Syaikh Muhammad Abduh: Dinamakan Islam, Sebenarnya Bukan Islam
loading...
A
A
A
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan sebagian besar yang kita saksikan sekarang, yang dinamakan Islam, sebenarnya bukan Islam. Hanya bentuknya saja yang masih dipelihara sebagai amalan-amalan Islam - sembahyang, puasa , naik haji, ditambah sedikit hafalan kata-kata-yang artinya sudah dibelokkan pula.
Dalam bukunya berjudul "Al-Islam wan-Nashrania", Syaikh Muhammad Abduh mengupas bagaimana kondisi Islam saat ini yang menurutnya sudah dibelokkan itu.
Muhammad Abduh menjelaskan Islam pada mulanya agama yang dianut orang Arab. Kemudian setelah berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang tadinya bercorak Yunani ilmu itu pun lalu bercorak Arab pula.
Kemudian ada seorang khalifah yang salah dalam menjalankan politik. Keluasan Islam digunakannya untuk apa yang dikiranya akan membawa keuntungan untuk kepentingannya - dikiranya bahwa tentara yang terdiri dari orang-orang Arab itu mungkin saja akan jadi pendukung seorang khalifah golongan Ali, sebab golongan ini dekat sekali pertaliannya dengan keluarga Nabi SAW.
Oleh karena itu ia mau mempergunakan tentara dari luar, yang terdiri dari orang-orang Turki, Dailam, dan lain-lain yang dikiranya pula bahwa dengan kekuasaannya itu mereka ini akan dapat diperhamba, dapat dipergunakan untuk kepentingannya.
Suasana tidak akan membantu adanya pihak yang akan memberontak kepadanya atau menuntut kedudukannya sebagai penguasa, meskipun keluasan hukum Islam akan membenarkan ia melakukan itu. "Sejak itulah Islam jadi bercorak asing," tuturnya.
Ada seorang khalifah Banu Abbas - yang karena mengingat kepentingannya sendiri serta anak cucunya - ia ingin sebagian besar tentaranya itu diangkat dari orang-orang asing, demikian juga pembesar-pembesarnya.
Suatu tindakan yang buruk sekali, baik terhadap bangsanya atau pun terhadap agama. Tetapi tidak lama kemudian pembesar-pembesar militer ini pun telah pula dapat mengalahkan para khalifah itu. Dengan kekuasaan yang ada itu mereka telah dapat bertindak sewenang-wenang.
Sekarang kekuasaan negara berada di tangan mereka, dengan tiada persiapan pikiran seperti yang diajarkan Islam dan dengan hati yang sudah diisi oleh pendidikan agama. Bahkan sebaliknya, mereka datang menerima Islam dalam keadaan biadab dan bodoh, dengan membawa segala macam kekejaman.
Tubuh mereka mengenakan pakaian Islam, tapi ajarannya belum sampai menembusi hati mereka. Masih banyak di antara mereka itu yang membawa berhala untuk disembah dengan diam-diam. Kalau pun ada yang menjalankan sholat bersama-sama, itu hanya untuk memperkuat kekuasaannya.
"Kemudian datang lagi yang lain melanda Islam, seperti bangsa Tatar dan yang lain misalnya, malah persoalan agama juga di bawah kekuasaannya. Buat mereka musuh yang paling besar ialah ilmu pengetahuan," lanjutnya.
Orang pun sudah mengenal siapa mereka, sudah mengetahui sejarah mereka yang buruk itu. Mereka sangat memusuhi ilmu, juga memusuhi yang menjadi pelindung ilmu, yakni Islam.
Segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tidak pernah mendapat perhatian mereka, bantuan untuk itu pun dihentikan. Tidak sedikit dari kaki tangan mereka itu yang turut menyusup ke dalam jiwa orang yang masih awam dalam agamanya.
Mereka menempatkan diri ke tengah-tengah orang yang masih hijau dalam agama itu, sebagai orang yang taat dan pelindung agama. Mereka menganggap agama masih belum sempurna, perlu disempurnakan, atau sedang sakit, perlu diobati, atau juga sedang miring, perlu ditopang, sudah hampir roboh, jadi perlu dibangun kembali.
Dengan mengingat masa lampau mereka yang masih dalam kemegahan paganisma, adat-istiadat golongan-golongan Nasrani yang terdapat di sekitarnya, mereka pun hendak menerapkan semua itu ke dalam Islam - suatu hal yang diluar tanggungjawab Islam. Tetapi dalam meyakinkan orang-orang awam bahwa yang demikian ini demi kebesaran syiar agama, mereka berhasil.
Rakyat jelata memang alat penguasa dan senjata kaum tiran. Mereka telah menciptakan bermacam-macam pesta dan upacara-upacara keagamaan. Merekalah yang membuat peraturan kepada kita tentang adanya pemujaan kepada para wali, kepada ulama dan yang sebangsanya.
Mereka telah memecah belah umat Islam, dan menjerumuskan orang ke dalam kesesatan. Mereka juga yang menentukan, bahwa kita yang datang kemudian harus mengikuti apa yang dikatakan oleh orang dahulu.
