6 Perilaku yang Merusak Pahala Amal, Nomor 5 Suka Panjang Angan-angan
loading...
A
A
A
Pahala amal perbuatan seorang hamba ternyata bisa hilang atau rusak, bahkan bisa dinilai dosa oleh Allah subhanahu wata’ala karena perilaku-perilaku tertentu. Apa saja perilaku yang merusak pahala amal tersebut?
Mengutip ceramah Ustadz Nofriyanto, M.Ag, yang juga dosen Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UNIDA GONTOR, ia menjelaskan ada beberapa perilaku seseorang yang justru merusak pahala amal perbuatan yang dilakukannya sendiri. Hal tersebut didasarkan beberapa hadis yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Berikut perilaku-perilaku yang dapat merusak pahala amal ini, yakni:
1. Sibuk dengan aib orang lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sungguh beruntung seseorang yang disibukkan dengan aib dirinya daripada mengurusi aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 6237)
Tentu, pesan tersirat dari hadis tersebut kebalikannya: sungguh celaka dan sungguh merugi seseorang yang senantiasa menyibukkan dirinya dengan mengurusi aib orang lain.
Mengapa demikian? Sebab, ketika seseorang menyibukkan diri dengan aib orang lain, ia akan senang mencari-cari kesalahan, mencari-cari waktu kapan orang yang ia tidak sukai berbuat salah agar ia bisa menghina, merendahkan, bahkan mem-bully-nya. Tidak hanya sampai di situ saja, bahkan ia tidak akan sungkan-sungkan untuk menggibah atau memfitnah.
Jika saja orang seperti ini mau merenung sejenak, seharusnya ia sadar bahwa ia telah menghabiskan energi tanpa mendapatkan keuntungan sama sekali dan merusak pahala amal ibadahnya dengan dosa yang ia perbuat.
Maka tak heran jika orang yang disibukkan dengan dosa yang satu ini, ia mudah tergelincir ke dalam lubang-lubang dosa yang akan menguras habis pundi-pundi pahala kebaikan yang telah ia perbuat.
Padahal, yang tidak kalah penting dari amal kebaikan ialah berusaha menjaga kemurniannya agar ia diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan senantiasa merasa mawas diri, harap-harap cemas, takut kalau ia hilang dan rusak dengan hal-hal semacam ini. Yang tidak bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
2. Hati yang keras
Hal yang banyak merusak amal perbuatan lainnya ialah hati yang keras. Keras yang bagaimana? Tidak lain ialah hati yang penuh dengan noda-noda dan penyakit akut mengenaskan dan mengkhawatirkan. Hati yang dipenuhi dengan kebencian, iri hati, dengki, dan kesombongan.
Bukan hati yang mudah menerima nasihat. Bukan hati yang bergejolak, takut, khawatir, bergetar, saat nama dan tanda kebesaran Allah disebutkan. Hati seperti ini menjadi sebab utama orang lari dari kebaikan.
Sebaliknya, hati yang lembut akan mudah terketuk dengan suara-suara dan seruan-seruan kebajikan. Akan mudah menerima nasihat dan masukan. Di antara hal-hal yang diajarkan oleh ulama agar meraih hati yang lembut, bersih, dan suci antara lain lima.
Pertama, membaca al-Quran dan maknanya.
Kedua, shalat malam.
Ketiga, berkumpul dan bergaul dengan orang-orang saleh.
Keempat, memperbanyak puasa.
Kelima, memperbanyak berzikir mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah subhanahu wata’ala.
3. Cinta dunia
Menurut Ustadz Nofriyanto, sudah selayaknya seorang muslim menjadikan dunia hanya sebagai wasilah bagi kesuksesan akhiratnya. Bukan sebaliknya, menjadikan dunia satu-satunya tujuan hidup. Orang yang orientasi hidupnya dunia, dunia dan dunia saja, akan mudah terjatuh ke dalam sikap terlalu mencintai dunia dengan berlebihan melebihi batas kewajaran.
