Kisah Dramatis saat Kepala Husain dan 71 Syuhada Karbala Diarak dari Kufah ke Damaskus

Senin, 15 Agustus 2022 - 16:20 WIB
loading...
Kisah Dramatis saat Kepala Husain dan 71 Syuhada Karbala Diarak dari Kufah ke Damaskus
Syimr bin Dzil Jausyan yang memerintahkan kepada pasukan pemanahnya agar menjadikan tubuh Imam Husain sebagai sasaran busur panah mereka. Foto/Ilustrasi: Ist
A A A
Kisah iring-iringan prajurit yang membawa kepala Sayyidina Husain bin Abi Thalib cucu Rasulullah SAW dan 71 syuhada Karbala yang dipimpin Mukhaddhar bin Tsa’labah ‘Aidzi dan Syimr bin Dzil Jausyan dari Kufah ke Damaskus atau Syam sungguh dramatis. Bagaimana tidak, tiap kota yang mereka lalui rakyat dipaksa keluar rumah untuk ikut mengarak 72 kepala syuhada Karbala itu.



Dalam Tarikh Thabari disebutkan, Syimr bin Dzil Jausyan adalah tokoh penting kekejian dalam tragedi Karbala. Dialah yang memerintahkan kepada pasukan pemanahnya agar menjadikan tubuh Imam Husain sebagai sasaran busur panah mereka.

Tanpa peduli dengan tubuh Husain yang penuh luka akibat serangan panah, Syimr memerintahkan pasukannya untuk menyerang Husain secara bersama-sama. Di antaranya tebasan pedang Sinan bin Anas dan Zur'ah bin Syarik mengenai tepat tubuh Imam Husain as yang membuatnya kemudian terjatuh.

Pada tanggal 11 Muharram tahun 61 H, Umar bin Sa'ad, pimpinan perang musuh Husain, memerintahkan agar kepala 72 syuhada Karbala, termasuk kepala Husain, dipisahkan dari tubuhnya yang kemudian dibawa oleh Syimr beserta pasukannya menuju Kufah untuk diperlihatkan kepada Ubaidullah bin Ziyad, gubernur Kufah.

Kabilah-kabilah yang ikut dalam perang Karbala melawan kubu Imam Husain dengan bermaksud mendapatkan pujian dari Ibnu Ziyad membagi kepala-kepala para syuhada tersebut.

Kabilah Hawazin yang dikomandoi oleh Syimr membawa 20 kepala, sementara menurut Ibnu Thawus, sebagaimana dikutip Ath-Thabari, Syimr beserta kabilahnya membawa 12 kepala yang kemudian diperlihatkannya kepada Ibnu Ziyad. Disebutkan bahwa Syimr membawa kepala para syuhada tersebut, setelah sebelumnya mendapat persetujuan dari Ibnu Sa'ad.

Ubaidillah bin Ziyad atas perintah Yazid bin Muawiyah kemudian memerintahkan Syimr agar membawa kepala Husain dan para syuhada Karbala menuju Syam. Selain membawa kepala syuhada Karbala, mereka juga membawa tawanan Karbala seperti Ali bin Husain dan Zainab binti Ali. Nah, dalam perjalanan ke Syam ini banyak drama yang terjadi.



Bermabuk-mabukan
Sesampainya di pinggiran Sungai Furat, para pembawa kepala-kepala syuhada tersebut menurunkan bawaannya di rumah peristirahatan pertama, lalu sibuk bergembira dan mempermainkan kepala Husain dan menghabiskan sebagian malam untuk minum dan bermabuk-mabukan.

Diriwayatkan, pada saat itu, tiba-tiba ada menulis sajak dengan tinta darah dari sebuah pena besi, dan mengatakan, “Apakah kelompok yang membunuh Imam Husain akan menerima syafaat dari kakeknya pada hari kiamat?”

Saat kafilah Karbala sampai di Takrit, para petugas menulis surat kepada gubernur setempat yang berisi, "Temuilah kami, karena kami bersama kepala orang-orang asing."

