Derajat Orang yang Paham Agama Lebih Tinggi Dibanding Para Penghafal

Selasa, 21 Juni 2022 - 05:15 WIB
loading...
Derajat Orang yang Paham Agama Lebih Tinggi Dibanding Para Penghafal
Syaikh Yusuf Al-Qardhawi mengatakan manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal (Foto/Ilustrasi : Reuters)
A A A
Syaikh Yusuf al-Qardhawi mengatakan ilmu yang hakiki ialah ilmu yang betul-betul kita pahami dan kita cerna dalam otak kita. "Itulah yang sebenarnya diinginkan oleh Islam dari kita; yaitu pemahaman terhadap ajaran agama, dan bukan sekadar belajar agama," ujarnya dalam bukunya yang berjudul " Fiqh Prioritas , Sebuah Kajian Baru Berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah".



Allah SWT berfirman:

"Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." ( QS at-Taubah : 122)

Dalam sebuah hadis yang shahih disebutkan,

"Barangsiapa dihendaki Allah mendapatkan kebaikan, maka Dia akan memberinya pemahaman tentang agamanya." (Muttafaq Alaih, dari Mu'awiyah. al-Lu'lu' wa al-Marjan)

Al-Qardhawi menjelaskan fikih merupakan sesuatu yang lebih dalam dan lebih spesifik dibandingkan dengan ilmu pengetahuan. Sesungguhnya fiqh itu mencakup pemahaman, dan juga pemahaman yang mendalam. Karena itu, Allah SWT menafikannya dari orang-orang kafir dan orang-orang munafik, ketika Dia memberikan sifat kepada mereka:

"... disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." ( QS al-Anfal : 65)

Dalam hadis Abu Hurairah ra yang diriwayatkan oleh Muslim dikatakan,

"Manusia itu bagaikan barang tambang, seperti layaknya tambang emas dan perak. Orang yang baik pada zaman jahiliyah adalah orang yang baik pada zaman Islam apabila mereka memiliki pemahaman yang baik."



Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Shahihain dikatakan,

"Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seperti hujan lebat yang menyirami tanah. Di antara tanah itu ada yang gembur yang bisa menerima air, kemudian menumbahkan rerumputan yang lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfantkan oleh manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air, tidak dapat menumbuhkan tanaman."

"Begitulah perumpamaan orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau menerima petunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.' (Muttafaq 'Alaih, dari Mu'awiyah, al Lu'lu' wal-Marjan)

Menurut al-Qardhawi, hadis ini mengumpamakan apa yang dibawa oleh Nabi, berupa petunjuk dan ilmu pengetahuan, laksana air hujan yang menghidupkan tanah yang mati, bagaikan ilmu agama yang menghidupkan hati yang telah mati.

Orang yang menerima ajaran agama itupun bermacam-macam, seperti beraneka ragamnya tanah yang menerima air hujan. Tingkatan orang yang paling tinggi ialah orang yang memahami ilmu pengetahuan, memanfaatkannya, kemudian mengajarkannya.

"Ia bagaikan tanah yang subur dan bersih, yang airnya dapat diminum, serta menumbuhkan berbagai macam tanaman di atasnya," tutur al-Qardhawi.



Tingkatan yang berada di bawahnya, menurut al-Qardhawi, ialah orang yang mempunyai hati yang dapat menyimpan, tetapi dia tidak mempunyai pemahaman yang baik dan mendalam pada akal pikiran mereka, sehingga dia dapat membuat kesimpulan hukum yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain.

Mereka adalah orang-orang yang hafal, dan bila ada orang yang datang memerlukan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, maka dia dapat memberikan manfaat hafalan itu kepadanya. "Orang-orang seperti inilah yang dapat dimanfaatkan ilmu pengetahuan mereka," jelas al-Qardhawi.

