Kisah Sayyidina Husein Tidur di Punggung Kuda, Bermimpi Dirinya dan Pengikutnya Terbunuh
loading...
A
A
A
Kisah Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib ra cucu Rasulullah SAW tidur di punggung kuda, bermimpi dirinya dan pengikutnya terbunuh terjadi dalam perjalanan malam hari saat bergerak menuju Nainawa dari Qashr Bani Muqatil. Ini adalah bagian dari perjalanan Sayyidina Husein dari Madinah ke Kufah.
Pada hari Rabu, 1 Muharam 61 Hijriah rombongan Husein sampai ke persinggahan Qashr Bani Muqatil. Ibnu al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Ishaq al-Hamdzani dalam "Al-Buldān" menyebutkan di tempat persinggahan ini dahulu terdapat istana (Qashr) milik Muqatil bin Hassan bin Tsa'labah. Tempat ini terletak di antara 'Ain al-Tamr dan Syam di dekat Qatqathanah.
Di persinggan ini, sekelompok penduduk Kufah telah memasang kemah. Husein bertanya kepada mereka. "Apakah kalian siap membantu kami?"
Sebagian menjawab, "Hati kami tidak rela untuk mati." Sebagian yang lain menjawab, "Kami memiliki banyak istri dan anak. Kami banyak menerima titipan harta masyarakat dan kami tidak bisa yakin terhadap nasib perang ini. Oleh karena itu, kami tidak siap membantumu."
Ahmad bin Yahya Al-Baladzuri dalam "Ansāb al-Asyrāf" meriwayatkan bahwa Imam Husein mengutus seseorang bernama Hajjaj bin Masruq al-Ju'fi ke kemah Ubaidillah bin Hur al-Ju'fi dan meminta dia supaya menemuinya.
Ubaidillah menolak dan meminta maaf tidak bisa datang, dan setelah membaca ayat Istirja (Innā Lillahi wa Innā' ilaihi Rājiun) ia berkata: "Aku tidak bisa menolong dia dan aku tidak suka dia melihatku atau aku melihatnya.
Akhirnya, Sayyidina Husein datang sendiri ke kemah dan menyeru dia untuk menolong, namun sekali lagi Ubaidillah menolak. Ia meminta maaf dan hanya memberikan kudanya kepada Husein.
Sayyidina Husein pun berkata kepada Ubaidullah Ju'fi. "Jika engkau enggan membantu kami, maka janganlah masuk ke dalam golongan yang memerangi kami. Demi Allah! Barang siapa mendengar jeritan kami dan enggan menolong kami, maka Allah akan melemparkannya ke dalam neraka dengan muka di bawah."
Dalam sebagian sumber disebutkan bahwa perjumpaan Amr bin Qais al-Masyriqi bersama putra pamannya dengan Imam Husein juga terjadi di tempat ini. Mereka menolak membantu dan meminta maaf pada saat Sayyidina Husein meminta tolong. Beliau lalu menyuruh mereka agar supaya menjauh dari sana sehingga mereka tidak mendengar suara permintaan tolong Sayyidina Husein.
Kematian Menanti
Sayyidina Husein memerintahkan para pemuda untuk mengambil air dan bergerak di malam hari. Beliau tertidur sejenak di atas kuda tunggangan. Setelah terbangun, beliau berkali-kali mengulangi ucapan "inna lillah wa innailaihi raji'un".
Ali al-Akbar putra Husein maju ke depan dan menanyakan alasan beliau mengucapkan kalimat itu. Sayyidina Husein menjawab, "Seorang penunggang kuda hadir di hadapanku seraya berkata, 'Kaum ini bergerak di malam hari, sedangkan kematian sedang menunggu mereka.'"
"Ayahku! Bukankah kita berada dalam kebenaran?" tanya Ali Akbar.
"Demi Allah! Kita berada dalam kebenaran," jawab Imam Husein menimpali.
"Jika begitu, kita tidak akan pernah takut terhadap kematian," jawab Ali Akbar tegas.
"Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepadamu," harap Imam Husein.
Kisah Ali al-Akbar
Tentang putranya Ali Akbar ini, Sayyidina Husein seringkali memperkenalkannya sebagai orang yang paling mirip dengan Nabi Muhammad SAW, seraya mengatakan, "setiap kali kami rindu kepada Nabi SAW, kami melihatnya".
