Kisah Pengembara yang Pindah dari Satu Agama ke Agama Lain
loading...
A
A
A
"Wahai pengembara, aku khawatir engkau tidak akan sampai ke Mekkah --sebab jalan yang kau tempuh menuju Turkistan," demikian Idries Shah menukil Syekh Sa'di saat memulai tulisannya "Pencari Ilmu" dalam bukunya yang berjudul " The Sufis ".
Suatu hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara.
Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar.
Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan.
Ia pernah tinggal di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.
Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.
Syekh tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus. "Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.
Agama-agama besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya.
Zen (salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin menjadi "sekadar suatu mode sambilan".
Kultus-kultus yang terpusat pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut. Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu kebenaran sejati.
Di antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu. Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan perhatian pada tema-tema teologis.
Maukah Syekh membantunya?
"Lebih dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam.
Selama engkau hidup, engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan normal.
Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri. Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini sebenarnya mengajarimu.
Jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka, engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu sendiri."
"Pertukaran ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara superfisial.
Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman manusia modern mencakup ini, apa yang telah disampaikan kepadanya. Dengan demikian rumah itu akan tampak besar atau kecil, baik atau jelek, seperti milikmu atau tidak.
Dengan rincian yang lebih luas, ia memiliki atap seperti rumah lainnya, memiliki jendela-jendela yang aneh. Mesin (pikiran) tersebut berputar dalam lingkaran-lingkaran, sebab ia semata-mata menambah pengetahuan formalnya."
Pendatang baru tersebut tampak kebingungan.
"Apa yang ingin kusampaikan," ucap Syekh, "adalah bahwa engkau memahami semua hal itu sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah ada. Hal ini hampir tidak bisa dihindari kalangan intelektual. Engkau telah memutuskan bahwa engkau tidak menyukai simbolisme." Ia berhenti sejenak. "Apa yang engkau maksud?"
"Aku pikir apa yang kumaksudkan adalah bahwa penggunaan simbolisme oleh berbagai lembaga (keagamaan) tersebut tidak bisa memuaskanku sebagai sesuatu yang murni atau perlu," ucap anak muda tersebut.
"Apakah itu berarti bahwa engkau ingin menemukan suatu bentuk penggunaan simbol-simbol yang benar?" sergah si guru.
"Bagiku, simbolisme dan ritual tidaklah penting,"jawab calon murid tersebut, "dan hal-hal fundamental itulah yang aku cari."
"Apakah engkau bisa mengenali sesuatu yang fundamental jika engkau memang (pernah) melihatnya?"
"Aku pikir begitu."
"Maka hal-hal yang kami katakan dan lakukan akan tampak bagimu semata-mata sebagai persoalan-persoalan pendapat, tradisi, keanehan, sebab kami benar-benar menggunakan simbol-simbol. Yang lain menggunakan mantera-mantera, gerakan, pemikiran dan keheningan, konsentrasi dan perenungan --dan puluhan hal-hal lainnya," Syekh tersebut berhenti sejenak.
Pendatang tersebut berbicara.
"Apakah Anda berpikir secara eksklusif tentang Yudaisme, ritual-ritual Kristiani, puasa dalam Islam, kepala gundul (para Biksu) Budha, sebagai hal-hal yang fundamental?"
Sekarang tamu tersebut tengah memanaskan suasana dengan merambah pada suatu tema intelektual yang karakteristik.
"Diktum sufi menyatakan bahwa apa yang tampak itu merupakan jembatan menuju yang 'Sejati'," ucap Syekh itu. "Dalam kasus yang kita bahas, ini berarti bahwa semua itu mempunyai makna. Makna tersebut bisa hilang, hanya menampilkan sebuah ejekan, suatu tindakan sentimental atau kesalahpahaman terhadap sebuah peran. Tetapi jika dipergunakan dengan tepat, hal-hal tersebut secara sinambung terkait dengan realitas yang sebenarnya.
"Jadi, pada mulanya semua ritual itu bermakna dan niscaya mempunyai pengaruh penting?"
"Secara esensial semua ritual, simbolisme dan lainnya merupakan refleksi dari suatu kebenaran. Ia mungkin telah dicampur, disesuaikan, diselewengkan dengan tujuan-tujuan lain, tetapi ia menggambarkan suatu kebenaran-kebenaran batin dari apa yang kita sebut jalan Sufi."
"Tetapi para pelaku tersebut tidakkah mengetahui maknanya?"
"Mereka mungkin mengetahuinya dalam satu pengertian, pada satu tataran, suatu tataran yang cukup mendalam untuk mendukung sistem tersebut. Tetapi sejauh menyentuh realitas dan pengembangan-diri, penggunaan teknik-teknik ini adalah kosong."
"Lantas," ucap murid tersebut, "bagaimana kita bisa mengetahui siapa yang menggunakan tanda-tanda lahir tersebut dengan cara yang benar, yaitu cara pengembangan, dan siapa yang tidak mengetahuinya? Aku bisa menerima bahwa indikasi-indikasi superfisial itu memiliki nilai potensial, sebab indikasi-indikasi tersebut bisa membawa kepada sesuatu yang lain, dan kita memulainya di mana saja. Tetapi aku tidak bisa mengatakan kepada Anda, sistem apa yang harus kuikuti?"
"Tadi engkau mengajukan permintaan agar diizinkan memasuki lingkaran kami," ucap Syekh, "dan sekarang aku telah berhasil membuatmu kebingungan sampai pada satu tingkatan di mana engkau mengakui bahwa dirimu tidak bisa menilai. Baiklah, itulah esensinya."
"Engkau tidak bisa memutuskan. Engkau tidak bisa menggunakan instrumen untuk menilai. Engkau melakukan sebuah tugas sendirian: mencari kebenaran spiritual. Engkau melihat kebenaran ini dengan arah yang keliru dan menafsirkan manifestasi-manifestasinya dengan cara yang salah."
