Pesan Ustaz Budi Ashari: Pentingnya Belajar Iman Sebelum Al-Qur'an!
loading...
A
A
A
Mengapa belajar iman lebih penting sebelum belajar Al-Qur'an ? Tema ini sangat menarik untuk dibahas, apalagi zaman sekarang anak-anak kecil selalu didorong untuk menghafal Qur'an.
Menghafal Al-Qur'an di usia dini tentu hal yang baik, namun paling penting adalah bagaimana anak dapat memahami apa yang dia hafal. Dengan memahami makna kandungannya, maka seorang anak mudah mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengerti hakikat keimanan.
Berikut penjelasan Ustaz Budi Ashari, Dai yang juga pakar sejarah Islam satu acara pengajian umum Ahad pagi Al-Amin Pare, yang disiarkan kanal YouTube "Eraummat TV" 24 Februari 2021:
Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan kritik terkait cara pengajaran akidah. Kata beliau, kesalahan mengajarkan akidah yaitu diajarkan menggunakan filsafat. Celakanya hari ini akidah disebut "Filsafat Islam". Ini sudah dikritik oleh Imam Al-Ghazali.
Lihatlah konsep filsafat, semua menurut logika, dia merumuskan sesuatu yang ujung-ujungnya berputar-putar di kepala. Kita sering ditanya tentang Tuhan itu apa, jawabnya ini dan itu. "Kalau manusia sudah masuk surga dan neraka apakah Dia layak disebut Al-Khaliq". Begitulah cara dosen orientalis merusak pemahaman akidah umat Islam.
Inilah yang dikritik Imam Al-Ghazali. Jika semua masih ada di kepala atau otak, itu belum layak disebut iman. Artinya, ketika sesuatu masih berada dalam pikiran seseorang itu masih sebatas wawasan ilmu.
Iman yang diajarkan Rasulullah SAW itu bukan sekadar teori yang disampaikan. Tetapi, bagaimana pemahaman yang ada di kepala turun ke dalam hati.
Imam Hasan Al-Bashri mendefenisikan iman: "Apa yang tertancap di hati dan dibuktikan dengan amal." Jadi tidak ada pembahasan akal di situ.
Dulu sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu suatu malam pada bulan purnama sedang asik menikmati keindahan langit. Kemudian Nabi memegang pundak Jabir sembari bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
Artinya: "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (pada hari Kiamat), sebagaimana kalian melihat bulan Purnama ini. Kalian tidak berdesak-desakan ketika melihat-Nya." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW mengajarkan Akidah kepada sahabat dengan mengaitkan bulan purnama tersebut. Contoh lain pentingnya menanamkan keimanan adalah peristiwa saat pandemi.
Banyak orang meninggal bukan karena Covid, tetapi karena ketakutan. Banyak orang awalnya OTG (orang tanpa gejala), ketika dites positif Covid. Semalaman tak bisa tidur karena stres dan panik, besoknya dia sakit dan Qadarullah meninggal dunia.
Makanya para ahli sering bilang, virus itu cepat tumbuh karena orang-orang panik dan stres. Padahal orang beriman punya tawakkal kepada Allah. Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan tidak mengabaikan protokol kesehatan.
Andaikan seseorang punya keimanan yang mantap tentu virus ini tidak bakal ditakuti. Artinya, orang beriman itu tidak memiliki perasaan takut, tidak ada sedih.
Seorang muslim harus menanamkan keimanan dengan cara memahami akidah sampai ke hati. Ada satu kisah orang Arab Badui ketika mendengar ayat Al-Qur'an Surat At-Takatsur.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)
Terjemahannya: "Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur." (QS At-Takatsur Ayat 1-2)
Mendengar ayat ini, Si Arab Badui seketika mengatakan, "kita akan dibangkitkan kembali". Darimana Arab Badui yang tinggal di padang pasir dapat memahami makna sedalam itu. Kalau kita hanya memahami ayat itu lewat terjemahan "masuk ke dalam kubur saja".
Tapi Arab Badui itu memahami ayat di atas begitu dalam: "Kita akan dihidupkan kembali." Inilah pentingnya memahami Bahasa Arab. Darimana Arab Badui itu memahami makna ayat itu? Ternyata dia menyimpulkan kata ُرْتُمُ (zurtum) yang berasal dari kata Ziarah yang artinya berkunjung sesaat.
Itulah pentingnya menanamkan keimanan dengan cara memahami isi Al-Qur'an, bukan hanya fokus memperbanyak hafalan namun tidak memahami isinya.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan pentingnya belajar iman sebelum Al-Qur'an dalam hadis berikut:
عن جُنْدُبِ بن عبد الله قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ونحن فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن ثم تعلمنا القرآن فازددنا به إيماناً
Artinya: "Dari Jundub bin Abdillah beliau berkata: "Dahulu kami ketika remaja bersama Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam, kami belajar iman sebelum Al-Qur'an kemudian setelah kami belajar Al-Qur'an bertambahlah keimanan kami. Sedangkan kalian sungguh pada hari ini justru belajar Al-Qur'an dulu sebelum belajar iman." (HR Ibnu Majah, At-Thabrani dalam Kitab Al-Mu'jam Al-Kabir)
Wallahu A'lam
Simak Tausiyah Ustaz Budi Ashari dalam pengajian umum Ahad pagi Al-Amin Pare, yang disiarkan kanal YouTube "Eraummat TV" 24 Februari 2021:
Menghafal Al-Qur'an di usia dini tentu hal yang baik, namun paling penting adalah bagaimana anak dapat memahami apa yang dia hafal. Dengan memahami makna kandungannya, maka seorang anak mudah mengamalkan isi Al-Qur'an dan mengerti hakikat keimanan.