Ali Akbar lahir di Madinah pada 11 Syaban 33 H (10 Maret 654 M). Pada saat pertempuran Karbala usianya baru 18 tahun. Namun ada yang bilang 25 tahun.
Sejarawan menyebut Ali Akbar adalah putra tertua Husein karena nama Akbar. Akbar adalah kata Arab yang berarti "lebih besar" atau "terbesar".
Dalam "Encyclopedia Britannica" disebutkan Ali Akbar dibunuh oleh Murrah ibn Munqad pada 10 Muharram 61 H dalam pertempuran Karbala. Ali al-Akbar adalah salah satu orang terakhir yang tewas di medan perang.
Ali Husayn al-Ali dalam bukunya berjudul "Karbala and Ashura" mengisahkan pada pagi hari Asyura, Husein meminta putranya itu untuk mengumandangkan adzan.
Husein dan banyak wanita di tenda mereka mulai menangis ketika Ali Akbar mulai mengumandangkan Adzan, curiga bahwa itu mungkin kali terakhir mereka mendengar Ali Akbar mengumandangkan Adzan.
Ali Akbar berdiri di depan ayahnya setelah salat Zuhur dan berkata: "Ayah saya mohon izin untuk pergi dan memerangi musuh-musuh Islam."
Ayahnya memberinya izin dan berkata, "Semoga Allah bersamamu! Tapi Akbar, kamu tahu betapa ibu, saudara perempuan, dan bibimu mencintaimu. Pergi dan ucapkan selamat tinggal kepada mereka."
Ali Akbar masuk ke tenda ibunya, Ummi Layla. Setiap kali dia ingin keluar dari tenda, ibu, bibi, dan saudara perempuannya akan menarik jubahnya dan berkata, "Wahai Akbar, Bagaimana kami akan hidup tanpamu?" Husein harus memohon dengan segala cara untuk melepaskan Ali Akbar.
Sayyidina Husein membantu putranya menaiki kudanya. Saat Akbar mulai melaju menuju medan perang, dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan melihat ayahnya. Dia berkata: "Ayah, kami telah mengucapkan selamat tinggal. Mengapa kamu berjalan di belakangku?"
Husein menjawab, "Anakku jika kamu memiliki anak seperti dirimu maka kamu pasti akan mengerti!"
Menurut Bal'ami, Ali Akbar menyerang musuh sepuluh kali dan membunuh dua atau tiga dari mereka setiap kali. Umar bin Sa'ad memerintahkan tentaranya untuk membunuhnya, dengan berkata, "Ketika dia meninggal, Husein tidak akan mau hidup! Ali Akbar adalah nyawa Husain."
Sementara beberapa tentara menyerang Ali Akbar, Murrah bin Munqad melemparkan tombak ke dada Ali Akbar. Murrah ibn Munqad kemudian mematahkan bagian kayu dari tombak tersebut dan meninggalkan bilahnya di dada Ali Akbar, sehingga membuatnya semakin kesakitan.
Ketika Ali Akbar jatuh dari kudanya, dia berkata, "Yaa bata alayka minni salaam" setelah mendengar panggilan putranya, dikatakan bahwa Imam Hussain kehilangan penglihatannya.
Ketika Imam Husain tiba di dekatnya dan mencoba mengeluarkan tombak dari dadanya, kepala tombak itu telah tersangkut di pembuluh darahnya dan ketika Imam Husein mencabutnya, jantungnya keluar di sampingnya. Dia kemudian dikelilingi dan dipotong-potong.
Dia berjalan menuju medan perang. Ketika dia pergi ke Ali Akbar, putranya itu meletakkan tangan kanannya di dadanya yang terluka dan lengan kirinya di atas bahu ayahnya.
Al-Husein bertanya, "Akbar, mengapa engkau memelukku hanya dengan satu tangan?"
Akbar tidak menjawab. Husein mencoba menggerakkan tangan kanan Akbar, tapi Akbar melawan. Kemudian Al-Husain dengan paksa menggerakkan tangan dan melihat bilah tombak itu.
Dia membaringkan Akbar di tanah dan duduk berlutut, meletakkan kedua tangannya di ujung tombak. Dia memandang Najaf, tempat ayahnya dimakamkan, dan berkata, "Ayah, saya juga telah datang ke Khaybar saya!"