"Apakah mengejutkan jika engkau akan tetap dalam keadaan ini? Ada satu alternatif lain untukmu dalam keadaanmu saat ini. Pemusatan yang berlebihan terhadap tema tersebut, kecemasan dan emosi yang lahir dari dirimu, pada akhirnya akan bertumpuk sedemikian rupa sehingga engkau akan berusaha menjauhinya. Lalu apa yang akan terjadi? Emosi akan menguasai akal, dan engkau bisa jadi akan membenci agama atau --lebih mungkin-- beralih pada cara pemujaan tertentu yang mengambil tanggung jawab tersebut. Engkau akan menetap dengan anggapan bahwa dirimu telah menemukan apa yang engkau cari."
"Apakah tidak ada alternatif lain, meskipun dengan anggapan bahwa aku menerima keyakinan Anda, bahwa emosiku bisa menguasai akalku?" Pelatihan intelektual tidak (bisa) menerima secara ramah terhadap setiap anjuran yang tidak komprehensif, ia juga tidak bisa dikuasai oleh emosi. Kekakuan berpikir dengan nada yang samar ini membuktikan bahwa pemikir tersebut berusaha menegaskan sesuatu. Hal ini tidak lolos dari pengamatan Syekh tersebut.
"Pilihan, yang tidak akan engkau ambil ini, adalah pelepasan. Engkau lihat, ketika kami melepaskan, kami tidak melakukannya seperti cara yang engkau lakukan."
"Akal mengajarmu untuk melepaskan pikiran dari sesuatu dan memandangnya secara intelektual. Apa yang harus kami lakukan adalah untuk melepaskan diri dari akal dan (sekaligus) dari emosi."
"Bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu jika menggunakan akal untuk menilainya? Masalahmu adalah bahwa apa yang engkau sebut akal (intelek) sebenarnya merupakan serangkaian gagasan yang secara bergantian menguasai kesadaranmu."
"Engkau tidak memandang akal secara memadai. Bagi kami, intelek merupakan suatu kumpulan sikap yang relatif harmonis yang telah melatihmu untuk memandang sesuatu dengan cara tunggal."
"Menurut pemikiran sufi, ada suatu tingkatan di bawah akal yang tunggal dan kecil, tetapi vital. Ia adalah akal sejati. Akal sejati ini merupakan alat pemahaman yang ada pada setiap manusia. Dari waktu ke waktu dalam kehidupan manusia biasa, ia menyeruak, yang menghasilkan fenomena aneh yang tidak bisa dipahami melalui cara-cara biasa."
"Kadang-kadang fenomena ini disebut fenomena supranatural (occult phenomena), kadangkala hal ini dianggap sebagai suatu yang melampaui hubungan ruang atau waktu. Ini merupakan unsur dalam diri manusia yang bertanggung jawab atas perkembangannya menuju suatu bentuk yang lebih tinggi."
"Jadi aku harus menerimanya berdasar kepercayaan?"
"Tidak, engkau tidak bisa menerimanya berdasar kepercayaan; meskipun engkau menginginkannya. Jika engkau menerimanya berdasar kepercayaan, engkau akan segera mengabaikannya."
"Meskipun secara intelektual engkau (bisa) diyakinkan bahwa ia perlu diambil sebagai hipotesa, tetapi engkau akan segera kehilangan dia. Tidak, engkau harus mengalaminya. Tentu saja hal ini berarti bahwa engkau harus merasakannya dengan suatu cara dimana engkau tidak merasakan yang lain."
"Ia akan masuk ke dalam kesadaranmu sebagai suatu kebenaran dengan kualitas yang berbeda dari hal-hal lain yang telah terbiasa engkau pandang sebagai kebenaran. Karena sangat berbeda, maka engkau mengenali bahwa ia berasal dari kawasan yang kami sebut 'kawasan lain'."
Pengunjung tersebut kesulitan untuk mencerna hal ini dan kembali pada cara berpikirnya yang sudah mapan. "Apakah Anda mencoba menekankan suatu kepercayaan dalam diriku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan bahwa aku (bisa) merasakannya? Sebab jika tidak, aku tidak melihat begitu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi ini?"
"Aku yakin, engkau akan mengira bahwa aku telah berkata kasar," ucap Syekh tersebut dengan ramah, "tetapi aku harus mengatakan bahwa semua hal itu tidak seperti yang engkau lihat. Engkau tahu, engkau datang ke sini untuk berbicara. Aku telah berbicara kepadamu. Sebagai akibat dari pembicaraan dan pemikiran kita, banyak hal telah terjadi."
"Sejauh menyangkut perhatianmu, selama ini kita memang hanya berbicara. Engkau mungkin merasa bahwa dirimu bisa diyakinkan atau tidak. Bagi kami makna dari keseluruhan peristiwa tersebut jauh lebih besar."
"Sebuah tenaga timbul sebagai akibat dari pembicaraan ini. Ia tengah terjadi, sebagaimana engkau bisa membayangkannya dengan baik pada pemikiran-pemikiran dari semua yang hadir di sini. Tetapi sesuatu yang lain juga tengah terjadi --kepadamu, kepadaku, dan di mana saja."
"Sesuatu yang engkau pahami ketika engkau memahaminya. Ambillah contoh pada tingkat yang sangat sederhana tentang sebab dan akibat sebagaimana yang biasa dipahami."
"Seseorang pergi ke sebuah toko dan membeli sebuah sabun. Sebagai akibat dari pembelian ini, banyak hal bisa terjadi --si pemilik toko memiliki uang lebih banyak, mungkin lebih banyak sabun yang akan dipesan dan seterusnya. Kata-kata yang diucapkan dalam transaksi ini mempunyai suatu akibat, bergantung pada kondisi jiwa dari kedua belah pihak. Ketika orang tersebut meninggalkan toko, ada satu faktor tambahan dalam kehidupannya yang tidak ada sebelumnya --yakni sabun. Banyak hal bisa terjadi sebagai akibat dari transaksi ini. Tetapi bagi dua karakter utama tersebut, kejadian penting sebenarnya adalah bahwa sebatang sabun telah dibeli dan dibayar."