Selain itu, ia akan lebih mudah melalaikan kehidupan akhiratnya dan kewajiban-kewajiban agamanya. Terdapat beberapa nasihat dari baginda Nabi kepada kita, umatnya, agar tidak terjerumus kepada perbuatan berlebihan mencintai dunia.
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan, tetapi aku khawatir andai dunia ditaklukkan oleh kamu sekalian seperti ditaklukkan oleh orang-orang sebelum kamu. Akibatnya, kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan dunia pun menghancurkan kamu seperti menghancurkan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2988; HR. Muslim no. 2961)
Dan hadis lainnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah cinta dunia itu menguasai hati seseorang, kecuali dia akan diuji dengan tiga hal, yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.” (HR. Ad-Dailami).
4. Tidak memiliki rasa malu
Sesungguhnya, terdapat ikatan erat antara rasa malu dengan keimanan. Keduanya tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al-Hakim no. 66. Hadis sahih)
Apabila manusia kehilangan rasa malu atau kurang rasa malunya, maka berbagai kerusakan akan terjadi di muka bumi ini. Contohnya saja dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani; penyebab utama rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu.
Tidak malu berbuat keji, tidak malu berbuat curang dan culas, tidak malu berbuat aniaya, tidak malu berbuat keburukan. Bahkan, tidak malu mempertontonkan kenistaan dan pelbagai kefasikan. Apa penyebab semua hal tersebut? Tidak lain dan tidak bukan karena sedikit bahkan karena telah hilang dan sirnanya rasa malu dari diri pelakunya.
Padahal bagi seorang hamba, rasa malu ibarat tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang punya rasa malu, akan senantiasa berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Hidupnya selalu penuh dengan pertimbangan yang matang sebelum berbuat sesuatu.
Dan yang paling penting, rasa malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sifat malu seluruhnya merupakan kebaikan.” (HR. Muslim no. 37)
Menurut Ibnu Rajab al-Hambali, rasa malu menjadi dua macam. Pertama, malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan melainkan Allah anugerahkan kepada seorang hamba-Nya. Tentu saja hal tersebut eksklusif miliknya para nabi, rasul, serta wali Allah subhanahu wata’ala.
Kedua, malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-Nya, serta keyakinannya tentang Mahatahu-nya Allah subhanahu wata’ala.
Malu jenis ini merupakan bagian dari buah iman yang dimiliki oleh seorang hamba, bahkan termasuk derajat ihsan yang paling tinggi. Menyadari bahwa Allah subhanahu wata’ala selalu melihat dan mengawasi apa yang dilakukan, baik dalam gelap maupun terang, lapang ataupun sempit.
Maka berbahagialah mereka yang rasa malunya terjaga, imannya mengendalikan seluruh nadi kehidupan, Islam dan ihsannya menjadi perhiasan semua amal perbuatan. Sehingga amal perbuatan ibadahnya tidak hilang dan rusak.
5. Panjang angan-angan
Menurut Imam al-Ghazali, orang yang panjang angan-angan akan ditimpa empat keburukan. Pertama, meninggalkan ketaatan dan bermalas-malasan. Kedua, senang menunda-nunda tobat. Ketiga, senantiasa menjadi orang yang materialistis serta cinta dan gila harta. Keempat, hati akan menjadi keras.
Selain itu, yang harus menjadi perhatian kita umat muslim bahwa panjang angan-angan termasuk tipu daya Iblis paling licik. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat An-Nisa 119—120, “Dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka…” Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata. (Setan itu) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.
6. Perbuatan zalim yang tiada henti
Perbuatan zalim merupakan salah satu perbuatan tidak terpuji yang sangat dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Salah satu alasannya karena ia akan mendatangkan mudarat dan dosa yang tidak sepele.
