Haji Mabrur: Membaca Ulang Sai dan Mencukur Rambut Kita
loading...
A
A
A
Ali Syariati menjelaskan sa’i merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air dari bukit Shafa menuju Marwa. Sa’i yang arti harfiyahnya adalah kesucian dan ketegaran.
"Ketika berdiri di bukit Shafa, sucikan ruh dan batinmu untuk menemui Tuhan pada hari pertemuan dengan-Nya dan menempatkan diri pada pengawasan-Nya dengan membersihkan perilaku di Marwa," ujar Ali Syariati dalam bukunya berjudul " Haji ".
Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya. Beliau pun banyak bertanya kepada lelaki itu tentang banyak hal terkait haji, salah satunya perihal sai.
“Ketika engkau berlari antara Shafa dan Marwa, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?” tanya Imam Junaid.
“Tidak,” jawab lelaki itu.
“Berarti engkau tidak sa’i,” ujar Imam Junaid.
Ali Syariati mengatakan perjalanan sa’i sebanyak tujuh kali yang diawali dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwa melambangkan bahwa manusia dalam mencapai kehidupan harus melalui usaha dengan penuh kesucian dan ketegaran.
Hasil usaha manusia akan diperoleh dengan baik melalui usaha dan anugerah Allah, sebagaimana yang dialami Siti Hajar bersama puteranya (Isma’il).
Hajar adalah teladan bagi manusia, kepasrahan dan kepatuhannya yang sangat teguh yang disandarkan kepada cinta. Karena “cinta” kepada Allah, Siti Hajar pasrah kepada kehendak-Nya yang mutlak.
"Demikian pula dengan sa’i yang merupakan simbol perjuangan yaitu sikap optimis dan dinamis dalam hidup. Kemudian berakhir di Marwa yang berarti idealnya manusia harus bersikap menghargai, bermurah hati dan saling memaafkan," Quraish Shihab menambahkan.
Mencukur Aib
Kemudian dilanjutkan dengan mencukur rambut. Waktu mencukur rambut, cukurlah aib-aibmu lahir batin. Ritual ini disebut tahallul.
Allah SWT berfirman:
لَـقَدۡ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوۡلَهُ الرُّءۡيَا بِالۡحَـقِّ ۚ لَـتَدۡخُلُنَّ الۡمَسۡجِدَ الۡحَـرَامَ اِنۡ شَآءَ اللّٰهُ اٰمِنِيۡنَۙ مُحَلِّقِيۡنَ رُءُوۡسَكُمۡ وَمُقَصِّرِيۡنَۙ لَا تَخَافُوۡنَؕ فَعَلِمَ مَا لَمۡ تَعۡلَمُوۡا فَجَعَلَ مِنۡ دُوۡنِ ذٰلِكَ فَتۡحًا قَرِيۡبًا
Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat. ( QS Al-Fath [48] : 27).
Setelah selesai ritual inilah, manusia dituntut untuk menutup (mencukur) aib-aibnya (masa lalunya) dengan membuka lembaran kehidupan baru yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah.
Kalau belum melakukan prosesi seperti itu, jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh penyair Persia Nasher Khosrow, sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam bukunya " Membumikan Al-Quran ":
“Sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji, engkau belum taat kepada Allah.”
Upaya Jiwa
Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah (upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian). Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu (liqa’) dengan Tuhan.
Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, sa’i, dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan seorang hamba menuju Tuhannya.
Sedangkan musyahadah sebagai titik orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan (hubb) antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai, maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah “wajah” Tuhan.
Dalam perspektif sufi kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan pujipujian manusia tidak lagi bermakna.
Maka, Quraish Shihab mengatakan, tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Kakbah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi.
Dalam pandangan kaum sufi, boleh jadi ada yang melihat Kakbah, wukuf, sai dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan di Mekkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya, maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya.
Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Mekkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilainilai religius artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan.
Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya.
Seorang tokoh sufi besar, Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya. "Karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja."
Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan. "Yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya."
Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid. "Aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...."
"Ketika berdiri di bukit Shafa, sucikan ruh dan batinmu untuk menemui Tuhan pada hari pertemuan dengan-Nya dan menempatkan diri pada pengawasan-Nya dengan membersihkan perilaku di Marwa," ujar Ali Syariati dalam bukunya berjudul " Haji ".
Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa-apa dalam hidupnya. Beliau pun banyak bertanya kepada lelaki itu tentang banyak hal terkait haji, salah satunya perihal sai.
“Ketika engkau berlari antara Shafa dan Marwa, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?” tanya Imam Junaid.
“Tidak,” jawab lelaki itu.
“Berarti engkau tidak sa’i,” ujar Imam Junaid.
Ali Syariati mengatakan perjalanan sa’i sebanyak tujuh kali yang diawali dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwa melambangkan bahwa manusia dalam mencapai kehidupan harus melalui usaha dengan penuh kesucian dan ketegaran.
Hasil usaha manusia akan diperoleh dengan baik melalui usaha dan anugerah Allah, sebagaimana yang dialami Siti Hajar bersama puteranya (Isma’il).
Hajar adalah teladan bagi manusia, kepasrahan dan kepatuhannya yang sangat teguh yang disandarkan kepada cinta. Karena “cinta” kepada Allah, Siti Hajar pasrah kepada kehendak-Nya yang mutlak.
"Demikian pula dengan sa’i yang merupakan simbol perjuangan yaitu sikap optimis dan dinamis dalam hidup. Kemudian berakhir di Marwa yang berarti idealnya manusia harus bersikap menghargai, bermurah hati dan saling memaafkan," Quraish Shihab menambahkan.
Mencukur Aib
Kemudian dilanjutkan dengan mencukur rambut. Waktu mencukur rambut, cukurlah aib-aibmu lahir batin. Ritual ini disebut tahallul.
Allah SWT berfirman:
لَـقَدۡ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوۡلَهُ الرُّءۡيَا بِالۡحَـقِّ ۚ لَـتَدۡخُلُنَّ الۡمَسۡجِدَ الۡحَـرَامَ اِنۡ شَآءَ اللّٰهُ اٰمِنِيۡنَۙ مُحَلِّقِيۡنَ رُءُوۡسَكُمۡ وَمُقَصِّرِيۡنَۙ لَا تَخَافُوۡنَؕ فَعَلِمَ مَا لَمۡ تَعۡلَمُوۡا فَجَعَلَ مِنۡ دُوۡنِ ذٰلِكَ فَتۡحًا قَرِيۡبًا
Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidilharam, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat. ( QS Al-Fath [48] : 27).
Setelah selesai ritual inilah, manusia dituntut untuk menutup (mencukur) aib-aibnya (masa lalunya) dengan membuka lembaran kehidupan baru yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah.
Kalau belum melakukan prosesi seperti itu, jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh penyair Persia Nasher Khosrow, sebagaimana dikutip Quraish Shihab dalam bukunya " Membumikan Al-Quran ":
“Sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji, engkau belum taat kepada Allah.”
Upaya Jiwa
Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah (upaya jiwa yang sungguh-sungguh) untuk memperoleh kesadaran musyahadah (penyaksian). Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu (liqa’) dengan Tuhan.
Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, sa’i, dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan seorang hamba menuju Tuhannya.
Sedangkan musyahadah sebagai titik orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan (hubb) antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai, maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah “wajah” Tuhan.
Dalam perspektif sufi kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan pujipujian manusia tidak lagi bermakna.
Maka, Quraish Shihab mengatakan, tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Kakbah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para sufi.
Baca Juga
Dalam pandangan kaum sufi, boleh jadi ada yang melihat Kakbah, wukuf, sai dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan di Mekkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya, maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya.
Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Mekkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Mekkah, tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilainilai religius artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan.
Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya.
Seorang tokoh sufi besar, Bayazid Al-Busthami suatu saat pergi naik haji ke Mekkah. Pada haji kali pertama, ia menangis. "Aku belum berhaji," isaknya. "Karena yang aku lihat cuma batu-batuan Ka'bah saja."
Ia pun pergi haji pada kesempatan berikutnya. Sepulang dari Mekkah, Bayazid kembali menangis, "Aku masih belum berhaji," ucapnya masih di sela tangisan. "Yang aku lihat hanya rumah Allah dan pemiliknya."
Pada haji yang ketiga, Bayazid merasa ia telah menyempurnakan hajinya. "Karena kali ini," ucap Bayazid. "Aku tak melihat apa-apa kecuali Allah subhanahu wa ta'ala...."
(mhy)