Perayaan Maulid Nabi: Di Yogjakarta Ada Grebeg, di Banjarmasin Baayun
loading...
A
A
A
Tradisi Maulid Nabi di berbagai daerah di Indonesia memiliki ciri yang berbeda-beda. Maulid Nabi di Yogyakarta diperingati dengan tradisi Grebek Maulud. Sedangkan di Banjarmasin ada tradisi Baayun Mulud. Apa itu?
Grebek Maulud atau Grebek Mulud adalah prosesi arak-arakan gunungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju alun-alun utara dan berakhir di masjid Agung Kauman.
Acara ini ada yang mengaitkannya dengan Sekaten yang berasal dari kata syahadatain yaitu dua kalimat syahadat. Festival Sekaten dimeriahkan dengan pasar malam selama 40 hari.
Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang diartikan sebagai suasana ribut dan riuh saat peristiwa Grebeg Maulud berlangsung. Suasana ramai saat memperebutkan gunungan seakan tergambarkan dalam kata grebeg. Namun selain itu, kata grebeg juga berarti Miyos atau keluarnya sultan untuk memberikan hasil bumi kepada rakyatnya.
Grebeg Maulud mendapatkan pengaruh dari Islam Kejawen, yang merupakan perpaduan antara agama Islam dan budaya Jawa yang berkesinambungan satu sama lain.
Dalam buku "Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu" karya Rr. M.I. Retno Susilorini disebutkan Grebeg Mulud merupakan kebudayaan yang berasal pada zaman kerajaan Demak. Bermula dari para Walisongo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Grebeg Maulud juga digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan tujuan yang sama seperti Walisongo, yakni menyebarkan agama Islam. Pada masa kerajaan Demak, Walisongo menyisipkan ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa agar masyarakat setempat dapat menerimanya. Hal inilah yang disebut sebagai Islam Kejawen.
Islam kejawen sendiri mengukir keunikan budaya masyarakat Yogyakarta dari masa lalu hingga masa kini. Salah satu bentuk keunikan tersebut adalah Grebeg Maulud. Tradisi ini merupakan bagian dari festival Sekaten, tepatnya sebagai puncak acara.
Sebagai puncak acara upacara Sekaten, Grebeg Maulud diramaikan oleh antusiasme masyarakat. Gunungan hasil bumi yang diberikan oleh sultan diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya dapat memberikan keberkahan, kemakmuran, dan ketenangan.
Kepercayaan ini menggambarkan betapa kentalnya pengaruh Islam Kejawen dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Dalam Sekaten, rangkaian hingga mencapai Grebeg Maulud dimulai dengan Miyos Gangsa. Kemudian dilanjutkan dengan Numplak Wajik. Dalam prosesi ini, semua pusaka dikeluarkan dan dipersiapkan untuk Grebeg Maulud. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Bethak dan Pesowanan Garebeg.
Dalam Pesowanan Garebeg nasi, yang dimasak saat prosesi Bethak dibuat bulatan-bulatan kecil. Selanjutnya, nasi tersebut diletakkan dalam pusaka Kanjeng Kyai Blawong yang berwujud piring besar. Kemudian dilanjutkan dengan gunungan yang berjumlah tujuh buah diarak sebelum akhirnya dibagikan kepada masyarakat.
Grebeg Maulud diawali dengan parade para prajurit keraton yang berpakaian seragam dengan senjatanya. Rombongan prajurit penunggang kuda kemudian menyusul keluar diakhiri dengan gunungan yang diarak. Gunungan hasil bumi ini kemudian didoakan terlebih dahulu di Masjid Gedhe.
Gunungan yang diletakkan di Masjid Gedhe itu kemudian yang diperebutkan oleh masyarakat.
Pembagian gunungan hasil bumi sebagai inti tradisi ini mengandung makna sedekah dari sultan Hamengku Buwono kepada rakyat. Penggambaran kepedulian sang Sultan pada kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Perekonomian yang adil dan sejahtera sebagai prioritas sultan dalam menjalankan kepemimpinan keraton tersirat dalam pembagian gunungan.
Baayun Maulud
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, perayaan maulid diperingati dengan serangkaian acara-acara, yang biasanya terdiri dari pembacaan sya’ir-sya’ir maulid, seperti: al-Barzanji, al-Diba’i, Asyaraf al-Anam, atau maulid al-Habsyi. Dilanjutkan dengan ceramah agama.
Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti: tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan perkantoran, rumah-rumah penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.
Grebek Maulud atau Grebek Mulud adalah prosesi arak-arakan gunungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju alun-alun utara dan berakhir di masjid Agung Kauman.
Acara ini ada yang mengaitkannya dengan Sekaten yang berasal dari kata syahadatain yaitu dua kalimat syahadat. Festival Sekaten dimeriahkan dengan pasar malam selama 40 hari.
Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang diartikan sebagai suasana ribut dan riuh saat peristiwa Grebeg Maulud berlangsung. Suasana ramai saat memperebutkan gunungan seakan tergambarkan dalam kata grebeg. Namun selain itu, kata grebeg juga berarti Miyos atau keluarnya sultan untuk memberikan hasil bumi kepada rakyatnya.
Grebeg Maulud mendapatkan pengaruh dari Islam Kejawen, yang merupakan perpaduan antara agama Islam dan budaya Jawa yang berkesinambungan satu sama lain.
Dalam buku "Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu" karya Rr. M.I. Retno Susilorini disebutkan Grebeg Mulud merupakan kebudayaan yang berasal pada zaman kerajaan Demak. Bermula dari para Walisongo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Grebeg Maulud juga digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan tujuan yang sama seperti Walisongo, yakni menyebarkan agama Islam. Pada masa kerajaan Demak, Walisongo menyisipkan ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa agar masyarakat setempat dapat menerimanya. Hal inilah yang disebut sebagai Islam Kejawen.
Islam kejawen sendiri mengukir keunikan budaya masyarakat Yogyakarta dari masa lalu hingga masa kini. Salah satu bentuk keunikan tersebut adalah Grebeg Maulud. Tradisi ini merupakan bagian dari festival Sekaten, tepatnya sebagai puncak acara.
Sebagai puncak acara upacara Sekaten, Grebeg Maulud diramaikan oleh antusiasme masyarakat. Gunungan hasil bumi yang diberikan oleh sultan diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya dapat memberikan keberkahan, kemakmuran, dan ketenangan.
Kepercayaan ini menggambarkan betapa kentalnya pengaruh Islam Kejawen dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Dalam Sekaten, rangkaian hingga mencapai Grebeg Maulud dimulai dengan Miyos Gangsa. Kemudian dilanjutkan dengan Numplak Wajik. Dalam prosesi ini, semua pusaka dikeluarkan dan dipersiapkan untuk Grebeg Maulud. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Bethak dan Pesowanan Garebeg.
Dalam Pesowanan Garebeg nasi, yang dimasak saat prosesi Bethak dibuat bulatan-bulatan kecil. Selanjutnya, nasi tersebut diletakkan dalam pusaka Kanjeng Kyai Blawong yang berwujud piring besar. Kemudian dilanjutkan dengan gunungan yang berjumlah tujuh buah diarak sebelum akhirnya dibagikan kepada masyarakat.
Grebeg Maulud diawali dengan parade para prajurit keraton yang berpakaian seragam dengan senjatanya. Rombongan prajurit penunggang kuda kemudian menyusul keluar diakhiri dengan gunungan yang diarak. Gunungan hasil bumi ini kemudian didoakan terlebih dahulu di Masjid Gedhe.
Gunungan yang diletakkan di Masjid Gedhe itu kemudian yang diperebutkan oleh masyarakat.
Pembagian gunungan hasil bumi sebagai inti tradisi ini mengandung makna sedekah dari sultan Hamengku Buwono kepada rakyat. Penggambaran kepedulian sang Sultan pada kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Perekonomian yang adil dan sejahtera sebagai prioritas sultan dalam menjalankan kepemimpinan keraton tersirat dalam pembagian gunungan.
Baayun Maulud
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, perayaan maulid diperingati dengan serangkaian acara-acara, yang biasanya terdiri dari pembacaan sya’ir-sya’ir maulid, seperti: al-Barzanji, al-Diba’i, Asyaraf al-Anam, atau maulid al-Habsyi. Dilanjutkan dengan ceramah agama.
Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti: tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan perkantoran, rumah-rumah penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.