Kisah Dramatis saat Kepala Husain dan 71 Syuhada Karbala Diarak dari Kufah ke Damaskus
loading...
A
A
A
Kisah iring-iringan prajurit yang membawa kepala Sayyidina Husain bin Abi Thalib cucu Rasulullah SAW dan 71 syuhada Karbala yang dipimpin Mukhaddhar bin Tsa’labah ‘Aidzi dan Syimr bin Dzil Jausyan dari Kufah ke Damaskus atau Syam sungguh dramatis. Bagaimana tidak, tiap kota yang mereka lalui rakyat dipaksa keluar rumah untuk ikut mengarak 72 kepala syuhada Karbala itu.
Dalam Tarikh Thabari disebutkan, Syimr bin Dzil Jausyan adalah tokoh penting kekejian dalam tragedi Karbala. Dialah yang memerintahkan kepada pasukan pemanahnya agar menjadikan tubuh Imam Husain sebagai sasaran busur panah mereka.
Tanpa peduli dengan tubuh Husain yang penuh luka akibat serangan panah, Syimr memerintahkan pasukannya untuk menyerang Husain secara bersama-sama. Di antaranya tebasan pedang Sinan bin Anas dan Zur'ah bin Syarik mengenai tepat tubuh Imam Husain as yang membuatnya kemudian terjatuh.
Pada tanggal 11 Muharram tahun 61 H, Umar bin Sa'ad, pimpinan perang musuh Husain, memerintahkan agar kepala 72 syuhada Karbala, termasuk kepala Husain, dipisahkan dari tubuhnya yang kemudian dibawa oleh Syimr beserta pasukannya menuju Kufah untuk diperlihatkan kepada Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah.
Kabilah-kabilah yang ikut dalam perang Karbala melawan kubu Imam Husain dengan bermaksud mendapatkan pujian dari Ibnu Ziyad membagi kepala-kepala para syuhada tersebut.
Kabilah Hawazin yang dikomandoi oleh Syimr membawa 20 kepala, sementara menurut Ibnu Thawus, sebagaimana dikutip Ath-Thabari, Syimr beserta kabilahnya membawa 12 kepala yang kemudian diperlihatkannya kepada Ibnu Ziyad. Disebutkan bahwa Syimr membawa kepala para syuhada tersebut, setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Ibnu Sa'ad.
Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah kemudian memerintahkan Syimr agar membawa kepala Husain dan para syuhada Karbala menuju Syam. Selain membawa kepala syuhada Karbala, mereka juga membawa tawanan Karbala seperti Ali bin Husain dan Zainab binti Ali. Nah, dalam perjalanan ke Syam ini banyak drama yang terjadi.
Bermabuk-mabukan
Sesampainya di pinggiran Sungai Furat, para pembawa kepala-kepala syuhada tersebut menurunkan bawaannya di rumah peristirahatan pertama, lalu sibuk bergembira dan mempermainkan kepala Husain dan menghabiskan sebagian malam untuk minum dan bermabuk-mabukan.
Diriwayatkan, pada saat itu, tiba-tiba ada menulis sajak dengan tinta darah dari sebuah pena besi, dan mengatakan, “Apakah kelompok yang membunuh Imam Husain akan menerima syafaat dari kakeknya pada hari kiamat?”
Saat kafilah Karbala sampai di Takrit, para petugas menulis surat kepada gubernur setempat yang berisi, "Temuilah kami, karena kami bersama kepala orang-orang asing."
Setelah gubernur membaca surat ini, ia memerintahkan untuk segera mengibarkan bendera-bendera, memukul genderang dan menghias kota. Rakyat dari segala penjuru kota pun berdatangan. Gubernur bergerak keluar untuk menemui mereka dan setiap kali ditanyakan kepada mereka tentang siapakah kepala ini, ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ini adalah kepala orang asing yang bangkit untuk menentang Yazid, dan Ibnu Ziyad telah berhasil membunuhnya.
Dikisahkan, seseorang yang hadir di tempat itu mengatakan, “Wahai rakyat Takrit! Aku berada di Kufah saat kepala ini dibawa. Ini bukanlah kepala orang asing. Ini tidak lain adalah kepala Husain.”
Begitu mendengar perkataan ini, mereka langsung menggantikan bunyi genderang dengan membunyikan terompet untuk memperingati kebesaran Husain, dan mengatakan bahwa mereka membenci kaum yang membunuh putra dari putri nabi mereka sendiri.
Saat mendengar kabar mengenai reaksi rakyat Takrit yang seperti ini, petugas Yazid mengurungkan diri untuk memasukkan kafilah tawanan Karbala ke kota itu. Selanjutnya kafilah duka ini melanjutkan perjalanannya dari luar Takrit melalui padang sahara.
Berbohong
Perjalanan dari Takrit terus berlanjut hingga sampai ke sebuah daerah bernama A’ma, setelah itu dilanjutkan ke Dair ‘Urwah, dan seterusnya tanpa henti menuju ke Shalita.
Pada saat sampai di daerah bernama Wadi Nakhlah, waktu telah menjelang malam, dan di sini pulalah kafilah berhenti dan melewati malam.