Setidaknya ada tiga jenis kezaliman yang harus kita hindari agar pahala amal ibadah kita tidak rusak dan kita tidak terjerumus dalam kubangan dosa. Pertama, zalim kepada Allah. Zalim terbesar di sini maksudnya yaitu menyekutukan-Nya dengan selain-Nya. Termasuk zalim yaitu mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Kezaliman ini tidak bisa diampuni karena orang yang berbuat zalim kepada Allah, ia sudah mengingkari-Nya dan berbuat syirik, menyekutukan Allah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Quran,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus).” (QS. An-Nisā`: 168)
Kedua, berlaku zalim kepada sesama hamba. Bentuknya banyak. Sebut saja, seperti menghina dengan sebutan binatang, meremehkan, menuduh yang bukan-bukan, menyiksa, mengambil harta milik tanpa hak, menodai kehormatan, berlaku kejam, dan berlaku tidak adil.
Kezaliman jenis ini amat merugikan manusia yang lain. Tindakan zalim seperti ini juga harus kita waspadai dan jauhi. Hal ini pernah diingatkan oleh Rasulullah dalam hadisnya, “Barang siapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6169)
Ketiga, adalah zalim kepada diri sendiri. Semua perbuatan yang melanggar perintah dan larangan Allah subhanahu wata’ala adalah perbuatan yang menzalimi diri sendiri.
Meninggalkan perintah dan melakukan larangan merupakan contoh nyata dari zalim terhadap diri sendiri. Karena sejatinya, ia dengan sendirinya menjerumuskan dirinya kepada jurang kebinasaan.
Wallahu A'lam
Mengutip ceramah Ustadz Nofriyanto, M.Ag, yang juga dosen Prodi Aqidah dan Filsafat Islam UNIDA GONTOR, ia menjelaskan ada beberapa perilaku seseorang yang justru merusak pahala amal perbuatan yang dilakukannya sendiri. Hal tersebut didasarkan beberapa hadis yang disampaikan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Berikut perilaku-perilaku yang dapat merusak pahala amal ini, yakni:
1. Sibuk dengan aib orang lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبُهُ، عَن عُيُوبِ النَّاسِ
“Sungguh beruntung seseorang yang disibukkan dengan aib dirinya daripada mengurusi aib orang lain.” (HR. Al-Bazzar no. 6237)
Tentu, pesan tersirat dari hadis tersebut kebalikannya: sungguh celaka dan sungguh merugi seseorang yang senantiasa menyibukkan dirinya dengan mengurusi aib orang lain.
Mengapa demikian? Sebab, ketika seseorang menyibukkan diri dengan aib orang lain, ia akan senang mencari-cari kesalahan, mencari-cari waktu kapan orang yang ia tidak sukai berbuat salah agar ia bisa menghina, merendahkan, bahkan mem-bully-nya. Tidak hanya sampai di situ saja, bahkan ia tidak akan sungkan-sungkan untuk menggibah atau memfitnah.
Jika saja orang seperti ini mau merenung sejenak, seharusnya ia sadar bahwa ia telah menghabiskan energi tanpa mendapatkan keuntungan sama sekali dan merusak pahala amal ibadahnya dengan dosa yang ia perbuat.
Maka tak heran jika orang yang disibukkan dengan dosa yang satu ini, ia mudah tergelincir ke dalam lubang-lubang dosa yang akan menguras habis pundi-pundi pahala kebaikan yang telah ia perbuat.
Padahal, yang tidak kalah penting dari amal kebaikan ialah berusaha menjaga kemurniannya agar ia diterima oleh Allah subhanahu wata’ala dan senantiasa merasa mawas diri, harap-harap cemas, takut kalau ia hilang dan rusak dengan hal-hal semacam ini. Yang tidak bermanfaat bagi dunia dan akhiratnya.
2. Hati yang keras
Hal yang banyak merusak amal perbuatan lainnya ialah hati yang keras. Keras yang bagaimana? Tidak lain ialah hati yang penuh dengan noda-noda dan penyakit akut mengenaskan dan mengkhawatirkan. Hati yang dipenuhi dengan kebencian, iri hati, dengki, dan kesombongan.
Bukan hati yang mudah menerima nasihat. Bukan hati yang bergejolak, takut, khawatir, bergetar, saat nama dan tanda kebesaran Allah disebutkan. Hati seperti ini menjadi sebab utama orang lari dari kebaikan.
