Dia sudah lebih dahulu berangkat ke masjid. Saya kira engkau akan tertinggal sholat berjamaah.”
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1880 seconds (0.1#10.140)