Kelompok orang seperti ini, kata al-Qardhawi, diumpamakan seperti tanah cadas yang mampu menampung air, sehingga datang orang yang meminum airnya, atau memberi minum kepada binatang ternaknya, atau menyirami tanaman mereka. Itulah yang diisyaratkan dalam sebuah hadis yang sangat terkenal:

"Semoga Allah memberi kebaikan kepada orang yang mendengarkan perkataanku kemudian dia menghafalnya, lalu menyampaikannya sebagaimana yang dia dengarkan. Bisa jadi orang yang membawa fiqh bukanlah seorang faqih, dan bisa jadi orang yang membawa fiqh ini membawanya kepada orang yang lebih faqih daripada dirinya."

Al-Qardhawi menjelaskan hadis ini diriwayatkan dalam beberapa redaksi yang berbeda dari Zaid bin Tsabit, Ibn Mas'ud dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan di dalam Shahih al-Jami'as-Shaghir.

Sedangkan kelompok ketiga, menurut al-Qardhawi, ialah orang-orang yang tidak memiliki pemahaman dan juga tidak ahli menghafal, tidak punya ilmu dan tidak punya amal. "Mereka bagaikan tanah cadas yang tidak dapat menampung air dan tidak dapat dimanfaatkan oleh orang lain," katanya.

Hadis tersebut menunjukkan bahwa manusia yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah dan rasul-Nya ialah orang-orang yang memahami dan mengerti, disusul dengan orang yang menghafal.



Gudang Data
Di situlah letak kelebihan orang yang paham atas orang yang menghafal; dan letak kelebihan fuqaha atas para huffazh. Dalam kurun yang terbaik bagi manusia --yaitu tiga abad pertama di dalam Islam-- kedudukan dan kepeloporan berada di tangan para faqih, sedangkan pada masa-masa kemunduran, kedudukan dan kepeloporan itu ada para hafizh.

"Saya tidak hendak mengatakan bahwa hafalan sama sekali tidak mempunyai arti dan nilai, serta ingatan yang dimiliki oleh manusia itu tidak ada gunanya. Tidak, ini tidak benar," katanya. "Saya hanya ingin mengatakan: 'Sesungguhnya hafalan hanyalah sebagai gudang data dan ilmu pengetahuan; untuk kemudian dimanfaatkan'," lanjutnya.

Al-Qardhawi menjelaskan menghafal bukanlah tujuan itu sendiri, tetapi ia adalah sarana untuk mencapai yang lainnya. "Kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin ialah perhatian mereka kepada hafalan lebih tinggi daripada pemahaman, dan memberikan hak dan kemampuan yang lebih besar kepadanya," katanya.

Karena itu, al-Qardhawi mengatakan kita menemukan penghormatan yang sangat berlebihan diberikan kepada para penghafal Al-Qur'an, tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada mereka. Sehingga berbagai perlombaan untuk itu seringkali dilakukan di berbagai negara, yang menjanjikan hadiah yang sangat besar nilainya; hingga mencapai puluhan ribu dolar untuk seorang pemenang. Ini perlu kita hargai dan kita syukuri.

Akan tetapi, lanjut al-Qardhawi, sangat disayangkan hadiah seperti itu, atau setengahnya, bahkan seperempatnya, tidak diberikan kepada orang-orang yang mencapai prestasi gemilang di dalam ilmu-ilmu syariah yang lainnya; seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqh, usul fiqh, aqidah, dan dakwah; padahal keperluan umat kepada orang-orang seperti ini lebih banyak, di samping itu manfaat yang diperoleh dari mereka juga lebih besar.

Al-Qardhawi juga mengingatkan di antara persoalan yang sangat memalukan dalam dunia pendidikan ialah bahwa pendidikan itu kebanyakan didasarkan kepada hafalan dan "kebisuan", serta tidak didasarkan kepada pemahaman dan pencernaan. Oleh karena itu, kebanyakan pelajar lupa apa yang telah dipelajarinya setelah dia menempuh ujian. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk ke dalam otak mereka, dan tidak mudah hilang dari ingatan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1758 seconds (0.1#10.140)