"Mereka tidak mempunyai kesadaran tentang percabangan transaksi itu dan tidak tertarik kepadanya. Hanya ketika sesuatu yang berarti --dari sudut pandang mereka-- terjadi, barulah mereka berpikir lagi tentang hal ini."
"Kemudian mereka akan mengatakan, 'Lucunya, orang yang membeli sabunku adalah seorang pembunuh atau mungkin ia seorang raja. Atau ia meninggalkan sebuah uang palsu.' Seperti setiap kata, setiap tindakan mempunyai satu akibat dan satu tempat."
"Ini merupakan dasar sistem-tanpa-sistem dari Sufi. Sebagaimana tentu saja telah engkau baca dalam berbagai cerita, Sufi bergerak dengan tindakan-tindakan yang sangat kompleks dan terjadi dalam kesadaran batin terhadap makna tindakannya."
"Aku mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap pengunjung itu, "tetapi aku tidak bisa mengalaminya. Jika ini benar, tentu saja hal ini sangat bergantung pada banyak hal. Cara pemujaan tertentu berlaku, pengalaman-pengalaman profetik; kegagalan dari semua orang, kecuali segelintir saja yang berhasil, dalam memecahkan teka-teki kehidupan hanya dengan memikirkannya."
"Hal ini juga bisa berarti bahwa seseorang yang menyadari perkembangan-perkembangan kompleks di sekitarnya bisa menyelaraskan dirinya dengan perkembangan-perkembangan tersebut sampai pada satu tingkatan yang mustahil bagi orang lain. Tetapi harga percobaan ini dibayar dengan membuang pengetahuan seseorang yang berharga. Aku tidak bisa melakukan itu."
Syekh tersebut tidak menginginkan suatu kemenangan verbal dan tidak menutup pembicaraan.
"Sahabatku, suatu ketika seseorang pernah cidera kakinya. Ia harus berjalan dengan sebuah tongkat. Tongkat ini sangat berguna baginya, untuk membantunya berjalan maupun untuk tujuan-tujuan lain. Ia mengajarkan semua keluarganya untuk menggunakan tongkat padahal mereka hidup dengan kaki normal. Akan tetapi, setiap orang berambisi untuk memilikinya. Sebagian tongkat terbuat dari gading, yang lain dihiasi dengan emas."
"Sekolah-sekolah dibuka untuk melatih orang menggunakannya, kursi-kursi universitas dimasuki untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih tinggi dari ilmu ini. Ada segelintir orang memulai berjalan dengan tongkat. Hal ini dianggap memalukan dan tidak masuk akal."
Di samping (memang) ada banyak kegunaan tongkat. Sebagian dari mereka (yang berjalan tanpa tongkat) dicaci dan sebagian dihukum. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa sebuah tongkat kadang-kadang bisa digunakan, ketika diperlukan. Atau banyak kegunaan tongkat tersebut yang bisa dipenuhi dengan cara-cara lainnya."
"Sedikit orang yang mau mendengar. Untuk mengatasi prasangka, sebagian orang-orang yang bisa berjalan tanpa dukungan (tongkat) tersebut mulai berperilaku yang sama sekali berbeda dari masyarakat yang mapan. Tetap saja jumlah mereka sedikit."
"Meskipun ternyata tongkat digunakan selama beberapa generasi, sebagian kecil orang sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, sebagian besar masyarakat 'membuktikan' bahwa tongkat itu merupakan keharusan."
"Mereka berkata, 'Lihat orang ini. Ia berjalan tanpa tongkat. Lihat! Ia tidak bisa.' 'Tetapi kami memang berjalan tanpa tongkat,' ucap pejalan-pejalan biasa (yang tidak menggunakan tongkat) mengingatkan mereka. 'Itu tidak benar, itu hanyalah khayalanmu sendiri,' ucap orang-orang yang pincang tersebut --sebab pada waktu itu mereka juga menjadi buta, sebab mereka tidak mau melihat."
"Analogi tidak sepenuhnya sesuai untuk hal ini," ucap anak muda tersebut.
"Apakah analogi (bisa) sepenuhnya diterima?" tanya Syekh tersebut.
"Tidakkah engkau pahami bahwa jika aku bisa menjelaskan segala sesuatu dengan mudah dan sempurna melalui satu cerita tunggal, maka pembicaraan ini tidak perlu? Hanya kebenaran-kebenaran parsial yang bisa diungkapkan secara tepat melalui analogi."
"Sebagai contoh, aku bisa memberikan suatu bentuk sempurna dari suatu lempengan yang berbentuk bundar dan engkau bisa memotongnya menjadi ribuan kepingan. Masing-masing potongan bisa jadi suatu duplikat dari potongan-potongan lainnya. Tetapi, sebagaimana kita semua tahu, sebuah lingkaran tentu saja relatif berbentuk bundar. Tambahkan dimensinya secara proporsional ratusan kali, maka engkau akan menemukan bahwa ia bukan lagi suatu lingkaran yang sesungguhnya."
"Ini merupakan fakta dari ilmu kebendaan, aku tahu bahwa kebenaran teori-teori ilmiah hanyalah bersifat relatif. Ini adalah klaim dari semua ilmu."
"Tetapi engkau tetap mencari kebenaran utuh melalui cara-cara relatif."
"Ya dan demikian pula Anda, sebab Anda mengatakan bahwa simbol-simbol dan yang lainnya merupakan 'Jembatan menuju hakikat,' meskipun semua itu tidak sempurna."
