3 Makna Lailatul Qadar Menurut Quraish Shihab
loading...
A
A
A
Hal yang dinantikan di bulan Ramadhan adalah turunnya lailatul qadar . Lalu, apa arti malam Al-Qadr dan mengapa malam itu dinamai demikian?
Cendekiawan muslim ilmu Al-Qur’an, Prof Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " menjelaskan kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
Pertama, penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44 :3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun.
Al-Qur'an yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad SAW, guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Qur'an antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd : Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, menurut Quraish, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?
Wajib Mengimani
Quraish Shihab menegaskan setiap muslim wajib mengimani apa yang dinyatakan Al-Qur'an, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" ( QS 97 :1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" ( QS 44 :3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1).
Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.
Menurut Quraish, 13 kalimat ma adraka terulang dalam Al-Qur'an. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah ... 'illiyyun, dan sebagainya.
Quraish mengatakan kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. “Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr,” tuturnya.
Kalau dilihat pemakaian Al-Qur'an tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr.
Walaupun demikian, menurut Quraish, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Qur'an dalam tiga ayat.
Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba ( Al-Ahzab : 63)
Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... ( Al-Syura :17)
Wa ma yudrika la allahu yazzakka ( Abasa : 3).
Quraish menjelaskan, dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Qur'an --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi SAW tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib.
“Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Qur'an untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi SAW sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi SAW, sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau,” katanya.
Itu semua berarti, lanjut Quraish, bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.
Cendekiawan muslim ilmu Al-Qur’an, Prof Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran " menjelaskan kata qadr sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
Pertama, penetapan dan pengaturan sehingga Laylat Al-Qadr dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia.
Pendapat ini dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah pada surah 44 :3 yang disebut di atas. Ada ulama yang memahami penetapan itu dalam batas setahun.
Al-Qur'an yang turun pada malam Laylat Al-Qadr diartikan bahwa pada malam itu Allah SWT mengatur dan menetapkan khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya, Muhammad SAW, guna mengajak manusia kepada agama yang benar yang pada akhirnya akan menetapkan perjalanan sejarah umat manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia yang tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih.
Kata qadr yang berarti mulia ditemukan dalam ayat ke-91 surah Al-An'am yang berbicara tentang kaum musyrik: Ma qadaru Allaha haqqa qadrihi idz qalu ma anzala Allahu 'ala basyarin min syay'i (Mereka itu tidak memuliakan Allah sebagaimana kemuliaan yang semestinya, tatkala mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia).
Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surah Al-Qadr: Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadr yang berarti sempit digunakan oleh Al-Qur'an antara lain dalam ayat ke-26 surah Al-Ra'd : Allah yabsuthu al-rizqa liman yasya' wa yaqdiru (Allah melapangkan rezeki bagi yang dikehendaki dan mempersempitnya [bagi yang dikehendaki-Nya]).
Ketiga arti tersebut, menurut Quraish, pada hakikatnya, dapat menjadi benar, karena bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila dapat diraih maka ia menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan?
Wajib Mengimani
Quraish Shihab menegaskan setiap muslim wajib mengimani apa yang dinyatakan Al-Qur'an, bahwa "Ada suatu malam yang bernama Laylat Al-Qadr" ( QS 97 :1) dan bahwa malam itu adalah "malam yang penuh berkah di mana dijelaskan atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan" ( QS 44 :3).
Malam tersebut terjadi pada bulan Ramadhan karena Kitab Suci menginformasikan bahwa ia diturunkan oleh Allah pada bulan Ramadhan (QS 2:185) serta pada malam Al-Qadr (QS 97:1).
Malam tersebut adalah malam mulia, tidak mudah diketahui betapa besar kemuliaannya. Ini diisyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam bentuk pengagungan, yaitu Wa ma adraka ma laylat Al-Qadr.
Menurut Quraish, 13 kalimat ma adraka terulang dalam Al-Qur'an. Sepuluh di antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang terkait dengan hari kemudian, seperti Ma adraka ma Yawm Al-Fashl, ... Al-Haqqah ... 'illiyyun, dan sebagainya.
Quraish mengatakan kesemuanya itu merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya. “Dari ketiga belas kali ma adraka itu terdapat tiga kali yang mengatakan: Ma adraka ma al-thariq, Ma adraka ma al-aqabah, dan Ma adraka ma laylat al-qadr,” tuturnya.
Kalau dilihat pemakaian Al-Qur'an tentang hal-hal yang menjadi objek pertanyaan, maka kesemuanya adalah hal-hal yang sangat hebat dan sulit dijangkau hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia. Hal ini tentunya termasuk Laylat Al-Qadr.
Walaupun demikian, menurut Quraish, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma adraka dan ma yudrika yang juga digunakan oleh Al-Qur'an dalam tiga ayat.
Wa ma yudrika la 'alla al-sa'ata takunu qariba ( Al-Ahzab : 63)
Wa ma yudrika la'alla al-sa'ata qarib ... ( Al-Syura :17)
Wa ma yudrika la allahu yazzakka ( Abasa : 3).
Quraish menjelaskan, dua hal yang dipertanyakan dengan wa ma yudrika adalah pertama menyangkut waktu kedatangan hari kiamat dan kedua apa yang berkaitan dengan kesucian jiwa manusia.
Secara gamblang, Al-Qur'an --demikian pula Al-Sunnah-- menyatakan bahwa Nabi SAW tidak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, dan tidak pula mengetahui tentang yang gaib.
“Ini berarti bahwa ma yudrika digunakan oleh Al-Qur'an untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui walaupun oleh Nabi SAW sendiri. Sedangkan wa ma adraka, walaupun berupa pertanyaan, namun pada akhirnya Allah SWT menyampaikannya kepada Nabi SAW, sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau,” katanya.
Itu semua berarti, lanjut Quraish, bahwa persoalan Laylat Al-Qadr harus dirujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW, karena di sanalah dapat diperoleh informasinya.
(mhy)