Setelah gubernur membaca surat ini, ia memerintahkan untuk segera mengibarkan bendera-bendera, memukul genderang dan menghias kota. Rakyat dari segala penjuru kota pun berdatangan. Gubernur bergerak keluar untuk menemui mereka dan setiap kali ditanyakan kepada mereka tentang siapakah kepala ini, ia akan menjawabnya dengan mengatakan bahwa ini adalah kepala orang asing yang bangkit untuk menentang Yazid, dan Ibnu Ziyad telah berhasil membunuhnya.

Dikisahkan, seseorang yang hadir di tempat itu mengatakan, “Wahai rakyat Takrit! Aku berada di Kufah saat kepala ini dibawa. Ini bukanlah kepala orang asing. Ini tidak lain adalah kepala Husain.”

Begitu mendengar perkataan ini, mereka langsung menggantikan bunyi genderang dengan membunyikan terompet untuk memperingati kebesaran Husain, dan mengatakan bahwa mereka membenci kaum yang membunuh putra dari putri nabi mereka sendiri.

Saat mendengar kabar mengenai reaksi rakyat Takrit yang seperti ini, petugas Yazid mengurungkan diri untuk memasukkan kafilah tawanan Karbala ke kota itu. Selanjutnya kafilah duka ini melanjutkan perjalanannya dari luar Takrit melalui padang sahara.



Berbohong
Perjalanan dari Takrit terus berlanjut hingga sampai ke sebuah daerah bernama A’ma, setelah itu dilanjutkan ke Dair ‘Urwah, dan seterusnya tanpa henti menuju ke Shalita.

Pada saat sampai di daerah bernama Wadi Nakhlah, waktu telah menjelang malam, dan di sini pulalah kafilah berhenti dan melewati malam.

Pada malam itu, suara jeritan, raungan, tangisan anak-anak dan senandung duka para wanita kembali terdengar. Tangisan dan tetesan air mata yang menghikayatkan duka, derita dan nestapa karena kehilangan orang-orang terkasih. Akan tetapi, para petugas kafilah sama sekali tak tergugah dan tersentuh oleh air mata dan tangisan-tangisan ini.

Hingga Shubuh, para petugas Yazid disibukkan dengan pesta pora dan hura-hura.

Dari Wadi Nakhlah, kafilah duka Karbala bergerak ke arah Marsyad. Pada awalnya kaum lelaki dan perempuan kota ini berdatangan untuk menyambut mereka. Namun ketika mereka menyaksikan kondisi para tawanan, segera suara isakan, jerit dan tangisan membahana. Mereka ketakutan.

Di dekat daerah Mushal, para petugas Yazid menulis sebuah surat kepada gubernur Mushal untuk menghias kota dan mempersiapkan diri melakukan acara penyambutan bagi kedatangan kafilah duka Karbala.

Sesuai dengan perintah penguasa setempat, kota Mushal telah dipercantik, lampu-lampu benderang dan gemerlapan telah menghias kota dan semarak kota terlihat di seluruh penjuru kota.

Rakyat di daerah ini bertanya-tanya, apa gerangan yang menyebabkan seluruh kegembiraan dan kebahagiaan ini? Dalam jawabannya dikatakan, “Ubaidullah telah membunuh sejumlah orang yang menentang Yazid dan mereka akan mengirimkan kepala-kepalanya kepada Yazid.”



Seseorang yang berada di tengah-tengah rakyat mulai meneriakkan kata-kata, “Wahai rakyat Mushal! mereka semua berbohong. Ketahuilah bahwa sebenarnya yang telah dibunuh oleh Ibnu Ziyad bukanlah orang-orang asing. Mereka tidak lain melainkan putra Rasulullah dan dalam kafilah ini terdapat kepala Imam Husain yang hendak diserahkan ke Yazid.”

Hal yang sama juga terjadi saat sampai di Nashibain. Penguasa kota mengeluarkan perintah untuk memperindah kota. Saat orang yang membawa kepala Husain hendak memasuki kota, tiba-tiba kuda yang ditungganginya tidak mengikuti perintah tuannya sehingga dipersiapkanlah kuda yang lain. Namun, kuda yang ini pun melakukan tindakan yang serupa, dan kejadian ini terulang beberapa kali.