Berikut penjelasan Ustaz Budi Ashari, Dai yang juga pakar sejarah Islam satu acara pengajian umum Ahad pagi Al-Amin Pare, yang disiarkan kanal YouTube "Eraummat TV" 24 Februari 2021:
Imam Al-Ghazali pernah menyampaikan kritik terkait cara pengajaran akidah. Kata beliau, kesalahan mengajarkan akidah yaitu diajarkan menggunakan filsafat. Celakanya hari ini akidah disebut "Filsafat Islam". Ini sudah dikritik oleh Imam Al-Ghazali.
Lihatlah konsep filsafat, semua menurut logika, dia merumuskan sesuatu yang ujung-ujungnya berputar-putar di kepala. Kita sering ditanya tentang Tuhan itu apa, jawabnya ini dan itu. "Kalau manusia sudah masuk surga dan neraka apakah Dia layak disebut Al-Khaliq". Begitulah cara dosen orientalis merusak pemahaman akidah umat Islam.
Inilah yang dikritik Imam Al-Ghazali. Jika semua masih ada di kepala atau otak, itu belum layak disebut iman. Artinya, ketika sesuatu masih berada dalam pikiran seseorang itu masih sebatas wawasan ilmu.
Iman yang diajarkan Rasulullah SAW itu bukan sekadar teori yang disampaikan. Tetapi, bagaimana pemahaman yang ada di kepala turun ke dalam hati.
Imam Hasan Al-Bashri mendefenisikan iman: "Apa yang tertancap di hati dan dibuktikan dengan amal." Jadi tidak ada pembahasan akal di situ.
Dulu sahabat Nabi, Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu suatu malam pada bulan purnama sedang asik menikmati keindahan langit. Kemudian Nabi memegang pundak Jabir sembari bersabda:
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ
Artinya: "Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (pada hari Kiamat), sebagaimana kalian melihat bulan Purnama ini. Kalian tidak berdesak-desakan ketika melihat-Nya." (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW mengajarkan Akidah kepada sahabat dengan mengaitkan bulan purnama tersebut. Contoh lain pentingnya menanamkan keimanan adalah peristiwa saat pandemi.
Banyak orang meninggal bukan karena Covid, tetapi karena ketakutan. Banyak orang awalnya OTG (orang tanpa gejala), ketika dites positif Covid. Semalaman tak bisa tidur karena stres dan panik, besoknya dia sakit dan Qadarullah meninggal dunia.
Makanya para ahli sering bilang, virus itu cepat tumbuh karena orang-orang panik dan stres. Padahal orang beriman punya tawakkal kepada Allah. Islam sangat menghormati ilmu pengetahuan dan tidak mengabaikan protokol kesehatan.
Andaikan seseorang punya keimanan yang mantap tentu virus ini tidak bakal ditakuti. Artinya, orang beriman itu tidak memiliki perasaan takut, tidak ada sedih.
Seorang muslim harus menanamkan keimanan dengan cara memahami akidah sampai ke hati. Ada satu kisah orang Arab Badui ketika mendengar ayat Al-Qur'an Surat At-Takatsur.
أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)
Terjemahannya: "Bermegah-megahan telah melalaikan kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur." (QS At-Takatsur Ayat 1-2)
Mendengar ayat ini, Si Arab Badui seketika mengatakan, "kita akan dibangkitkan kembali". Darimana Arab Badui yang tinggal di padang pasir dapat memahami makna sedalam itu. Kalau kita hanya memahami ayat itu lewat terjemahan "masuk ke dalam kubur saja".
Tapi Arab Badui itu memahami ayat di atas begitu dalam: "Kita akan dihidupkan kembali." Inilah pentingnya memahami Bahasa Arab. Darimana Arab Badui itu memahami makna ayat itu? Ternyata dia menyimpulkan kata ُرْتُمُ (zurtum) yang berasal dari kata Ziarah yang artinya berkunjung sesaat.
Itulah pentingnya menanamkan keimanan dengan cara memahami isi Al-Qur'an, bukan hanya fokus memperbanyak hafalan namun tidak memahami isinya.
Rasulullah SAW pernah mengingatkan pentingnya belajar iman sebelum Al-Qur'an dalam hadis berikut:
عن جُنْدُبِ بن عبد الله قال: كنا مع النبي صلى الله عليه وسلم ونحن فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن ثم تعلمنا القرآن فازددنا به إيماناً
Artinya: "Dari Jundub bin Abdillah beliau berkata: "Dahulu kami ketika remaja bersama Rasulullah shollallohu 'alaihi wasallam, kami belajar iman sebelum Al-Qur'an kemudian setelah kami belajar Al-Qur'an bertambahlah keimanan kami. Sedangkan kalian sungguh pada hari ini justru belajar Al-Qur'an dulu sebelum belajar iman." (HR Ibnu Majah, At-Thabrani dalam Kitab Al-Mu'jam Al-Kabir)
Wallahu A'lam
Simak Tausiyah Ustaz Budi Ashari dalam pengajian umum Ahad pagi Al-Amin Pare, yang disiarkan kanal YouTube "Eraummat TV" 24 Februari 2021:
(rhs)