Sebaliknya, hati yang lembut akan mudah terketuk dengan suara-suara dan seruan-seruan kebajikan. Akan mudah menerima nasihat dan masukan. Di antara hal-hal yang diajarkan oleh ulama agar meraih hati yang lembut, bersih, dan suci antara lain lima.
Pertama, membaca al-Quran dan maknanya.
Kedua, shalat malam.
Ketiga, berkumpul dan bergaul dengan orang-orang saleh.
Keempat, memperbanyak puasa.
Kelima, memperbanyak berzikir mengingat dan menyebut-nyebut nama Allah subhanahu wata’ala.
3. Cinta dunia
Menurut Ustadz Nofriyanto, sudah selayaknya seorang muslim menjadikan dunia hanya sebagai wasilah bagi kesuksesan akhiratnya. Bukan sebaliknya, menjadikan dunia satu-satunya tujuan hidup. Orang yang orientasi hidupnya dunia, dunia dan dunia saja, akan mudah terjatuh ke dalam sikap terlalu mencintai dunia dengan berlebihan melebihi batas kewajaran.
Selain itu, ia akan lebih mudah melalaikan kehidupan akhiratnya dan kewajiban-kewajiban agamanya. Terdapat beberapa nasihat dari baginda Nabi kepada kita, umatnya, agar tidak terjerumus kepada perbuatan berlebihan mencintai dunia.
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أَهْلَكَتْهُمْ
“Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan, tetapi aku khawatir andai dunia ditaklukkan oleh kamu sekalian seperti ditaklukkan oleh orang-orang sebelum kamu. Akibatnya, kamu berlomba mencari dunia seperti mereka berlomba dan dunia pun menghancurkan kamu seperti menghancurkan mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 2988; HR. Muslim no. 2961)
Dan hadis lainnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Tidaklah cinta dunia itu menguasai hati seseorang, kecuali dia akan diuji dengan tiga hal, yakni cita-cita tak berujung, kemiskinan yang tak akan mencapai kecukupan, dan kesibukan yang tidak lepas dari kelelahan.” (HR. Ad-Dailami).
4. Tidak memiliki rasa malu
Sesungguhnya, terdapat ikatan erat antara rasa malu dengan keimanan. Keduanya tak ubahnya seperti dua sisi mata uang, tak bisa dipisahkan. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ وَالْإِيمَانُ قُرِنَا جَمِيعًا، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ الْآخَرُ
“Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al-Hakim no. 66. Hadis sahih)
Apabila manusia kehilangan rasa malu atau kurang rasa malunya, maka berbagai kerusakan akan terjadi di muka bumi ini. Contohnya saja dalam kehidupan sehari-hari yang kita jalani; penyebab utama rusaknya tatanan sosial antara lain karena hilangnya rasa malu.
Tidak malu berbuat keji, tidak malu berbuat curang dan culas, tidak malu berbuat aniaya, tidak malu berbuat keburukan. Bahkan, tidak malu mempertontonkan kenistaan dan pelbagai kefasikan. Apa penyebab semua hal tersebut? Tidak lain dan tidak bukan karena sedikit bahkan karena telah hilang dan sirnanya rasa malu dari diri pelakunya.
Padahal bagi seorang hamba, rasa malu ibarat tameng, sekaligus benteng dari melakukan perbuatan-perbuatan buruk. Seseorang yang punya rasa malu, akan senantiasa berhati-hati, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Hidupnya selalu penuh dengan pertimbangan yang matang sebelum berbuat sesuatu.
Dan yang paling penting, rasa malu akan senantiasa mendatangkan kebaikan sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sifat malu seluruhnya merupakan kebaikan.” (HR. Muslim no. 37)
Menurut Ibnu Rajab al-Hambali, rasa malu menjadi dua macam. Pertama, malu yang menjadi karakter dan tabiat bawaan, dia tidak diusahakan melainkan Allah anugerahkan kepada seorang hamba-Nya. Tentu saja hal tersebut eksklusif miliknya para nabi, rasul, serta wali Allah subhanahu wata’ala.