Hingga akhirnya mereka melihat kepala Husain yang berada di atas tanah. Ibrahim Mushali mengambil dan mengamatinya baik-baik hingga mengenalinya. Setelah itu ia segera melaknat dan mengutuk para petugas.

Saat warga kota menyaksikan peristiwa ini, mereka segera memutuskan untuk membunuh pembawa kepala Imam Husain. Akhirnya karena ketakutan dengan reaksi rakyat, kepala Imam Husain tidak jadi dibawa masuk ke kota ini.



Menjadi Tontonan
Setelah keluar dari Nashibin, kafilah Karbala memasuki ‘Ainul Ward. Para pembesar dan rakyat kota ini sepakat untuk mengarak kepala-kepala para syuhada dan mengambil keputusan untuk memasuki kota dari pintu ‘Arbain.

Selanjutnya, kepala Husain ditancapkan di atas tombak, diletakkan di alun-alun kota, dan menjadi tontonan rakyat dari tengah hari hingga petang. Sekelompok dari mereka bergembira, karena ini adalah kepala-kepala asing, sementara sekelompok lainnya menangis.

Sementara di Qansarin, sebuah tempat yang ramai dan berpenduduk banyak, warga kota ini mendapatkan informasi mengenai kedatangan kafilah tersebut. Mereka segera menutup pintu gerbang kota dan melarang mereka memasukinya. Mereka melaknat rakyat Bani Umayyah dan melempari batu kepada para petugas dan mengatakan, “Wahai orang-orang jahat! Wahai para pembunuh putra-putra para Nabi! Demi Allah! Kalian jangan memasuki kota kami, kendati kalian membunuh orang terakhir dari kami.”

Tatkala kafilah berhenti untuk sejenak beristirahat di samping sebuah gunung bernama Jausyan selama satu malam. Mereka meletakkan kepala Husain di atas sebuah batu. Saat terbit matahari dan kepala diangkat dari sana, beberapa tetes darah dari kepala Husain mengalir di atas batu. Rakyat kota ini baru menyadari masalah ini setelah kafilah bergerak. Setelah kepergian kafilah, mereka berkumpul di sekitar tetesan-tetesan darah itu dan melakukan majelis duka di tempat ini.

Di Kufr Thab, pintu gerbang di benteng kecil ini tertutup untuk kafilah. Rakyat duduk di atas menara dan tidak bersedia memberikan perbekalan kepada para petugas Yazid, bahkan mereka juga tidak bersedia memberikan sedikit pun air kepada mereka.

Khuli mendekati Hushain dan berteriak, “Wahai rakyat Kufr Thab! Bukankah kalian berada di bawah ketaatan pada kami, lalu kenapa kalian tidak bersedia memberikan air kepada kami?!”

Rakyat menjawab, “Demi Zat-Nya! Kami tidak akan memberikan air kepada kalian, sekalikan setetes. Kalianlah yang telah menutup air atas para keturunan Telaga Kautsar dan membuat mereka syahid dengan bibir-bibir yang kehausan.”



Sementara saat sampai di Ma'arrah Nu'man, para penghuni kota ini membuka pintu gerbang untuk menyambut kedatangan kafilah Karbala ke kota ini. Mereka menjamu laskar Yazid, memberikan air dan perbekalan kepada mereka dan laskar ini menghabiskan beberapa hari di tempat ini.

Perjalanan dilanjutnya dan setelah melewati Humah, akhirnya kafilah duka Karbala tiba di tempat bernama Himsh. Kota Himsh telah berhiaskan dengan bendera-bendera merah dan kuning untuk menyambut kedatangan kafilah ini. Namun, ketika rakyat kota menyadari bahwa tawanan kafilah ini adalah para putra Ali bin Abi Thalib dan para putra Rasulullah SAW, mereka merasa bersalah dan para perempuan kota segera melakukan majelis duka dan bersenandung duka.

