Perayaan Maulid Nabi: Di Yogjakarta Ada Grebeg, di Banjarmasin Baayun

Kamis, 06 Oktober 2022 - 16:06 WIB
loading...
Perayaan Maulid Nabi: Di Yogjakarta Ada Grebeg, di Banjarmasin Baayun
Grebeg Maulud digelar Keraton Yogyakarja tiap bulan Rabiul Awal. Foto/Ilustrasi: Antara
A A A
Tradisi Maulid Nabi di berbagai daerah di Indonesia memiliki ciri yang berbeda-beda. Maulid Nabi di Yogyakarta diperingati dengan tradisi Grebek Maulud. Sedangkan di Banjarmasin ada tradisi Baayun Mulud. Apa itu?

Grebek Maulud atau Grebek Mulud adalah prosesi arak-arakan gunungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat menuju alun-alun utara dan berakhir di masjid Agung Kauman.



Acara ini ada yang mengaitkannya dengan Sekaten yang berasal dari kata syahadatain yaitu dua kalimat syahadat. Festival Sekaten dimeriahkan dengan pasar malam selama 40 hari.

Grebeg berasal dari kata gumrebeg yang diartikan sebagai suasana ribut dan riuh saat peristiwa Grebeg Maulud berlangsung. Suasana ramai saat memperebutkan gunungan seakan tergambarkan dalam kata grebeg. Namun selain itu, kata grebeg juga berarti Miyos atau keluarnya sultan untuk memberikan hasil bumi kepada rakyatnya.

Grebeg Maulud mendapatkan pengaruh dari Islam Kejawen, yang merupakan perpaduan antara agama Islam dan budaya Jawa yang berkesinambungan satu sama lain.

Dalam buku "Kearifan Lokal Jawa Tengah: Tak Lekang Oleh Waktu" karya Rr. M.I. Retno Susilorini disebutkan Grebeg Mulud merupakan kebudayaan yang berasal pada zaman kerajaan Demak. Bermula dari para Walisongo yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.

Grebeg Maulud juga digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I dengan tujuan yang sama seperti Walisongo, yakni menyebarkan agama Islam. Pada masa kerajaan Demak, Walisongo menyisipkan ajaran Islam dalam kebudayaan Jawa agar masyarakat setempat dapat menerimanya. Hal inilah yang disebut sebagai Islam Kejawen.

Islam kejawen sendiri mengukir keunikan budaya masyarakat Yogyakarta dari masa lalu hingga masa kini. Salah satu bentuk keunikan tersebut adalah Grebeg Maulud. Tradisi ini merupakan bagian dari festival Sekaten, tepatnya sebagai puncak acara.

Sebagai puncak acara upacara Sekaten, Grebeg Maulud diramaikan oleh antusiasme masyarakat. Gunungan hasil bumi yang diberikan oleh sultan diperebutkan oleh masyarakat karena dipercaya dapat memberikan keberkahan, kemakmuran, dan ketenangan.

Kepercayaan ini menggambarkan betapa kentalnya pengaruh Islam Kejawen dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.



Dalam Sekaten, rangkaian hingga mencapai Grebeg Maulud dimulai dengan Miyos Gangsa. Kemudian dilanjutkan dengan Numplak Wajik. Dalam prosesi ini, semua pusaka dikeluarkan dan dipersiapkan untuk Grebeg Maulud. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi Bethak dan Pesowanan Garebeg.

Dalam Pesowanan Garebeg nasi, yang dimasak saat prosesi Bethak dibuat bulatan-bulatan kecil. Selanjutnya, nasi tersebut diletakkan dalam pusaka Kanjeng Kyai Blawong yang berwujud piring besar. Kemudian dilanjutkan dengan gunungan yang berjumlah tujuh buah diarak sebelum akhirnya dibagikan kepada masyarakat.

Grebeg Maulud diawali dengan parade para prajurit keraton yang berpakaian seragam dengan senjatanya. Rombongan prajurit penunggang kuda kemudian menyusul keluar diakhiri dengan gunungan yang diarak. Gunungan hasil bumi ini kemudian didoakan terlebih dahulu di Masjid Gedhe.

Gunungan yang diletakkan di Masjid Gedhe itu kemudian yang diperebutkan oleh masyarakat.

Pembagian gunungan hasil bumi sebagai inti tradisi ini mengandung makna sedekah dari sultan Hamengku Buwono kepada rakyat. Penggambaran kepedulian sang Sultan pada kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Perekonomian yang adil dan sejahtera sebagai prioritas sultan dalam menjalankan kepemimpinan keraton tersirat dalam pembagian gunungan.



Baayun Maulud
Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, perayaan maulid diperingati dengan serangkaian acara-acara, yang biasanya terdiri dari pembacaan sya’ir-sya’ir maulid, seperti: al-Barzanji, al-Diba’i, Asyaraf al-Anam, atau maulid al-Habsyi. Dilanjutkan dengan ceramah agama.

Peringatan maulid ini dilakukan di berbagai tempat, seperti: tempat-tempat ibadah; mesjid dan langgar (mushalla), sekolah-sekolah dan perkantoran, rumah-rumah penduduk, tempat-tempat keramat dan lain sebagainya.