"Perbedaannya adalah bahwa engkau telah memilih satu metode tunggal dalam mendekati kebenaran. Ini tidak cukup. Kami menggunakan banyak cara yang berbeda dan mengetahui bahwa ada suatu kebenaran yang bisa dipahami oleh suatu organ batin. Engkau mencoba mendidihkan air, tetapi tidak tahu caranya. Kami mendidihkan air dengan membawa semua unsur-unsur tertentu --api, wadah, air."
"Tetapi bagaimana dengan akalku?"
"Ia harus menempati perspektifnya yang benar, menemukan tingkatannya sendiri, bila ketimpangan kepribadian tersebut ingin diperbaiki."
Ketika pengunjung itu telah pergi, seseorang bertanya kepada orang alim tersebut, "Maukah Anda mengomentari tanya jawab ini.
"Jika aku mengomentarinya," ucapnya, "Ia akan kehilangan kesempurnaannya."
Kita semua telah belajar sesuai dengan status kita.
Doktrin Sufi
Idries Shah mengatakan doktrin sufi tentang keseimbangan antara titik-titik ekstrim itu mempunyai beberapa makna. Ketika diterapkan pada pengajaran, yaitu kemampuan untuk belajar dari yang lain, itu berarti bahwa seseorang harus terbebas dari pemikiran yang salah sebelum ia mulai belajar.
Calon murid Barat itu harus mempelajari bahwa dirinya tidak bisa membawa asumsi-asumsi tentang kemampuannya sendiri untuk mempelajari suatu bidang dimana dalam kenyataannya ia tidak tahu apa sebenarnya yang dicobanya untuk dipelajari.
Sebenarnya ia tahu bahwa dalam cara tertentu ia tidak puas. Sisanya adalah kumpulan gagasan-gagasannya sendiri menyangkut alasan apa yang membuatnya tidak puas dan suatu upaya untuk menentukan obat bagi penyakit yang telah ia diagnosa tanpa sebelumnya menanyakan kepada dirinya sendiri tentang kemampuan-kemampuan diagnostiknya.
Kita telah memilih sebuah insiden aktual yang melibatkan seorang Barat; tetapi bentuk pemikiran ini tidak terbatas pada Barat. Demikian juga, sikap kebalikannya yang ekstrim --yaitu orang yang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak seorang guru-- dan dikatakan sebagai ciri khas pikiran Timur, hampir-hampir tidak berguna.
Pencari (ilmu) tersebut pertama kali harus mencapai tataran keseimbangan tertentu antar dua pikiran ekstrim ini sebelum bisa dianggap mempunyai kapasitas untuk belajar.
Kedua tipe (pikiran) ini belajar tentang kapasitas untuk belajar terutama dengan mengamati guru sufi dan pola perilakunya. Sebagai teladan manusia, tindakan dan ucapan guru sufi merupakan jembatan antara ketidakmampuan relatif dari seorang murid dan posisi menjadi seorang Sufi.
Kurang dari satu dalam seratus orang biasanya mempunyai salah satu konsepsi dari dua syarat ini. Jika melalui kajian yang seksama terhadap literatur sufi, seorang murid telah benar-benar melihat prinsip pengajaran tersebut, maka ia sungguh sangat beruntung.
Ia bisa menemukannya dalam bahan-bahan sufistik, dengan syarat harus bersedia membaca dan menelaahnya kembali, untuk mengajari dirinya menghindari asosiasi-asosiasi otomatis dari pemikiran yang mengendap atau label sufi (dan semua julukan lainnya) yang ada pada dirinya.
Singkat kata, kata Idries Shah, ia lebih tertarik secara temporer pada sekolah tertentu yang lebih masuk akal, yang meletakkan prinsip-prinsip kaku dan bisa ia jadikan sandaran.
Suatu hari aku duduk di halaqah seorang guru di India Utara. Ketika itu seorang pemuda asing dibawa masuk. Ia mencium tangan Syekh tersebut dan mulai berbicara.
Selama tiga setengah tahun, katanya, ia telah mengkaji berbagai agama, mistisisme dan okultisme dari buku-buku di Jerman, Perancis dan Inggris. Ia telah pindah dari satu kelompok (keagamaan) ke kelompok lainnya, untuk mencari sesuatu yang bisa membawanya ke jalan yang benar.
Agama formal tidak menarik hatinya. Dengan mengumpulkan semua uang yang bisa ia dapatkan, ia telah mengembara ke Timur, dan telah bolak-balik dari Iskandariah ke Kairo, dari Damaskus ke Teheran, melalui Afghanistan, India dan Pakistan.
Ia pernah tinggal di Burma [Myanmar] dan Bangladesh, begitu juga di Malaysia. Di semua tempat ini ia telah berbicara dan mengambil catatan-catatan salinan dari guru-guru spiritual dan keagamaan.
Tentu saja, secara fisik maupun batin, ia telah menempuh jarak yang jauh. Ia ingin bergabung dengan Syekh ini, sebab ia ingin melakukan sesuatu yang praktis, memusatkan perhatian pada gagasan-gagasan untuk mengembangkan diri. Ia memperlihatkan semua tanda bahwa ia lebih dari siap untuk menyerahkan dirinya kepada disiplin dari sebuah tarekat darwis.
Syekh tersebut bertanya kepadanya, mengapa ia menolak semua ajaran lainnya. Ada berbagai alasan, katanya, berbeda-beda dalam hampir setiap kasus. "Ceritakan kepadaku sebagian!" ucap sang guru.
Agama-agama besar, katanya, tampaknya tidak melangkah cukup mendalam. Mereka memusatkan diri pada dogma-dogma. Dogma-dogma tersebut harus diterima apa adanya.
Zen (salah satu pecahan Budha) sebagaimana telah ia temukan di Barat, sama sekali tidak menyentuh realitas. Yoga menuntut disiplin keras jika hal itu tidak ingin menjadi "sekadar suatu mode sambilan".
