Ketika Kaum Muslimah Sholat Berjamaah Sendiri, Inilah Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi

Rabu, 24 Agustus 2022 - 09:31 WIB
loading...
Ketika Kaum Muslimah Sholat Berjamaah Sendiri, Inilah Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi
Kaum muslimah boleh melakukan sholat jamaah sendiri dengan kaumnya, hanya saja ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mereka. Foto istimewa
A A A
Ijma (kesepakatan) para ulama menyebutkan bahwa kaum muslimah tidak wajib mengerjakan sholat berjamaah , namun syariat tetap membolehkan mereka untuk melakukan sholat secara berjamaah. Hanya saja, ketika kaum wanita muslimah melaksanakan sholat jamaah ada beberapa cara dan syarat yang harus dipenuhi.

Dikutip dari kitab 'Fiqhus Sunnah Lin Nisaa' atau (Fiqih Sunnah untuk Wanita) yang ditulis Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, menjelaskan tentang tata cara sholat jamaah bagi wanita muslimah ini. Sholat berjamaah bagi muslimah dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, kaum muslimah mengerjakan shalat berjamaah dengan imam seorang wanita. Kedua, ikut sholat berjamaah dengan kaum pria, seperti sholat di masjid atau sholat Ied.



Untuk mengerjakan sholat berjamaah dengan imamnya wanita, cara ini dibenakan oleh syariat berdasarkan tiga alasan, yakni :

1. Pengertian umum hadis-hadis yang menyebut keutamaan sholat berjamaah seperti sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam :
"Sholat berjamaah dua puluh tujuh (derajat) lebih utama daripada salat sendirian," (HR Bukhari dan Muslim)
2. Tidak ada dalil yang melarang wanita mengerjakan sholat secara berjamaah
3. Beberapa sahabat wanita mengerjakan sholat berjamaah seperti Ummu Salamah radhiyallahu'anhu dan Aisyah radhiyallahu'anhu.

Raithah Al Hanafiyah meriwayatkan bahwa Aisyahradhiyallahu'anhu pernah mengimani mereka. Ia berdiri di tengah mereka (barisan pertama) dalam sholat fardhu.(HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi. Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid)

'Ammar Ad-Duhni meriwayatkan dari seorang wanita dari keluarganya yang dikenal dengan nama Hujairah bahwa Ummu Salamah pernah mengimani mereka dan berdiri di tengah (barisan pertama). (HR Abdurrazzaq dalam kitab Al-Munshannaf, dan Baihaqi. Riwayat ini shahih karena banyak riwayat lain yang menguatkannya (syawahid)

Praktik sholat muslimah sahabat Nabi SAW ini tidak ada yang membantahnya sehingga layak menjadi dalil kebenaran seorang wanita mengimani jamaah wanita lain.

Kriteria Muslimah yang Menjadi Imam Jamaah Wanita

Dalam buku Fiqih Sunnah untuk Wanita ini juga dijelaskan, apabila sekelompok kaum wanita melakukan sholat berjamaah, maka wanita yang paling layak menjadi imam mereka adalah wanita yang paling baik bacaan (dan pemahamannya) tentang Al-Qur'an. Jika dalam hal ini ada beberapa wanita yang seimbang, maka didahulukan wanita yang lebih mengerti sunnah. Jika mereka mengerjakan salat berjamaah dikerjakan di rumah, maka pemilik rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali bila dia melimpahkan haknya kepada wanita lain.

Ini berdasarkan hadis Abu Mas'ud Al Anshari ra yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Imam suatu kaum adalah orang yang paling pandai membaca Al-Qur'an di antara mereka. Jika mereka seimbang dalam kemampuan memaca Al-Qur'an maka dipilih yang lebih mengerti sunnah. JIka mereka seimbang dalam pengetahuan tentang sunnah, maka dipilih yang lebih dulu hijrah...Janganlah seseorang menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain dan jangan pula duduk di rumahnya di tempat kehormatannya, kecuali bila diizinkan", (HR Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah).

Kemudian bagaimana posisi imam wanita dalam sholat berjamaah? Imam wanita berdiri di tengah barisan (pertama) jamaah wanita dan bukan di depan mereka, seperti yang dilakukan Aisyah radhiyallahu'anha dan Ummu Salamah radhiyallahu'anha dalam riwayat di atas.

Inilah pendapat mayoritas ulama salaf. Dan, jika sekelompok wanita melakukan salat berjamaah secara terpisah dan jauh dari kaum laki-laki, maka shaf yang paling utama adalah shaf pertama lalu disusul dengan shaf berikutnya. Ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya melimpahkan rahmat dan mendoakan orang-orang yang berada di shaf-shaf terdepan" (HR abu Dawud dan Nasa'i)



Tetapi jika mereka sholat di belakang jamaah laki-laki, maka shaf paling utama bagi mereka adalah shaf paling belakang dan shaf paling buruk bagi mereka adalah shaf paling depan.

Apakah imam wanita mengerjakan sholat dengan suara yang jelas? Imam wanita boleh mengeraskan suara dalam sholat-sholat yang dikerjakan dengan suara yang jelas, tapi jika ada laki-laki di sekitarnya maka dia tidak boleh mengeraskan suara, kecuali jika laki-laki tersebut masih mahramnya.

Sholat Jamaah Bersama Pria

Jika wanita muslimah melakukan sholat berjamaah di belakang jamaah laki-laki. Kaum wanita dibenarkan sholat berjamaah di belakang kaum pria. Ini didasarkan hadis Anas radhiyallahu'anha yang menyatakan bahwa:

"Aku bersana seorang anak yatim piatu, bermakmum kepada Rasululah di rumah kami. Sedangkan ibuku, Ummu Sulaim, ikut salat di belakang kami". (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa'i)

Ummu Salamah menyatakan ," Ketika Rasulullah mengucapkan salam, kaum wanita langsung berdiri setelah beliau selesai mengucapkan salam, sedangkan beliau sendiri diam sejenak di tempatnya". (HR Bukhari, ABu Dawud, Nasa'i dan Ibnu Majah)

Dari dua hadis tersebut dan hadis hadis lainnya yang menjaleskan masalah ini, dipetik dua pelajaran penting yakni:

1. Wanita boleh sholat di belakang shaf laki-laki
2. Wanita yang berdiri di belakang laki-laki, sekalipun tidak ada wanita lain yang menyertainya, ia tetap harus berdiri di shaf paling belakang sendirian.

Begitu pula bila dia sholat bersama seorang laki-laki yang masih mahramnya, tetap harus berdiri di belakangnya. Kalau seorang wanita bermakmum di belakang suami atau yang masih mahram dengannya, ini dibolehkan karena tidak ada ikhtilath yaitu campur baur yang terlarang di antara pria dan wanita karena masih mahram. Namun jika wanita tersebut bermakmum sendirian di belakang imam yang bukan mahram tanpa ada jamaah wanita atau pria lainnya, maka ini terlarang.

Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ “Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya. (HR. Ahmad no. 15734. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan hadits ini shohih ligoirihi)

Namun boleh jika ada wanita yang lain, sedangkan imamnya sendiri tanpa ada jamaah pria karena pada saat ini sudah tidak ada fitnah (godaan dari wanita). Akan tetapi, jika masih ada fitnah, tetap hal ini tidak dibolehkan. (Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 510)



Wallahu A'lam
(wid)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2725 seconds (0.1#10.140)