Dia mencabut bilahnya, dengan itu sampai ke jantung Akbar. Husein, putus asa melihat putranya dalam kesakitan dan stres seperti itu, menangis. Akbar mengirim salam terakhirnya dan syahid.
Pada hari Rabu, 1 Muharam 61 Hijriah rombongan Husein sampai ke persinggahan Qashr Bani Muqatil. Ibnu al-Faqih dan Ahmad bin Muhammad bin Ishaq al-Hamdzani dalam "Al-Buldān" menyebutkan di tempat persinggahan ini dahulu terdapat istana (Qashr) milik Muqatil bin Hassan bin Tsa'labah. Tempat ini terletak di antara 'Ain al-Tamr dan Syam di dekat Qatqathanah.
Di persinggan ini, sekelompok penduduk Kufah telah memasang kemah. Husein bertanya kepada mereka. "Apakah kalian siap membantu kami?"
Sebagian menjawab, "Hati kami tidak rela untuk mati." Sebagian yang lain menjawab, "Kami memiliki banyak istri dan anak. Kami banyak menerima titipan harta masyarakat dan kami tidak bisa yakin terhadap nasib perang ini. Oleh karena itu, kami tidak siap membantumu."
Ahmad bin Yahya Al-Baladzuri dalam "Ansāb al-Asyrāf" meriwayatkan bahwa Imam Husein mengutus seseorang bernama Hajjaj bin Masruq al-Ju'fi ke kemah Ubaidillah bin Hur al-Ju'fi dan meminta dia supaya menemuinya.
Ubaidillah menolak dan meminta maaf tidak bisa datang, dan setelah membaca ayat Istirja (Innā Lillahi wa Innā' ilaihi Rājiun) ia berkata: "Aku tidak bisa menolong dia dan aku tidak suka dia melihatku atau aku melihatnya.
Akhirnya, Sayyidina Husein datang sendiri ke kemah dan menyeru dia untuk menolong, namun sekali lagi Ubaidillah menolak. Ia meminta maaf dan hanya memberikan kudanya kepada Husein.
Sayyidina Husein pun berkata kepada Ubaidullah Ju'fi. "Jika engkau enggan membantu kami, maka janganlah masuk ke dalam golongan yang memerangi kami. Demi Allah! Barang siapa mendengar jeritan kami dan enggan menolong kami, maka Allah akan melemparkannya ke dalam neraka dengan muka di bawah."
Dalam sebagian sumber disebutkan bahwa perjumpaan Amr bin Qais al-Masyriqi bersama putra pamannya dengan Imam Husein juga terjadi di tempat ini. Mereka menolak membantu dan meminta maaf pada saat Sayyidina Husein meminta tolong. Beliau lalu menyuruh mereka agar supaya menjauh dari sana sehingga mereka tidak mendengar suara permintaan tolong Sayyidina Husein.
Baca Juga
Kematian Menanti
Sayyidina Husein memerintahkan para pemuda untuk mengambil air dan bergerak di malam hari. Beliau tertidur sejenak di atas kuda tunggangan. Setelah terbangun, beliau berkali-kali mengulangi ucapan "inna lillah wa innailaihi raji'un".
Ali al-Akbar putra Husein maju ke depan dan menanyakan alasan beliau mengucapkan kalimat itu. Sayyidina Husein menjawab, "Seorang penunggang kuda hadir di hadapanku seraya berkata, 'Kaum ini bergerak di malam hari, sedangkan kematian sedang menunggu mereka.'"
"Ayahku! Bukankah kita berada dalam kebenaran?" tanya Ali Akbar.
"Demi Allah! Kita berada dalam kebenaran," jawab Imam Husein menimpali.
"Jika begitu, kita tidak akan pernah takut terhadap kematian," jawab Ali Akbar tegas.
"Semoga Allah menganugerahkan kebaikan kepadamu," harap Imam Husein.
Kisah Ali al-Akbar
Tentang putranya Ali Akbar ini, Sayyidina Husein seringkali memperkenalkannya sebagai orang yang paling mirip dengan Nabi Muhammad SAW, seraya mengatakan, "setiap kali kami rindu kepada Nabi SAW, kami melihatnya".
Ali Akbar lahir di Madinah pada 11 Syaban 33 H (10 Maret 654 M). Pada saat pertempuran Karbala usianya baru 18 tahun. Namun ada yang bilang 25 tahun.