Kultus-kultus yang terpusat pada kepribadian seseorang didasarkan pada pemusatan terhadap orang tersebut. Ia tidak bisa menerima dasar pemikiran bahwa seremoni, simbolisme dan apa yang disebut sebagai peniruan kebenaran-kebenaran spiritual itu memiliki suatu kebenaran sejati.
Di antara para Sufi yang bisa dihubunginya, tampak baginya hanya berusaha mencapai pola yang serupa. Sebagian memiliki sifat pengajaran yang tulus, sebagian menggunakan gerakan-gerakan ritmis yang tampak sebagai peniruan dari sesuatu. Yang lain mengajarkan melalui bacaan-bacaan (wirid) yang tidak bisa dibedakan dari ucapan-ucapan (khotbah). Sebagian Sufi disibukkan dengan memusatkan perhatian pada tema-tema teologis.
Maukah Syekh membantunya?
"Lebih dari yang engkau ketahui," ucap Syekh. "Manusia itu sedang berkembang, apakah ia mengetahuinya atau tidak. Kehidupan itu satu, meskipun dalam bentuk-bentuk tertentu ia tampak bermacam-macam.
Selama engkau hidup, engkau sebenarnya sedang belajar. Mereka yang belajar melalui upaya sengaja sebenarnya merusak pengajaran yang diproyeksikan bagi mereka pada keadaan normal.
Orang-orang yang tak terdidik sampai pada tingkatan tertentu mempunyai hikmah, sebab mereka menerima akses dari dampak-dampak kehidupan itu sendiri. Ketika engkau berjalan dan melihat benda-benda atau orang, kesan-kesan ini sebenarnya mengajarimu.
Jika engkau secara aktif berusaha belajar dari mereka, engkau mengetahui hal-hal tertentu, tetapi semua itu merupakan hal-hal yang telah ditentukan sebelumnya. Engkau melihat wajah seseorang. Di saat engkau melihatnya, pertanyaan-pertanyaan muncul di benakmu, dan pertanyaan itu dijawab oleh pikiranmu sendiri. Apakah ia hitam? Apakah ia jujur? Manusia seperti apakah dia? Juga ada pertukaran konstan antara orang lain dan dirimu sendiri."
"Pertukaran ini didominasi oleh pandangan subyektifmu. Maksudku adalah bahwa engkau melihat apa yang engkau lihat. Ini telah menjadi suatu tindakan otomatis; engkau seperti mesin, tetapijuga seorang manusia yang hanya terlatih secara superfisial.
Engkau melihat sebuah rumah. Ciri-ciri umum dan khusus dari rumah tersebut terpilah-pilah ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan tersimpan dalam akalmu. Tetapi (semua itu) tidak secara obyektif --hanya sesuai dengan pengalaman-pengalamanmu sebelumnya.
Pengalaman-pengalaman manusia modern mencakup ini, apa yang telah disampaikan kepadanya. Dengan demikian rumah itu akan tampak besar atau kecil, baik atau jelek, seperti milikmu atau tidak.
Dengan rincian yang lebih luas, ia memiliki atap seperti rumah lainnya, memiliki jendela-jendela yang aneh. Mesin (pikiran) tersebut berputar dalam lingkaran-lingkaran, sebab ia semata-mata menambah pengetahuan formalnya."
Pendatang baru tersebut tampak kebingungan.
"Apa yang ingin kusampaikan," ucap Syekh, "adalah bahwa engkau memahami semua hal itu sesuai dengan gagasan-gagasan yang telah ada. Hal ini hampir tidak bisa dihindari kalangan intelektual. Engkau telah memutuskan bahwa engkau tidak menyukai simbolisme." Ia berhenti sejenak. "Apa yang engkau maksud?"
"Aku pikir apa yang kumaksudkan adalah bahwa penggunaan simbolisme oleh berbagai lembaga (keagamaan) tersebut tidak bisa memuaskanku sebagai sesuatu yang murni atau perlu," ucap anak muda tersebut.
"Apakah itu berarti bahwa engkau ingin menemukan suatu bentuk penggunaan simbol-simbol yang benar?" sergah si guru.
"Bagiku, simbolisme dan ritual tidaklah penting,"jawab calon murid tersebut, "dan hal-hal fundamental itulah yang aku cari."
"Apakah engkau bisa mengenali sesuatu yang fundamental jika engkau memang (pernah) melihatnya?"
"Aku pikir begitu."
"Maka hal-hal yang kami katakan dan lakukan akan tampak bagimu semata-mata sebagai persoalan-persoalan pendapat, tradisi, keanehan, sebab kami benar-benar menggunakan simbol-simbol. Yang lain menggunakan mantera-mantera, gerakan, pemikiran dan keheningan, konsentrasi dan perenungan --dan puluhan hal-hal lainnya," Syekh tersebut berhenti sejenak.
Pendatang tersebut berbicara.
"Apakah Anda berpikir secara eksklusif tentang Yudaisme, ritual-ritual Kristiani, puasa dalam Islam, kepala gundul (para Biksu) Budha, sebagai hal-hal yang fundamental?"
Sekarang tamu tersebut tengah memanaskan suasana dengan merambah pada suatu tema intelektual yang karakteristik.
"Diktum sufi menyatakan bahwa apa yang tampak itu merupakan jembatan menuju yang 'Sejati'," ucap Syekh itu. "Dalam kasus yang kita bahas, ini berarti bahwa semua itu mempunyai makna. Makna tersebut bisa hilang, hanya menampilkan sebuah ejekan, suatu tindakan sentimental atau kesalahpahaman terhadap sebuah peran. Tetapi jika dipergunakan dengan tepat, hal-hal tersebut secara sinambung terkait dengan realitas yang sebenarnya.
"Jadi, pada mulanya semua ritual itu bermakna dan niscaya mempunyai pengaruh penting?"