Hal ini oleh mereka telah dijadikannya pula suatu akidah, yang membuat orang jadi berhenti berpikir, membuat pikiran jadi beku.
Dalam bukunya berjudul "Al-Islam wan-Nashrania", Syaikh Muhammad Abduh mengupas bagaimana kondisi Islam saat ini yang menurutnya sudah dibelokkan itu.
Muhammad Abduh menjelaskan Islam pada mulanya agama yang dianut orang Arab. Kemudian setelah berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang tadinya bercorak Yunani ilmu itu pun lalu bercorak Arab pula.
Kemudian ada seorang khalifah yang salah dalam menjalankan politik. Keluasan Islam digunakannya untuk apa yang dikiranya akan membawa keuntungan untuk kepentingannya - dikiranya bahwa tentara yang terdiri dari orang-orang Arab itu mungkin saja akan jadi pendukung seorang khalifah golongan Ali, sebab golongan ini dekat sekali pertaliannya dengan keluarga Nabi SAW.
Oleh karena itu ia mau mempergunakan tentara dari luar, yang terdiri dari orang-orang Turki, Dailam, dan lain-lain yang dikiranya pula bahwa dengan kekuasaannya itu mereka ini akan dapat diperhamba, dapat dipergunakan untuk kepentingannya.
Suasana tidak akan membantu adanya pihak yang akan memberontak kepadanya atau menuntut kedudukannya sebagai penguasa, meskipun keluasan hukum Islam akan membenarkan ia melakukan itu. "Sejak itulah Islam jadi bercorak asing," tuturnya.
Ada seorang khalifah Banu Abbas - yang karena mengingat kepentingannya sendiri serta anak cucunya - ia ingin sebagian besar tentaranya itu diangkat dari orang-orang asing, demikian juga pembesar-pembesarnya.
Suatu tindakan yang buruk sekali, baik terhadap bangsanya atau pun terhadap agama. Tetapi tidak lama kemudian pembesar-pembesar militer ini pun telah pula dapat mengalahkan para khalifah itu. Dengan kekuasaan yang ada itu mereka telah dapat bertindak sewenang-wenang.
Sekarang kekuasaan negara berada di tangan mereka, dengan tiada persiapan pikiran seperti yang diajarkan Islam dan dengan hati yang sudah diisi oleh pendidikan agama. Bahkan sebaliknya, mereka datang menerima Islam dalam keadaan biadab dan bodoh, dengan membawa segala macam kekejaman.
Tubuh mereka mengenakan pakaian Islam, tapi ajarannya belum sampai menembusi hati mereka. Masih banyak di antara mereka itu yang membawa berhala untuk disembah dengan diam-diam. Kalau pun ada yang menjalankan sholat bersama-sama, itu hanya untuk memperkuat kekuasaannya.
"Kemudian datang lagi yang lain melanda Islam, seperti bangsa Tatar dan yang lain misalnya, malah persoalan agama juga di bawah kekuasaannya. Buat mereka musuh yang paling besar ialah ilmu pengetahuan," lanjutnya.
Orang pun sudah mengenal siapa mereka, sudah mengetahui sejarah mereka yang buruk itu. Mereka sangat memusuhi ilmu, juga memusuhi yang menjadi pelindung ilmu, yakni Islam.
Segala yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan tidak pernah mendapat perhatian mereka, bantuan untuk itu pun dihentikan. Tidak sedikit dari kaki tangan mereka itu yang turut menyusup ke dalam jiwa orang yang masih awam dalam agamanya.
Mereka menempatkan diri ke tengah-tengah orang yang masih hijau dalam agama itu, sebagai orang yang taat dan pelindung agama. Mereka menganggap agama masih belum sempurna, perlu disempurnakan, atau sedang sakit, perlu diobati, atau juga sedang miring, perlu ditopang, sudah hampir roboh, jadi perlu dibangun kembali.
Dengan mengingat masa lampau mereka yang masih dalam kemegahan paganisma, adat-istiadat golongan-golongan Nasrani yang terdapat di sekitarnya, mereka pun hendak menerapkan semua itu ke dalam Islam - suatu hal yang diluar tanggungjawab Islam. Tetapi dalam meyakinkan orang-orang awam bahwa yang demikian ini demi kebesaran syiar agama, mereka berhasil.
Rakyat jelata memang alat penguasa dan senjata kaum tiran. Mereka telah menciptakan bermacam-macam pesta dan upacara-upacara keagamaan. Merekalah yang membuat peraturan kepada kita tentang adanya pemujaan kepada para wali, kepada ulama dan yang sebangsanya.
Mereka telah memecah belah umat Islam, dan menjerumuskan orang ke dalam kesesatan. Mereka juga yang menentukan, bahwa kita yang datang kemudian harus mengikuti apa yang dikatakan oleh orang dahulu.
Hal ini oleh mereka telah dijadikannya pula suatu akidah, yang membuat orang jadi berhenti berpikir, membuat pikiran jadi beku.