Suami yang Menyuapi Istri Saat Makan, Diganjar Sama dengan Pahala Sedekah

Rabu, 10 Agustus 2022 - 17:54 WIB
loading...
Suami yang Menyuapi Istri Saat Makan, Diganjar Sama dengan Pahala Sedekah
Suami yang selalu istiqamah menyuapi istri saat makan, akan mendapat ganjaran pahala yang sama dengan besarnya pahala sedekah. Foto ilustrasi/ist
A A A
Menyuapi istri saat makan, ternyata amalan bagi suami yang akan diganjar pahala luar biasa dari Allah Ta'ala. Amalan ringan ini sangat mudah dilakukan, namun sayangnya jarang sekali diamalkan, bahkan cenderung diabaikan. Padahal jika dilakukan dengan istiqamah, akan ada pahala untuk para suami dan rezekipun datang berlimpah.

Dalil yang menjelaskannya, terdapat dalam kitab Shahih Bukhari. Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqash yang menjelaskan bahwa nafkah yang diberikan suami kepada istri dengan semata-mata mengharapkan ridha Allah SWT, pasti akan diberi ganjaran pahala. Bahkan menyuapi istri pun oleh Allah dinilai sebagai pahala.


Berikut redaksi hadisnya:

نْ سَعْدِ بْنِ أَبِى وَقَّاصٍ، قَالَ صلى الله عليه وسلم : إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ، إِلا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِى فَمِ امْرَأَتِكَ


“Dan sesungguhnya jika engkau memberikan nafkah, maka hal itu adalah sedekah, hingga suapan nasi yang engkau suapkan ke dalam mulut istrimu.“ (Shahih Bukhari)

Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan,

وَلَسْتَ تُنْفِقُ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللهِ إِلاَّ أُجِرْتَ بِهَا حَتَّى الْلُقْمَةَ تَجْعَلُهَا فِي فِي امْرَأَتِكَ


“Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu.”(HR Muslim)

Disertai Niat Karena Allah

Dinukil dari tulisan Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah dijelaskan bahwa Al-Muhallab rahimahullah berkata,

“Nafkah untuk keluarga hukumnya wajib dengan ijma’ (kesepakatan ulama). Adapun Penetap Syariat (yakni Allah subhanahu wa ta’ala, –red) menamakannya dengan sedekah hanyalah dikarenakan kekhawatiran adanya sangkaan bahwa mereka tidak akan diberi pahala atas kewajiban yang mereka tunaikan. Mereka telah mengetahui pahala sedekah, maka Penetap Syariat mengenalkan kepada mereka bahwa nafkah/infak yang mereka keluarkan (untuk keluarga) adalah sedekah mereka sehingga mereka tidak mengeluarkan sedekah itu kepada selain keluarga, kecuali setelah mereka mencukupi keluarga mereka. Penamaan infak ini dengan sedekah adalah demi mendorong mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib (yaitu memberi nafkah kepada keluarga) daripada sedekah yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/600)

Namun tentunya nafkah itu barulah bernilai sedekah bila dibarengi dengan niat karena Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana ditunjukkan dalam hadis Sa’ad di atas.

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata ketika menerangkan hadits Abu Mas’ud al-Anshari radhiallahu ‘anhu, “Hadis ini menerangkan bahwa yang dimaukan dengan sedekah dan nafkah secara mutlak dalam hadits-hadits yang ada adalah bila orang yang mengeluarkannya itu ihtisab, maknanya ia menginginkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala dengan nafkah tersebut. Bila seseorang memberikan nafkah dalam keadaan lupa atau kacau pikirannya, tidaklah ia mendapatkan nilai sedekah seperti yang dinyatakan dalam hadis ini, namun yang masuk dalam hadits ini hanyalah bila seseorang itu muhtasib (mengharapkan pahala), ia ingat kewajibannya untuk memberikan infak kepada istri, anak-anaknya, budaknya dan orang-orang yang wajib ia nafkahi selain mereka….” (Syarah Shahih Muslim, 7/88—89)



Beliau juga berkata ketika mensyarah (menjelaskan) hadis Sa’ad, “Hadis ini menunjukkan disenanginya memberi infak dalam berbagai perkara kebaikan, dan menunjukkan bahwa amalan itu tergantung niatnya, sehingga seseorang itu hanyalah diberi pahala atas amalnya dengan niatnya. Hadis ini juga menunjukkan bahwa memberi infak kepada keluarga akan diberi pahala bila mengharapkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana pula dalam hadis ini ditunjukkan bahwa perkara mubah bila diniatkan untuk mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadi amalan ketaatan dan diberi pahala karenanya.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan tentang hal ini dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu,” sementara istri termasuk bagian dunia yang paling khusus bagi seorang laki-laki, tempat pelampiasan syahwatnya, dan tempat kelezatannya yang mubah. Biasanya menyuapi istri hanya terjadi ketika sedang bercengkerama, berlemah lembut dan bercumbu dengan sesuatu yang mubah.

Bila dipikir, keadaan seperti ini tentunya sangat jauh dari ketaatan dan perkaraperkara akhirat. Namun bersamaan dengan itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bila si suami memaksudkan suapan tersebut dalam rangka mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka ia akan memperoleh pahala dengan perbuatan tersebut.

Tentunya perbuatan yang selain ini lebih pantas untuk memperoleh pahala bila ditujukan karena wajah Allah subhanahu wa ta’ala. Terkandung dalam hal ini apabila manusia melakukan sesuatu yang asalnya mubah dengan mengharap wajah Allah subhanahu wa ta’ala maka ia akan diberi pahala, seperti bila seseorang makan dengan niat agar kuat dalam melakukan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidur untuk istirahat agar bisa bangun untuk melaksanakan ibadah dalam keadaan segar lagi bersemangat, bercumbu dengan istri dan budak wanita yang dimiliki dengan tujuan menjaga diri, pandangannya dan selainnya dari perkara yang haram, juga untuk tujuan memenuhi hak istri dan untuk memperoleh anak yang saleh.

Inilah makna dari sabda Nabi subhanahu wa ta’ala,

وَفِي بُضِعْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ


(‘Dan pada kemaluan salah seorang dari kalian ada sedekah.’) Wallahu a’lam.” (Syarah Shahih Muslim)



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2859 seconds (0.1#10.140)