"Secara esensial semua ritual, simbolisme dan lainnya merupakan refleksi dari suatu kebenaran. Ia mungkin telah dicampur, disesuaikan, diselewengkan dengan tujuan-tujuan lain, tetapi ia menggambarkan suatu kebenaran-kebenaran batin dari apa yang kita sebut jalan Sufi."
"Tetapi para pelaku tersebut tidakkah mengetahui maknanya?"
"Mereka mungkin mengetahuinya dalam satu pengertian, pada satu tataran, suatu tataran yang cukup mendalam untuk mendukung sistem tersebut. Tetapi sejauh menyentuh realitas dan pengembangan-diri, penggunaan teknik-teknik ini adalah kosong."
"Lantas," ucap murid tersebut, "bagaimana kita bisa mengetahui siapa yang menggunakan tanda-tanda lahir tersebut dengan cara yang benar, yaitu cara pengembangan, dan siapa yang tidak mengetahuinya? Aku bisa menerima bahwa indikasi-indikasi superfisial itu memiliki nilai potensial, sebab indikasi-indikasi tersebut bisa membawa kepada sesuatu yang lain, dan kita memulainya di mana saja. Tetapi aku tidak bisa mengatakan kepada Anda, sistem apa yang harus kuikuti?"
"Tadi engkau mengajukan permintaan agar diizinkan memasuki lingkaran kami," ucap Syekh, "dan sekarang aku telah berhasil membuatmu kebingungan sampai pada satu tingkatan di mana engkau mengakui bahwa dirimu tidak bisa menilai. Baiklah, itulah esensinya."
"Engkau tidak bisa memutuskan. Engkau tidak bisa menggunakan instrumen untuk menilai. Engkau melakukan sebuah tugas sendirian: mencari kebenaran spiritual. Engkau melihat kebenaran ini dengan arah yang keliru dan menafsirkan manifestasi-manifestasinya dengan cara yang salah."
"Apakah mengejutkan jika engkau akan tetap dalam keadaan ini? Ada satu alternatif lain untukmu dalam keadaanmu saat ini. Pemusatan yang berlebihan terhadap tema tersebut, kecemasan dan emosi yang lahir dari dirimu, pada akhirnya akan bertumpuk sedemikian rupa sehingga engkau akan berusaha menjauhinya. Lalu apa yang akan terjadi? Emosi akan menguasai akal, dan engkau bisa jadi akan membenci agama atau --lebih mungkin-- beralih pada cara pemujaan tertentu yang mengambil tanggung jawab tersebut. Engkau akan menetap dengan anggapan bahwa dirimu telah menemukan apa yang engkau cari."
"Apakah tidak ada alternatif lain, meskipun dengan anggapan bahwa aku menerima keyakinan Anda, bahwa emosiku bisa menguasai akalku?" Pelatihan intelektual tidak (bisa) menerima secara ramah terhadap setiap anjuran yang tidak komprehensif, ia juga tidak bisa dikuasai oleh emosi. Kekakuan berpikir dengan nada yang samar ini membuktikan bahwa pemikir tersebut berusaha menegaskan sesuatu. Hal ini tidak lolos dari pengamatan Syekh tersebut.
"Pilihan, yang tidak akan engkau ambil ini, adalah pelepasan. Engkau lihat, ketika kami melepaskan, kami tidak melakukannya seperti cara yang engkau lakukan."
"Akal mengajarmu untuk melepaskan pikiran dari sesuatu dan memandangnya secara intelektual. Apa yang harus kami lakukan adalah untuk melepaskan diri dari akal dan (sekaligus) dari emosi."
"Bagaimana engkau bisa mencapai sesuatu jika menggunakan akal untuk menilainya? Masalahmu adalah bahwa apa yang engkau sebut akal (intelek) sebenarnya merupakan serangkaian gagasan yang secara bergantian menguasai kesadaranmu."
"Engkau tidak memandang akal secara memadai. Bagi kami, intelek merupakan suatu kumpulan sikap yang relatif harmonis yang telah melatihmu untuk memandang sesuatu dengan cara tunggal."
"Menurut pemikiran sufi, ada suatu tingkatan di bawah akal yang tunggal dan kecil, tetapi vital. Ia adalah akal sejati. Akal sejati ini merupakan alat pemahaman yang ada pada setiap manusia. Dari waktu ke waktu dalam kehidupan manusia biasa, ia menyeruak, yang menghasilkan fenomena aneh yang tidak bisa dipahami melalui cara-cara biasa."
"Kadang-kadang fenomena ini disebut fenomena supranatural (occult phenomena), kadangkala hal ini dianggap sebagai suatu yang melampaui hubungan ruang atau waktu. Ini merupakan unsur dalam diri manusia yang bertanggung jawab atas perkembangannya menuju suatu bentuk yang lebih tinggi."
"Jadi aku harus menerimanya berdasar kepercayaan?"
"Tidak, engkau tidak bisa menerimanya berdasar kepercayaan; meskipun engkau menginginkannya. Jika engkau menerimanya berdasar kepercayaan, engkau akan segera mengabaikannya."
"Meskipun secara intelektual engkau (bisa) diyakinkan bahwa ia perlu diambil sebagai hipotesa, tetapi engkau akan segera kehilangan dia. Tidak, engkau harus mengalaminya. Tentu saja hal ini berarti bahwa engkau harus merasakannya dengan suatu cara dimana engkau tidak merasakan yang lain."
"Ia akan masuk ke dalam kesadaranmu sebagai suatu kebenaran dengan kualitas yang berbeda dari hal-hal lain yang telah terbiasa engkau pandang sebagai kebenaran. Karena sangat berbeda, maka engkau mengenali bahwa ia berasal dari kawasan yang kami sebut 'kawasan lain'."