Pada malam itu, suara jeritan, raungan, tangisan anak-anak dan senandung duka para wanita kembali terdengar. Tangisan dan tetesan air mata yang menghikayatkan duka, derita dan nestapa karena kehilangan orang-orang terkasih. Akan tetapi, para petugas kafilah sama sekali tak tergugah dan tersentuh oleh air mata dan tangisan-tangisan ini.
Dalam Tarikh Thabari disebutkan, Syimr bin Dzil Jausyan adalah tokoh penting kekejian dalam tragedi Karbala. Dialah yang memerintahkan kepada pasukan pemanahnya agar menjadikan tubuh Imam Husain sebagai sasaran busur panah mereka.
Tanpa peduli dengan tubuh Husain yang penuh luka akibat serangan panah, Syimr memerintahkan pasukannya untuk menyerang Husain secara bersama-sama. Di antaranya tebasan pedang Sinan bin Anas dan Zur'ah bin Syarik mengenai tepat tubuh Imam Husain as yang membuatnya kemudian terjatuh.
Pada tanggal 11 Muharram tahun 61 H, Umar bin Sa'ad, pimpinan perang musuh Husain, memerintahkan agar kepala 72 syuhada Karbala, termasuk kepala Husain, dipisahkan dari tubuhnya yang kemudian dibawa oleh Syimr beserta pasukannya menuju Kufah untuk diperlihatkan kepada Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah.
Kabilah-kabilah yang ikut dalam perang Karbala melawan kubu Imam Husain dengan bermaksud mendapatkan pujian dari Ibnu Ziyad membagi kepala-kepala para syuhada tersebut.
Kabilah Hawazin yang dikomandoi oleh Syimr membawa 20 kepala, sementara menurut Ibnu Thawus, sebagaimana dikutip Ath-Thabari, Syimr beserta kabilahnya membawa 12 kepala yang kemudian diperlihatkannya kepada Ibnu Ziyad. Disebutkan bahwa Syimr membawa kepala para syuhada tersebut, setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Ibnu Sa'ad.
Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah kemudian memerintahkan Syimr agar membawa kepala Husain dan para syuhada Karbala menuju Syam. Selain membawa kepala syuhada Karbala, mereka juga membawa tawanan Karbala seperti Ali bin Husain dan Zainab binti Ali. Nah, dalam perjalanan ke Syam ini banyak drama yang terjadi.
Bermabuk-mabukan
Sesampainya di pinggiran Sungai Furat, para pembawa kepala-kepala syuhada tersebut menurunkan bawaannya di rumah peristirahatan pertama, lalu sibuk bergembira dan mempermainkan kepala Husain dan menghabiskan sebagian malam untuk minum dan bermabuk-mabukan.
Diriwayatkan, pada saat itu, tiba-tiba ada menulis sajak dengan tinta darah dari sebuah pena besi, dan mengatakan, “Apakah kelompok yang membunuh Imam Husain akan menerima syafaat dari kakeknya pada hari kiamat?”
Saat kafilah Karbala sampai di Takrit, para petugas menulis surat kepada gubernur setempat yang berisi, "Temuilah kami, karena kami bersama kepala orang-orang asing."
Setelah gubernur membaca surat ini, ia memerintahkan untuk segera mengibarkan bendera-bendera, memukul genderang dan menghias kota. Rakyat dari segala penjuru kota pun berdatangan. Gubernur bergerak keluar untuk menemui mereka dan setiap kali ditanyakan kepada mereka tentang siapakah kepala ini, ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ini adalah kepala orang asing yang bangkit untuk menentang Yazid, dan Ibnu Ziyad telah berhasil membunuhnya.
Dikisahkan, seseorang yang hadir di tempat itu mengatakan, “Wahai rakyat Takrit! Aku berada di Kufah saat kepala ini dibawa. Ini bukanlah kepala orang asing. Ini tidak lain adalah kepala Husain.”
Begitu mendengar perkataan ini, mereka langsung menggantikan bunyi genderang dengan membunyikan terompet untuk memperingati kebesaran Husain, dan mengatakan bahwa mereka membenci kaum yang membunuh putra dari putri nabi mereka sendiri.
Saat mendengar kabar mengenai reaksi rakyat Takrit yang seperti ini, petugas Yazid mengurungkan diri untuk memasukkan kafilah tawanan Karbala ke kota itu. Selanjutnya kafilah duka ini melanjutkan perjalanannya dari luar Takrit melalui padang sahara.
Berbohong
Perjalanan dari Takrit terus berlanjut hingga sampai ke sebuah daerah bernama A’ma, setelah itu dilanjutkan ke Dair ‘Urwah, dan seterusnya tanpa henti menuju ke Shalita.
Pada saat sampai di daerah bernama Wadi Nakhlah, waktu telah menjelang malam, dan di sini pulalah kafilah berhenti dan melewati malam.
Pada malam itu, suara jeritan, raungan, tangisan anak-anak dan senandung duka para wanita kembali terdengar. Tangisan dan tetesan air mata yang menghikayatkan duka, derita dan nestapa karena kehilangan orang-orang terkasih. Akan tetapi, para petugas kafilah sama sekali tak tergugah dan tersentuh oleh air mata dan tangisan-tangisan ini.