Sedangkan para lelaki kota yang kecewa dengan keadaan ini, mulai melemparkan batu ke arah laskar Ibnu Ziyad. Karena lemparan ini, sekitar 26 enam orang dari pasukan Yazid menemui ajalnya.

Rakyat menutup pintu gerbang kota dan menyatakan bahwa tidak akan membiarkan satu orang pun dari kafilah ibnu Ziyah yang selamat melewati pintu. "Kami harus membunuh Khuli dan mengambil kembali kepala Imam Husain, dan hingga hari kiamat, kebanggaan ini akan menjadi milik kami," ujar mereka.

Laskar Ibnu Ziyad akhirnya mengambil kepala-kepala dan para tawanan dari pintu-pintu kota lainnya dan melarikan diri.

Saat para tawanan sampai di dekat kota Ba’labak, rakyat di sini mengibarkan bendera-bendera perayaan, bahkan anak-anak juga dipaksa untuk keluar dari kota hingga satu farsakh untuk menyambut mereka.

Sejumlah mereka keluar dari kota dan mulai menggelar perayaan dengan cara mereka sendiri.

Ummu Kultsum berkata kepada mereka, “Allah akan memecah belah dan memusnahkan kalian, dan kalian akan dikuasai oleh mereka yang tidak memiliki belas kasih kepada kalian.”

Sore mulai beranjak malam Kafilah yang tengah berada di dekat Syam mendengar berita bahwa akan ada sekelompok orang yang hendak menumpahkan darah malam ini untuk membebaskan para tawanan.

Mendengar kabar ini, laskar Ibnu Ziyad segera mencari perlindungan ke Dair Nashraniyah. Seorang rahib mengatakan, “Dair ini tidak memiliki tempat untuk kalian. Masukkanlah kepala-kepala itu dan para tawanan, sementara kalian berjaga-jaga di balik tembok-tembok benteng untuk mengawasi supaya tidak ada musuh yang menyerang kalian."



Pesta Perayaan
Pada tanggal 1 Shafar 61 Hijriah, setelah melewati perjalanan panjang dari Kufah hingga Syam, dan diarak di berbagai kota di sepanjang perjalanan bersama kepala-kepala para syahid Karbala, kini kepala-kepala ini diarahkan menuju kota Damaskus.

Pada hari itu di pusat pemerintahan Bani Umayyah ini para pejabat setempat menyelenggarakan pesta perayaan.

Saat mendekati pintu gerbang Damaskus, Ummu Kultsum memanggil Syimr dan berkata, “Bawalah kami memasuki kota Syam dari pintu gerbang yang tidak ramai oleh penduduk. Jauhkan kepala-kepala dari beludru-beludru supaya rakyat tidak melihat ke arah kami.”

Berlawanan dengan apa yang diminta oleh putri Fatimah dan cucu Rasulullah SAW , Syimr dengan keras kepala malah memerintahkan supaya kepala para syuhada ditancapkan di atas tombak-tombak, kemudian melenggangkan mereka di tengah-tengah rakyat yang datang menonton.

Para perempuan dan anak-anak Ahlul Bait diarahkan untuk melewati pintu gerbang utama Damaskus, diarak di tengah-tengah pasar kota, sementara Zainab Kubra dan putri-putri Imam Husain bin Ali berada di antara mereka.

Peristiwa lain yang terjadi di Syam adalah kehadiran Ahlul Bait Imam Husain di tempat perjamuan Yazid. Dalam majelis pertemuan ini, Ali bin Husain dan Zainab Kubra dengan khutbah-khutbahnya berhasil menjelaskan banyak realitas dan fakta untuk rakyat dan membongkar wajah Yazid dan keturunan Yazid yang zalim dan bengis.

Kejadian lainnya di kota ini adalah penempatan kafilah Ahlul Bait di reruntuhan bangunan. Dan tragedi paling menyayat hati adalah meninggalnya Ruqayyah, putri Imam Husain yang baru berusia tiga tahun di reruntuhan ini dikarenakan luka yang dideritanya selama masa tawanan. Ia meninggal di sisi kepala ayahnya.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2828 seconds (0.1#10.140)