Kisah Menyentuh Rabi'ah ar-Ra'yi, 30 Tahun Ditinggal Jihad sang Ayah
loading...
A
A
A
Sampailah Farrukh di masjid, beliau mendapati imam sudah menyelesaikan sholatnya. Dia pun segera sholat, kemudian menuju ke makam Rasulullah SAW dan mengucap shalawat atasnya, setelah itu mengambil tempat di Raudhah Muthahharah (tempat antara makam nabi dengan mimbarnya). Betapa rindunya beliau untuk sholat. Maka beliau memilih tempat untuk salat sunah kemudian beliau berdoa sekehendaknya.
Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari syaikh majelis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa nampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda.
Mereka semua duduk menghamparkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena untuk mencatat semua uraian syaikh itu, kemudian dihafalkan. Semua mengarahkan pandangan kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala mereka seperti ada burung yang bertengger. Para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu, agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.
Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar biasa itu tetapi nihil, karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada ingatannya yang tajam dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.
Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai. Syaikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang langsung berkerumun dan mengiringkannya hingga keluar masjid.
Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan yang di sebelahnya,
Farrukh: “Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?”
Fulan: “Apakah Anda bukan penduduk Madinah?”
Farrukh: “Saya penduduk sini.”
Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal syaikh yang memberikan ceramah itu?”
Farrukh: “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali.”
Fulan: “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syaikh yang Anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda.”
Farrukh: “Masya Allah… laa quwwata illa billah.” (tidak ada kekuatan kecuali dari Allah).
Fulan: “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan lain-lain.”
Farrukh: “Tetapi Anda belum…”
Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.
Fulan: “Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Farrukh: “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”
Fulan: “Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”
Ketika beliau berhasrat untuk pulang, dilihatnya ruangan masjid sudah padat dengan orang yang hendak belajar, pemandangan yang belum ia saksikan sebelumnya. Mereka duduk melingkari syaikh majelis ilmu tersebut sampai tak ada lagi tempat kosong untuk berjalan. Dia mengamati, ternyata orang-orang yang hadir itu ada yang telah lanjut usia, orang-orang yang terlihat berwibawa nampak sebagai orang terhormat, juga para pemuda.
Mereka semua duduk menghamparkan lututnya, masing-masing memegang buku dan pena untuk mencatat semua uraian syaikh itu, kemudian dihafalkan. Semua mengarahkan pandangan kepada syaikh majelis. Dengan tekun mereka mendengarkan dan mencatat hingga seolah-olah kepala mereka seperti ada burung yang bertengger. Para mubaligh mengulangi kata demi kata dari syaikh itu, agar tidak ada seorang pun yang keliru mendengarnya mengingat jaraknya yang cukup jauh.
Farrukh berusaha melihat wajah syaikh yang luar biasa itu tetapi nihil, karena orang-orang terlalu padat dan jaraknya yang cukup jauh. Dia kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada ingatannya yang tajam dan ilmunya yang luas, juga antusias hadirin yang untuk mendengarkannya.
Beberapa waktu kemudian majelis itupun usai. Syaikh berdiri dari tempatnya, sementara orang-orang langsung berkerumun dan mengiringkannya hingga keluar masjid.
Farrukh yang belum beranjak dari tempatnya bertanya kepada fulan yang di sebelahnya,
Farrukh: “Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?”
Fulan: “Apakah Anda bukan penduduk Madinah?”
Farrukh: “Saya penduduk sini.”
Fulan: “Masih adakah di Madinah ini orang yang tak mengenal syaikh yang memberikan ceramah itu?”
Farrukh: “Maaf, saya benar-benar tidak tahu karena sudah sejak 30 tahun lalu saya meninggalkan kota ini dan baru kemarin saya kembali.”
Fulan: “Tidak apa, duduklah sejenak, akan saya jelaskan. Syaikh yang Anda dengarkan ceramahnya tadi adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam kami meski usianya masih sangat muda.”
Farrukh: “Masya Allah… laa quwwata illa billah.” (tidak ada kekuatan kecuali dari Allah).
Fulan: “Majelisnya dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id dan lain-lain.”
Farrukh: “Tetapi Anda belum…”
Orang tersebut tidak memberinya kesempatan untuk bicara. Dia melanjutkan pujiannya.
Fulan: “Di samping itu dia sangat dermawan dan bijaksana. Tidak ada di Madinah ini orang yang lebih dermawan terhadap kawan dan keluarga darinya. Dia hanya mengharapkan apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Farrukh: “Tetapi, Anda belum menyebutkan namanya.”
Fulan: “Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”