Kisah Lompatan Iman Ferdinand Lewis Alcindor Menjadi Kareem Abdul Jabbar

Minggu, 06 November 2022 - 10:21 WIB
loading...
A A A
Anak-Anak dan Ayah
Sesuatu yang menyenangkan terjadi pada saya. Putra saya Amir ibunya bukan Muslim, dia menganut agama Buddha. Saya tidak bisa membayangkan akan jadi apa anak itu. Yang dapat saya lakukan hanyalah mengajarkan kepadanya apa yang dapat saya ajarkan. Mereka mengadakan diskusi di kelas tentang agama monoteistik. Mereka berbicara sesuatu tentang Islam. Amir membetulkan teks itu. Dia menjelaskan rukun Islam.

Dia berumur dua belas tahun. Mereka memintanya untuk membuat suatu laporan. Mereka berkata bahwa Islam adalah agama monoteistik yang terbaru. Amir menjelaskan bahwa Al-Quran adalah Kitab Suci yang terbaru, tetapi Islam adalah agama yang paling tua, dimulai dengan Adam. Begitu dituliskannya. Dia menceritakannya pada saya. Saya sangat terkejut mengetahui dia memasukkan segala yang saya ajarkan ke dalam hati.



Saya dahulu dicuci otak untuk menjadi seorang Katolik. Ayah saya seorang Katolik tetapi dia tidak mendalaminya. Anda tahu bagaimana yang diajarkan di sekolah Katolik. Saya tidak betah dengan ajaran itu. Saya tidak bisa membuat anak-anak saya menjadi Muslim. Jadi saya begitu bahagia melihat mereka meresapi apa yang saya ajarkan.

Ketika saya pertama dikontrak Lakers, saya mengenal beberapa pemuda Detroit. Mereka murid sekolah menengah atas, penggemar basket. Mereka datang untuk melihat kami bermain. Salah satu dari mereka berbicara mengenai Islam pada saya setelah itu. Dia seorang Muslim. Tak satu pun dari temannya Muslim. Saya memberi mereka beberapa tiket.

Dua belas tahun berlalu. Kami bermain untuk Piston untuk kejuaraan dunia 1988. Rekan-rekan itu menelepon saya. Lima di antara pemuda itu telah menjadi Muslim. Dua di antaranya segera mengikuti. Beserta anak-anak mereka.

Saya merasa seperti seorang paman, seolah-olah mereka adalah adik saya. Dan mereka sudah punya anak sekarang. Mereka baik-baik saja. Mereka masih menjalankan ajaran Islam dan itu mengubah hidup mereka menjadi lebih baik.

Ada seorang rekan berbangsa Kurdi di Dallas. Dia akan membawa keluarganya untuk mengunjungi saya. Pada suatu hari di bulan Ramadhan mereka datang. Saya berkata, "Saya merasa sangat dihormat. Terimakasih."

Mereka berkata, "Tidak, kami yang berterimakasih, Kami mendapat banyak rahmat untuk ini."

Saya berkata, "Apa maksud Anda?"

Dia berkata, "Ayah saya berkata pada saya bahwa jika saya datang ke Amerika, saya akan melihat orang yang benar-benar Muslim."

Saya berkata, "Apa yang Anda bicarakan? Kami baru saja berjuang untuk membuka mata kami di sini."

Dia berkata, "Tidak. Di negara kami, kami mempunyai banyak pengetahuan, tetapi semangat yang di sini [menepuk dadanya], tidak ada. Ketika saya sampai di sini, saya melihat orang-orang berpegang pada Islam tanpa berbekal pengetahuan apa pun, hanya dengan iman dan ketetapan hati untuk memperbaiki diri."

Saya berusaha untuk melakukan apa yang dapat saya lakukan. Karena saya tidak dapat berpuasa di bulan Ramadhan, saya selalu memberi makan sebuah keluarga. Saya memberi sedekah. Saya memberi uang kepada rekan sesama Muslim dan mengatakan kepadanya untuk apa uang itu. Mereka memberi makan orang-orang.

Saya tahu banyak orang yang memerlukan uang untuk makan, jadi saya memberi mereka bahan makanan untuk sebulan. Saya harus melakukan itu; saya memiliki pendapatan yang lebih banyak, maka saya mempunyai kewajiban untuk itu. Pendapatan saya tidak membebaskan saya dari kewajiban.

(mhy)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2469 seconds (0.1#10.140)