Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Surga dan Neraka Rohaniah yang Terlewatkan
loading...
A
A
A
Imam Ghazali mengingatkan alasan bagi kembalinya ruh manusia yang sedang kita bicarakan ini merujuk ke dunia yang lebih tinggi adalah bahwa ia berasal dari sana dan bahwa ia bersifat malaikat.
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah.
Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Tidak satu kata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan.
Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.
Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini, sabda Rasul akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
Ia dikirim ke ruang yang lebih rendah ini berlawanan dengan kehendaknya demi memperoleh pengetahuan dan pengalaman, sebagaimana Allah berfirman di dalam al-Qur'an, "Turunlah dari sini kamu semuanya, akan datang padamu perintah-perintah dari-Ku dan siapa yang menaatinya tidak perlu takut dan tak perlu pula mereka gelisah." Ayat: "Aku tiupkan ke dalam diri manusia ruh-Ku" juga menunjukkan asal samawi jiwa manusia.
Sebagaimana kesehatan jiwa hewani adalah berupa kesimbangan dari bagian-bagian penyusunannya, dan keseimbangan ini bisa dipulihkan jika mengalami gangguan, oleh obat-obat yang sehat, demikian pulalah kesehatan jiwa manusia berbentuk suatu keseimbangan moral yang dipelihara dan diperbaiki, jika dibutuhkan, oleh perintah-perintah etis dan ajaran-ajaran moral.
Berkenaan dengan kemaujudan dunia di masa yang akan datang, telah kita lihat bahwa jiwa manusia secara esensial tak tergantung pada tubuh. Semua keberatan terhadap kemaujudannya setelah kematian, didasarkan pada dugaan adanya keperluan akan pemulihan jasad terdahulunya yang telah jatuh ke tanah.
Beberapa ahli kalam menduga bahwa jiwa manusia tak termusnahkan setelah mati, malah terpulihkan. Tetapi hal ini sesungguhnya bertentangan baik dengan nalar maupun al-Qur'an. Yang disebut terdahulu menunjukkan pada kita bahwa kematian tidak menghancurkan individualitas esensial seorang manusia dan al-Qur'an berkata, "Jangan kamu pikir orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu telah mati. Tidak! Mereka masih hidup, bergembira dengan kehadiran Tuhan mereka dan di dalam limpahan karunia atas mereka."
Tidak satu kata pun disebutkan di dalam syariah tentang orang-orang mati, yang baik maupun jahat, sebagai termusnahkan. Malah, Nabi saw diriwayatkan telah bertanya kepada arwah orang-orang kafir yang terbunuh tentang apakah mereka mendapati hukuman-hukuman yang diancamkan kepada mereka sesuatu yang benar atau tidak. Ketika para pengikutnya bertanya kepadanya apa gunanya bertanya kepada mereka, beliau menjawab: "Mereka bisa mendengar kata-kataku lebih baik daripada engkau."
Beberapa orang sufi telah dapat menampak dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati. Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan.
Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera - seperti isteri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya - ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.
Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.
Dalam kasus ini, sabda Rasul akan terbukti: "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat"; "dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."
(mhy)