Pengunjung tersebut kesulitan untuk mencerna hal ini dan kembali pada cara berpikirnya yang sudah mapan. "Apakah Anda mencoba menekankan suatu kepercayaan dalam diriku bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dan bahwa aku (bisa) merasakannya? Sebab jika tidak, aku tidak melihat begitu banyak waktu yang dihabiskan untuk diskusi ini?"
"Aku yakin, engkau akan mengira bahwa aku telah berkata kasar," ucap Syekh tersebut dengan ramah, "tetapi aku harus mengatakan bahwa semua hal itu tidak seperti yang engkau lihat. Engkau tahu, engkau datang ke sini untuk berbicara. Aku telah berbicara kepadamu. Sebagai akibat dari pembicaraan dan pemikiran kita, banyak hal telah terjadi."
"Sejauh menyangkut perhatianmu, selama ini kita memang hanya berbicara. Engkau mungkin merasa bahwa dirimu bisa diyakinkan atau tidak. Bagi kami makna dari keseluruhan peristiwa tersebut jauh lebih besar."
"Sebuah tenaga timbul sebagai akibat dari pembicaraan ini. Ia tengah terjadi, sebagaimana engkau bisa membayangkannya dengan baik pada pemikiran-pemikiran dari semua yang hadir di sini. Tetapi sesuatu yang lain juga tengah terjadi --kepadamu, kepadaku, dan di mana saja."
"Sesuatu yang engkau pahami ketika engkau memahaminya. Ambillah contoh pada tingkat yang sangat sederhana tentang sebab dan akibat sebagaimana yang biasa dipahami."
"Seseorang pergi ke sebuah toko dan membeli sebuah sabun. Sebagai akibat dari pembelian ini, banyak hal bisa terjadi --si pemilik toko memiliki uang lebih banyak, mungkin lebih banyak sabun yang akan dipesan dan seterusnya. Kata-kata yang diucapkan dalam transaksi ini mempunyai suatu akibat, bergantung pada kondisi jiwa dari kedua belah pihak. Ketika orang tersebut meninggalkan toko, ada satu faktor tambahan dalam kehidupannya yang tidak ada sebelumnya --yakni sabun. Banyak hal bisa terjadi sebagai akibat dari transaksi ini. Tetapi bagi dua karakter utama tersebut, kejadian penting sebenarnya adalah bahwa sebatang sabun telah dibeli dan dibayar."
"Mereka tidak mempunyai kesadaran tentang percabangan transaksi itu dan tidak tertarik kepadanya. Hanya ketika sesuatu yang berarti --dari sudut pandang mereka-- terjadi, barulah mereka berpikir lagi tentang hal ini."
"Kemudian mereka akan mengatakan, 'Lucunya, orang yang membeli sabunku adalah seorang pembunuh atau mungkin ia seorang raja. Atau ia meninggalkan sebuah uang palsu.' Seperti setiap kata, setiap tindakan mempunyai satu akibat dan satu tempat."
Baca Juga
"Ini merupakan dasar sistem-tanpa-sistem dari Sufi. Sebagaimana tentu saja telah engkau baca dalam berbagai cerita, Sufi bergerak dengan tindakan-tindakan yang sangat kompleks dan terjadi dalam kesadaran batin terhadap makna tindakannya."
"Aku mengerti apa yang Anda maksudkan," ucap pengunjung itu, "tetapi aku tidak bisa mengalaminya. Jika ini benar, tentu saja hal ini sangat bergantung pada banyak hal. Cara pemujaan tertentu berlaku, pengalaman-pengalaman profetik; kegagalan dari semua orang, kecuali segelintir saja yang berhasil, dalam memecahkan teka-teki kehidupan hanya dengan memikirkannya."
"Hal ini juga bisa berarti bahwa seseorang yang menyadari perkembangan-perkembangan kompleks di sekitarnya bisa menyelaraskan dirinya dengan perkembangan-perkembangan tersebut sampai pada satu tingkatan yang mustahil bagi orang lain. Tetapi harga percobaan ini dibayar dengan membuang pengetahuan seseorang yang berharga. Aku tidak bisa melakukan itu."
Syekh tersebut tidak menginginkan suatu kemenangan verbal dan tidak menutup pembicaraan.
"Sahabatku, suatu ketika seseorang pernah cidera kakinya. Ia harus berjalan dengan sebuah tongkat. Tongkat ini sangat berguna baginya, untuk membantunya berjalan maupun untuk tujuan-tujuan lain. Ia mengajarkan semua keluarganya untuk menggunakan tongkat padahal mereka hidup dengan kaki normal. Akan tetapi, setiap orang berambisi untuk memilikinya. Sebagian tongkat terbuat dari gading, yang lain dihiasi dengan emas."
"Sekolah-sekolah dibuka untuk melatih orang menggunakannya, kursi-kursi universitas dimasuki untuk mengkaji aspek-aspek yang lebih tinggi dari ilmu ini. Ada segelintir orang memulai berjalan dengan tongkat. Hal ini dianggap memalukan dan tidak masuk akal."
Di samping (memang) ada banyak kegunaan tongkat. Sebagian dari mereka (yang berjalan tanpa tongkat) dicaci dan sebagian dihukum. Mereka berusaha memperlihatkan bahwa sebuah tongkat kadang-kadang bisa digunakan, ketika diperlukan. Atau banyak kegunaan tongkat tersebut yang bisa dipenuhi dengan cara-cara lainnya."
"Sedikit orang yang mau mendengar. Untuk mengatasi prasangka, sebagian orang-orang yang bisa berjalan tanpa dukungan (tongkat) tersebut mulai berperilaku yang sama sekali berbeda dari masyarakat yang mapan. Tetap saja jumlah mereka sedikit."
"Meskipun ternyata tongkat digunakan selama beberapa generasi, sebagian kecil orang sebenarnya bisa berjalan tanpa tongkat, sebagian besar masyarakat 'membuktikan' bahwa tongkat itu merupakan keharusan."
