Kisah Sa’id bin Musayya Tolak Putra Khalifah Abdul Malik dan Pilih Duda Miskin sebagai Menantu
loading...
A
A
A
Begitu ia membuka pintu, ternyata yang berdiri di depannya adalah Imam asy-Syaikh Ibnu Musayyab. Abu Wardaah menduga bahwa beliau mungkin menyesal karena tergesa-gesa dalam menikahkan putrinya lalu datang untuk membicarakannya dengannya. Oleh sebab itu Abu Wardaah segera berkata: "Wahai Abu Muhammad, mengapa Anda tidak menyuruh seseorang untuk memanggilku agar aku menghadap Anda?"
"Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi," jawab Said.
"Silakan masuk!" ujar Abu Wardaah mempersilakan.
"Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan," jawab Said.
"Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?"
"Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Taala sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang."
"Aduh, Anda sudah membawanya kemari?"
"Benar."
Abu Wardaah melihat ternyata istrinya berdiri di belakang mertuanya itu. Syaikh menoleh kepada putrinya itu lalu berkata, "Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!" ujarnya.
Pada saat ia hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan Abu Wardaah hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera akan ia ambil piring berisi roti dan zaitun. Ia geser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.
Selanjutnya Abu Wardaah naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, "Ada apa wahai Abu Wadaah?"
"Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Said bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini."
Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, "Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Said bin Musayyab menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak."
"Benar. Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan," jawab Abu Wardaah.
Beberapa tetangga berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur putri Said itu. Tak lama kemudian ibu Abu Wardaah datang. Setelah melihat menantunya, dia berpaling kepada Abu Wardaah seraya berkata, "Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat."
"Terserah ibu," jawab Abu Wardaah.
Selanjutnya, istrinya dibawa oleh ibunya. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadanya. “Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami,” ujar Abu Wardaah berkisah.
Sejak saat itu mereka tinggal bersama. “Selama beberapa hari ayah maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam,” tutur Abu Wardaah.
Setelah majelis sepi, tinggal berlau berdua, beliau bertanya, "Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wadaah?"
"Bahkan, engkaulah yang lebih layak didatangi," jawab Said.
"Silakan masuk!" ujar Abu Wardaah mempersilakan.
"Tidak perlu, karena aku datang untuk suatu keperluan," jawab Said.
"Apa keperluan Anda wahai Syaikh? Semoga Allah merahmati Anda?"
"Sesungguhnya putriku sudah menjadi istrimu berdasarkan syariat Allah Subhanahu wa Taala sejak tadi pagi. Maka aku tidak ingin membiarkanmu berada di tempatmu sedangkan istrimu di tempat yang lain. Oleh sebab itu kubawa dia sekarang."
"Aduh, Anda sudah membawanya kemari?"
"Benar."
Abu Wardaah melihat ternyata istrinya berdiri di belakang mertuanya itu. Syaikh menoleh kepada putrinya itu lalu berkata, "Masuklah ke rumah suamimu dengan nama Allah dan berkah-Nya!" ujarnya.
Pada saat ia hendak melangkah, tersangkut gaunnya sehingga nyaris terjatuh. Mungkin karena dia malu. Sedangkan Abu Wardaah hanya bisa terpaku di depannya dan tidak tahu harus berkata apa. Setelah tersadar, segera akan ia ambil piring berisi roti dan zaitun. Ia geser ke belakang lampu agar dia tidak melihatnya.
Selanjutnya Abu Wardaah naik jendela atas rumah untuk memanggil para tetangga. Mereka datang dengan kebingungan sambil bertanya, "Ada apa wahai Abu Wadaah?"
"Hari ini aku dinikahkan oleh Syaikh Said bin Musayyab, sekarang putrinya itu telah dibawa kemari. Kuminta kalian agar menghibur dia sementara aku hendak memanggil ibuku sebab rumahnya jauh dari sini."
Ada seseorang wanita tua di antara mereka berkata, "Sadarkah engkau dengan apa yang engkau ucapkan? Mana mungkin Said bin Musayyab menikahkan engkau dengan putrinya, sedangkan pinangan al-Walid bin Abdul Malik putra Amirul Mukminin telah ditolak."
"Benar. Engkau akan melihatnya di rumahku. Datanglah dan buktikan," jawab Abu Wardaah.
Beberapa tetangga berdatangan dengan rasa penasaran hampir tak percaya, kemudian mereka menyambut dan menghibur putri Said itu. Tak lama kemudian ibu Abu Wardaah datang. Setelah melihat menantunya, dia berpaling kepada Abu Wardaah seraya berkata, "Haram wajahku bagimu kalau engkau tidak membiarkan aku memboyongnya sebagai pengantin yang terhormat."
"Terserah ibu," jawab Abu Wardaah.
Selanjutnya, istrinya dibawa oleh ibunya. Tiga hari kemudian dia diantarkan kembali kepadanya. “Ternyata istriku adalah wanita yang paling cantik di Madinah, paling hafal Kitabullah, dan paling mengerti soal-soal hadis Rasulullah, juga paham akan hak-hak suami,” ujar Abu Wardaah berkisah.
Sejak saat itu mereka tinggal bersama. “Selama beberapa hari ayah maupun keluarganya tidak ada yang datang. Kemudian aku datang lagi ke halaqah Syaikh di masjid. Aku memberi salam kepadanya. Beliau menjawab, lalu diam,” tutur Abu Wardaah.
Setelah majelis sepi, tinggal berlau berdua, beliau bertanya, "Bagaimana keadaan istrimu, wahai Abu Wadaah?"