Ayat-Ayat Al-Quran Terkesan Acak, Begini Penjelasan Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Seringkali pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas terkesan tidak saling berkaitan.
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya.
Bagi orang yang tekun mempelajarinya, ujar Qurasih Shihab, akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
"Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan," ujar Quraish Shihab.
Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah.
Mengapa demikian? Mengapa terkesan acak? Menurut Quraish Shihab, jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan ajarannya secara terpadu."
Tidakkah babi lebih dianjurkan untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan .
Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
Akal Tanpa Kalbu
Allah SWT berfirman:
"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" ( QS Al-'Alaq [96] : 4-5)
Quraish Shihab mengatakan betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu.
Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" ( QS Thaha [20] : 17).
Musa sadar sambil menjawab, "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, di samping keperluan-keperluan lain" ( QS Thaha [20] : 18).
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran Allah SWT dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)" ( QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" ( QS Al-Anfal [8] : 17).
Kelemahan Manusiawi
Selanjutnya Qurasih Shihab, mengatakan kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.
Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:
"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" ( QS Al-Qashash [28] : 81).
Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir ( QS Al-Qashash [28] : 82).
Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Qurasih Shihab mengatakan Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya:
Maksudnya, "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" ( QS Yusuf [12] : 23).
Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
Yang pertama dan kedua adalah, "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik" ( QS Yusuf [12] : 23).
Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup. "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" ( QS Yusuf [12] : 23).
Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat" menjelaskan sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya.
Bagi orang yang tekun mempelajarinya, ujar Qurasih Shihab, akan menemukan keserasian hubungan yang amat mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung pangkalnya.
"Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin-bahwa ajaran-ajaran Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat dipisah-pisahkan," ujar Quraish Shihab.
Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri, dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan ayat surat Al-Baqarah.
Mengapa demikian? Mengapa terkesan acak? Menurut Quraish Shihab, jawabannya antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan ajarannya secara terpadu."
Tidakkah babi lebih dianjurkan untuk dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu.
Bersedekah tidak pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan Ramadhan .
Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah faktual atau simbolik.
Akal Tanpa Kalbu
Allah SWT berfirman:
الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ
عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ
عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ
"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia ketahui" ( QS Al-'Alaq [96] : 4-5)
Quraish Shihab mengatakan betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu.
Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan pencuri.
Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa, akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material: "Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" ( QS Thaha [20] : 17).
Musa sadar sambil menjawab, "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun) dengannya untuk kambingku, di samping keperluan-keperluan lain" ( QS Thaha [20] : 18).
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material, Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk mengingatkan manusia akan kehadiran Allah SWT dan bahwa segala sesuatu yang teriadi -sekecil apa pun- adalah di bawah kekuasaan, pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam jangkauan pengetahuannya)" ( QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" ( QS Al-Anfal [8] : 17).
Kelemahan Manusiawi
Selanjutnya Qurasih Shihab, mengatakan kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan "kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat indah lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu, atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan setan.
Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan setelah enggan berkali-kali mendengar nasihat, terjadilah bencana longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:
"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" ( QS Al-Qashash [28] : 81).
Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun, "Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir ( QS Al-Qashash [28] : 82).
Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Qurasih Shihab mengatakan Al-Quran, bahkan mengemukakan situasi, langkah konkret dan kalimat-kalimat rayuan seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang pemuda yang tinggal di rumahnya:
Maksudnya, "(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat, seraya berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada kekasihnya-setelah berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" ( QS Yusuf [12] : 23).
Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara seniman, yang memancing nafsu dan merangsang berahi. Al-Quran menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang dengan tiga cara rayuannya,
Yang pertama dan kedua adalah, "Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku, yang memperlakukan aku dengan baik" ( QS Yusuf [12] : 23).
Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup. "Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku aniaya" ( QS Yusuf [12] : 23).
(mhy)