Kedua, malu yang diperoleh dari mengenal Allah dan mengenal keagungan-Nya, serta keyakinannya tentang Mahatahu-nya Allah subhanahu wata’ala.
Malu jenis ini merupakan bagian dari buah iman yang dimiliki oleh seorang hamba, bahkan termasuk derajat ihsan yang paling tinggi. Menyadari bahwa Allah subhanahu wata’ala selalu melihat dan mengawasi apa yang dilakukan, baik dalam gelap maupun terang, lapang ataupun sempit.
Maka berbahagialah mereka yang rasa malunya terjaga, imannya mengendalikan seluruh nadi kehidupan, Islam dan ihsannya menjadi perhiasan semua amal perbuatan. Sehingga amal perbuatan ibadahnya tidak hilang dan rusak.
5. Panjang angan-angan
Menurut Imam al-Ghazali, orang yang panjang angan-angan akan ditimpa empat keburukan. Pertama, meninggalkan ketaatan dan bermalas-malasan. Kedua, senang menunda-nunda tobat. Ketiga, senantiasa menjadi orang yang materialistis serta cinta dan gila harta. Keempat, hati akan menjadi keras.
Selain itu, yang harus menjadi perhatian kita umat muslim bahwa panjang angan-angan termasuk tipu daya Iblis paling licik. Sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran surat An-Nisa 119—120, “Dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka…” Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata. (Setan itu) memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu hanya menjanjikan tipuan belaka kepada mereka.
6. Perbuatan zalim yang tiada henti
Perbuatan zalim merupakan salah satu perbuatan tidak terpuji yang sangat dimurkai Allah subhanahu wata’ala. Salah satu alasannya karena ia akan mendatangkan mudarat dan dosa yang tidak sepele.
Setidaknya ada tiga jenis kezaliman yang harus kita hindari agar pahala amal ibadah kita tidak rusak dan kita tidak terjerumus dalam kubangan dosa. Pertama, zalim kepada Allah. Zalim terbesar di sini maksudnya yaitu menyekutukan-Nya dengan selain-Nya. Termasuk zalim yaitu mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Kezaliman ini tidak bisa diampuni karena orang yang berbuat zalim kepada Allah, ia sudah mengingkari-Nya dan berbuat syirik, menyekutukan Allah.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Quran,
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَظَلَمُوْا لَمْ يَكُنِ اللّٰهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيْقًاۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah tidak akan mengampuni mereka, dan tidak (pula) akan menunjukkan kepada mereka jalan (yang lurus).” (QS. An-Nisā`: 168)
Kedua, berlaku zalim kepada sesama hamba. Bentuknya banyak. Sebut saja, seperti menghina dengan sebutan binatang, meremehkan, menuduh yang bukan-bukan, menyiksa, mengambil harta milik tanpa hak, menodai kehormatan, berlaku kejam, dan berlaku tidak adil.
Kezaliman jenis ini amat merugikan manusia yang lain. Tindakan zalim seperti ini juga harus kita waspadai dan jauhi. Hal ini pernah diingatkan oleh Rasulullah dalam hadisnya, “Barang siapa berbuat zalim kepada saudaranya, baik terhadap kehormatannya maupun sesuatu yang lainnya, maka mintalah kehalalannya darinya hari ini juga sebelum dinar dan dirham tidak lagi ada. Jika ia punya amal saleh, maka amalannya itu akan diambil sesuai dengan kadar kezaliman yang dilakukannya. Dan jika ia tidak punya kebaikan, maka keburukan orang yang ia zalimi itu dibebankan kepadanya.” (HR. Al-Bukhari no. 6169)
Ketiga, adalah zalim kepada diri sendiri. Semua perbuatan yang melanggar perintah dan larangan Allah subhanahu wata’ala adalah perbuatan yang menzalimi diri sendiri.
Meninggalkan perintah dan melakukan larangan merupakan contoh nyata dari zalim terhadap diri sendiri. Karena sejatinya, ia dengan sendirinya menjerumuskan dirinya kepada jurang kebinasaan.
Wallahu A'lam
(wid)