Masyarakat rela bergotong-royong untuk mempersiapkan segala sesuatu demi suksesnya perayaan ini. Biaya penyelenggaraannya pun mereka tanggung bersama-sama.

Sementara itu, sebagian masyarakat Banjar, khususnya keturunan kerajaan, ada pula yang memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW ini dengan menggelar suatu tradisi unik yang mereka sebut dengan istilah maayun anak.

Karena tradisi maayun anak ini digelar seiring dengan peringatan hari kelahiran Nabi yaitu pada bulan Maulid, maka upacara ini dalam bahasa Banjar dinamakan dengan istilah Baayun Mulud.

Pada perkembangan beberapa tahun terakhir ini, upacara Baayun Mulud semakin banyak diminati masyarakat, terbukti dengan semakin bertambahnya peserta yang hadir meramaikan, dan yang ikut maayun anak tidak lagi terbatas untuk keturunan kerajaan saja, tetapi juga orang yang bukan keturunan kerajaan.

Hal yang lebih unik lagi, terkait dengan peserta yang diayun, bukan lagi hanya anak-anak tetapi juga orang dewasa, bahkan yang sudah tua. Mereka masing-masing mengikuti kegiatan ini dengan beragam kepercayaan dan motivasi tersendiri.

Asal mula munculnya tradisi Baayun Mulud ini diduga kuat pada awalnya berkaitan erat dengan tradisi lainnya dalam masyarakat Banjar, yaitu tradisi Bapalas Bidan.



Tradisi Bapalas Bidan sendiri adalah sebuah upacara pemberkatan yang dilakukan oleh seorang bidan kampung/tradisional kepada sang jabang bayi dan ibunya. Mereka yang melaksanakan tradisi ini berpandangan bahwa jika sebuah keluarga yang baru saja menerima kehadiran seorang bayi tidak melaksanakan upacara bapalas bidan, maka seakan-akan bayi yang baru lahir tersebut dianggap sebagai anak dari bidan yang menolong prosesi persalinannya.

Begitu kuatnya sebagian masyarakat Banjar mempercayai anggapan ini, sampai-sampai mereka tetap mengadakan acara bapalas bidan, meskipun yang membantu prosesi melahirkannya bukan lagi bidan tradisional atau bidan kampung, melainkan bidan yang berpendidikan modern atau dokter di rumah sakit.

Mereka juga percaya, bahwa jika acara bapalas bidan ini tidak dilakukan, maka konon bayinya akan sering sakit-sakitan karena diganggu makhluk gaib.

Dalam pelaksanaan upacara Bapalas Bidan, disediakan ayunan (buaian) yang terdiri tiga lapis kain panjang, lapis yang paling atas biasanya berwarna kuning.

Juga disediakan berbagai kue-kue dan piduduk (sesajian), baik piduduk kering maupun piduduk basah, dan berbagai perlengkapan lainnya.



Pada prosesinya, bayi yang baru dilahirkan pertama-tama diayun atau dibuai oleh sang bidan, kemudian diserahkan kepada ibunya atau keluarganya. Selanjutnya, dibacakan do’a keselamatan dan keberkahan untuk sang bayi, juga ibu dan keluarga besarnya. Terakhir, kue-kue dan sesajian lainnya dinikmati bersama-sama.

Tampaknya, acara Bapalas Bidan ini pada awalnya, lebih dimaksudkan sebagai ucapan terima kasih dari pihak keluarga yang baru saja menerima kelahiran seorang bayi kepada sang bidan yang telah membantu prosesi kelahirannya.

Jika bidan zaman sekarang pada umumnya mendapat imbalan upah berupa bayaran sejumlah uang, maka dalam tradisi masyarakat Banjar tempo dulu, tampaknya seserahan dan piduduk (sesajian) yang disediakan pihak keluarga dalam upacara bapalas bidan inilah yang menjadi tanda terima kasih pihak keluarga terhadap bidan yang telah membantu prosesi persalinan.

Pada perkembangan berikutnya, acara Bapalas Bidan dilakukan bersamaan waktunya dengan acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada bulan maulid atau Rabi’ul Awwal. Dari sinilah kemudian muncul istilah Baayun Mulud.

Dalam buku "Seni dan Budaya Dalam Pengobatan Tradisional Banjar" karya Ahmad Fadillah disebutkan seiring dengan perkembangan zaman, sejumlah peralatan dan sesajian pada acara bapalas bidan tetap dipertahankan dalam pelaksanaan upacara Baayun Mulud hingga sekarang.

Meskipun tradisi Baayun Mulud ini sempat dilupakan oleh sebagian masyarakat di lingkungan kota Banjarmasin, tetapi sekitar tujuh tahun terakhir ini kembali dihidupkan lagi terutama di lingkungan keluarga kerajaan Banjar.

Tradisi ini, memang lebih banyak dilakukan oleh masyarakat Banjar, khususnya di lingkungan masyarakat Banjar Kuala, yaitu orang Banjar yang tinggal di wilayah Banjarmasin, Marabahan, Martapura, hingga Rantau.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1889 seconds (0.1#10.140)