"Mereka berkata, 'Lihat orang ini. Ia berjalan tanpa tongkat. Lihat! Ia tidak bisa.' 'Tetapi kami memang berjalan tanpa tongkat,' ucap pejalan-pejalan biasa (yang tidak menggunakan tongkat) mengingatkan mereka. 'Itu tidak benar, itu hanyalah khayalanmu sendiri,' ucap orang-orang yang pincang tersebut --sebab pada waktu itu mereka juga menjadi buta, sebab mereka tidak mau melihat."
"Analogi tidak sepenuhnya sesuai untuk hal ini," ucap anak muda tersebut.
"Apakah analogi (bisa) sepenuhnya diterima?" tanya Syekh tersebut.
"Tidakkah engkau pahami bahwa jika aku bisa menjelaskan segala sesuatu dengan mudah dan sempurna melalui satu cerita tunggal, maka pembicaraan ini tidak perlu? Hanya kebenaran-kebenaran parsial yang bisa diungkapkan secara tepat melalui analogi."
"Sebagai contoh, aku bisa memberikan suatu bentuk sempurna dari suatu lempengan yang berbentuk bundar dan engkau bisa memotongnya menjadi ribuan kepingan. Masing-masing potongan bisa jadi suatu duplikat dari potongan-potongan lainnya. Tetapi, sebagaimana kita semua tahu, sebuah lingkaran tentu saja relatif berbentuk bundar. Tambahkan dimensinya secara proporsional ratusan kali, maka engkau akan menemukan bahwa ia bukan lagi suatu lingkaran yang sesungguhnya."
Baca Juga
"Ini merupakan fakta dari ilmu kebendaan, aku tahu bahwa kebenaran teori-teori ilmiah hanyalah bersifat relatif. Ini adalah klaim dari semua ilmu."
"Tetapi engkau tetap mencari kebenaran utuh melalui cara-cara relatif."
"Ya dan demikian pula Anda, sebab Anda mengatakan bahwa simbol-simbol dan yang lainnya merupakan 'Jembatan menuju hakikat,' meskipun semua itu tidak sempurna."
"Perbedaannya adalah bahwa engkau telah memilih satu metode tunggal dalam mendekati kebenaran. Ini tidak cukup. Kami menggunakan banyak cara yang berbeda dan mengetahui bahwa ada suatu kebenaran yang bisa dipahami oleh suatu organ batin. Engkau mencoba mendidihkan air, tetapi tidak tahu caranya. Kami mendidihkan air dengan membawa semua unsur-unsur tertentu --api, wadah, air."
"Tetapi bagaimana dengan akalku?"
"Ia harus menempati perspektifnya yang benar, menemukan tingkatannya sendiri, bila ketimpangan kepribadian tersebut ingin diperbaiki."
Ketika pengunjung itu telah pergi, seseorang bertanya kepada orang alim tersebut, "Maukah Anda mengomentari tanya jawab ini.
"Jika aku mengomentarinya," ucapnya, "Ia akan kehilangan kesempurnaannya."
Kita semua telah belajar sesuai dengan status kita.
Baca Juga
Doktrin Sufi
Idries Shah mengatakan doktrin sufi tentang keseimbangan antara titik-titik ekstrim itu mempunyai beberapa makna. Ketika diterapkan pada pengajaran, yaitu kemampuan untuk belajar dari yang lain, itu berarti bahwa seseorang harus terbebas dari pemikiran yang salah sebelum ia mulai belajar.
Calon murid Barat itu harus mempelajari bahwa dirinya tidak bisa membawa asumsi-asumsi tentang kemampuannya sendiri untuk mempelajari suatu bidang dimana dalam kenyataannya ia tidak tahu apa sebenarnya yang dicobanya untuk dipelajari.
Sebenarnya ia tahu bahwa dalam cara tertentu ia tidak puas. Sisanya adalah kumpulan gagasan-gagasannya sendiri menyangkut alasan apa yang membuatnya tidak puas dan suatu upaya untuk menentukan obat bagi penyakit yang telah ia diagnosa tanpa sebelumnya menanyakan kepada dirinya sendiri tentang kemampuan-kemampuan diagnostiknya.
Kita telah memilih sebuah insiden aktual yang melibatkan seorang Barat; tetapi bentuk pemikiran ini tidak terbatas pada Barat. Demikian juga, sikap kebalikannya yang ekstrim --yaitu orang yang ingin menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak seorang guru-- dan dikatakan sebagai ciri khas pikiran Timur, hampir-hampir tidak berguna.
Pencari (ilmu) tersebut pertama kali harus mencapai tataran keseimbangan tertentu antar dua pikiran ekstrim ini sebelum bisa dianggap mempunyai kapasitas untuk belajar.
Kedua tipe (pikiran) ini belajar tentang kapasitas untuk belajar terutama dengan mengamati guru sufi dan pola perilakunya. Sebagai teladan manusia, tindakan dan ucapan guru sufi merupakan jembatan antara ketidakmampuan relatif dari seorang murid dan posisi menjadi seorang Sufi.
Kurang dari satu dalam seratus orang biasanya mempunyai salah satu konsepsi dari dua syarat ini. Jika melalui kajian yang seksama terhadap literatur sufi, seorang murid telah benar-benar melihat prinsip pengajaran tersebut, maka ia sungguh sangat beruntung.
Baca Juga
Ia bisa menemukannya dalam bahan-bahan sufistik, dengan syarat harus bersedia membaca dan menelaahnya kembali, untuk mengajari dirinya menghindari asosiasi-asosiasi otomatis dari pemikiran yang mengendap atau label sufi (dan semua julukan lainnya) yang ada pada dirinya.
Singkat kata, kata Idries Shah, ia lebih tertarik secara temporer pada sekolah tertentu yang lebih masuk akal, yang meletakkan prinsip-prinsip kaku dan bisa ia jadikan sandaran.
(mhy)