Sejarawan menyebut Ali Akbar adalah putra tertua Husein karena nama Akbar. Akbar adalah kata Arab yang berarti "lebih besar" atau "terbesar".
Dalam "Encyclopedia Britannica" disebutkan Ali Akbar dibunuh oleh Murrah ibn Munqad pada 10 Muharram 61 H dalam pertempuran Karbala. Ali al-Akbar adalah salah satu orang terakhir yang tewas di medan perang.
Ali Husayn al-Ali dalam bukunya berjudul "Karbala and Ashura" mengisahkan pada pagi hari Asyura, Husein meminta putranya itu untuk mengumandangkan adzan.
Husein dan banyak wanita di tenda mereka mulai menangis ketika Ali Akbar mulai mengumandangkan Adzan, curiga bahwa itu mungkin kali terakhir mereka mendengar Ali Akbar mengumandangkan Adzan.
Ali Akbar berdiri di depan ayahnya setelah salat Zuhur dan berkata: "Ayah saya mohon izin untuk pergi dan memerangi musuh-musuh Islam."
Ayahnya memberinya izin dan berkata, "Semoga Allah bersamamu! Tapi Akbar, kamu tahu betapa ibu, saudara perempuan, dan bibimu mencintaimu. Pergi dan ucapkan selamat tinggal kepada mereka."
Ali Akbar masuk ke tenda ibunya, Ummi Layla. Setiap kali dia ingin keluar dari tenda, ibu, bibi, dan saudara perempuannya akan menarik jubahnya dan berkata, "Wahai Akbar, Bagaimana kami akan hidup tanpamu?" Husein harus memohon dengan segala cara untuk melepaskan Ali Akbar.
Sayyidina Husein membantu putranya menaiki kudanya. Saat Akbar mulai melaju menuju medan perang, dia mendengar langkah kaki di belakangnya. Dia menoleh ke belakang dan melihat ayahnya. Dia berkata: "Ayah, kami telah mengucapkan selamat tinggal. Mengapa kamu berjalan di belakangku?"
Husein menjawab, "Anakku jika kamu memiliki anak seperti dirimu maka kamu pasti akan mengerti!"
Menurut Bal'ami, Ali Akbar menyerang musuh sepuluh kali dan membunuh dua atau tiga dari mereka setiap kali. Umar bin Sa'ad memerintahkan tentaranya untuk membunuhnya, dengan berkata, "Ketika dia meninggal, Husein tidak akan mau hidup! Ali Akbar adalah nyawa Husain."
Sementara beberapa tentara menyerang Ali Akbar, Murrah bin Munqad melemparkan tombak ke dada Ali Akbar. Murrah ibn Munqad kemudian mematahkan bagian kayu dari tombak tersebut dan meninggalkan bilahnya di dada Ali Akbar, sehingga membuatnya semakin kesakitan.
Ketika Ali Akbar jatuh dari kudanya, dia berkata, "Yaa bata alayka minni salaam" setelah mendengar panggilan putranya, dikatakan bahwa Imam Hussain kehilangan penglihatannya.
Ketika Imam Husain tiba di dekatnya dan mencoba mengeluarkan tombak dari dadanya, kepala tombak itu telah tersangkut di pembuluh darahnya dan ketika Imam Husein mencabutnya, jantungnya keluar di sampingnya. Dia kemudian dikelilingi dan dipotong-potong.
Dia berjalan menuju medan perang. Ketika dia pergi ke Ali Akbar, putranya itu meletakkan tangan kanannya di dadanya yang terluka dan lengan kirinya di atas bahu ayahnya.
Al-Husein bertanya, "Akbar, mengapa engkau memelukku hanya dengan satu tangan?"
Akbar tidak menjawab. Husein mencoba menggerakkan tangan kanan Akbar, tapi Akbar melawan. Kemudian Al-Husain dengan paksa menggerakkan tangan dan melihat bilah tombak itu.
Dia membaringkan Akbar di tanah dan duduk berlutut, meletakkan kedua tangannya di ujung tombak. Dia memandang Najaf, tempat ayahnya dimakamkan, dan berkata, "Ayah, saya juga telah datang ke Khaybar saya!"
Dia mencabut bilahnya, dengan itu sampai ke jantung Akbar. Husein, putus asa melihat putranya dalam kesakitan dan stres seperti itu, menangis. Akbar mengirim salam terakhirnya dan syahid.
(mhy)