Makna Ucapan Umar bin Khattab, Lari dari Takdir Tuhan kepada Takdir-Nya yang Lain
loading...
A
A
A
Muhammad Quraish Shihab mengatakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, disebut takdir .
"Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia," jelas Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Menurutnya, peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."
Quraish Shihab mengatakan dirinya tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Qur'an adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.
Menurut Quraish Shihab, dalam Al-Qur'an "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33) : 38, 62 atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.
Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar penuh ketaatan."
Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya tidak sepenuhnya sama.
Quraish Shihab menjelaskan, manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.
Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih.
Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk.
Di sinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah: "Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."
Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar ibn Al-Khattab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya:
"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"
Umar ra menjawab, "Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain."
Baca juga: Ketika Takdir Menjadi Komoditas Politik Mu'awiyah
https://kalam.sindonews.com/read/836563/69/ketika-takdir-menjadi-komoditas-politik-muawiyah-1658747261
Demikian juga ketika Imam Ali ra sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar ra.
Robohnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih?
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya. Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. "Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir," katanya.
Menurut Quraish Shihab, yang demikian merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi SAW,' "... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk."
Dengan demikian, kata Quraish Shihab, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Illahi.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia," jelas Quraish Shihab dalam bukunya berjudul " Wawasan Al-Quran , Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat".
Menurutnya, peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."
Baca Juga
Quraish Shihab mengatakan dirinya tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh Al-Qur'an adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam.
Menurut Quraish Shihab, dalam Al-Qur'an "sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina" sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33) : 38, 62 atau Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.
Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar, "Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar penuh ketaatan."
Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan "keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."
Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya tidak sepenuhnya sama.
Quraish Shihab menjelaskan, manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya, tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampaui.
Baca Juga
Di sisi lain, manusia berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah mempunyai kadar dan ukuran tertentu.
Hanya saja karena hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih.
Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk.
Di sinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah: "Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."
Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi wabah, Umar ibn Al-Khattab yang ketika itu bermaksud berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya:
"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"
Umar ra menjawab, "Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya yang lain."
Baca Juga
Baca juga: Ketika Takdir Menjadi Komoditas Politik Mu'awiyah
https://kalam.sindonews.com/read/836563/69/ketika-takdir-menjadi-komoditas-politik-muawiyah-1658747261
Demikian juga ketika Imam Ali ra sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar ra.
Robohnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih?
Quraish Shihab menjelaskan bahwa kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya. Jika demikian, manusia tidak dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. "Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir," katanya.
Menurut Quraish Shihab, yang demikian merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi SAW,' "... dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk."
Dengan demikian, kata Quraish Shihab, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Illahi.
(mhy)