Ini Penyebab Hajjaj bin Yusuf Bertindak Zalim Saat Berkuasa
loading...
A
A
A
Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi (wafat 95 H atau 714 M) adalah salah satu figur penguasa kontroversial yang bengis dan zalim. Meski berjasa dalam pembagian Al-Qur'an menjadi 30 juz, kejahatannya menghilangkan nyawa kaum muslim di masa Dinasti Umayyah tak pernah dilupakan oleh sejarah.
Muncul pertanyaaan, apa yang membuat Hajjaj bin Yusuf begitu zalim saat berkuasa? Berikut penjelasan Pengasuh Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur, Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq dalam satu kajiannya.
Dalam sejarah Islam, Hajjaj bin Yusuf sangat tenar sebagai tukang jagal manusia. Ia tak pernah segan menghabisi siapapun yang ia anggap sebagai lawan politiknya. Sampai Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan tentangnya: "Seandainya setiap umat menunjuk orang yang terjahat di tengah-tengah mereka, maka kita cukup menunjuk orang ini untuk mewakili semua kejahatan kita."
Hajjaj sebenarnya adalah seorang Qurra' dan ulama ahli fiqih. Bahkan tidak sekadar hanya ahli Qur'an, dia termasuk yang terbaik di zamannya. Namun sayangnya, semua keilmuannya yang mumpuni tidak berarti apapun saat satu penyakit menghinggapinya, yakni fanatisme.
"Ya, begitu diangkat menjadi pejabat Dinasti Umayyah, sikapnya pun berubah. Atas nama loyalitas dan pengabdian, ia tak segan-segan melakukan manuver politik yang berlumuran darah," jelas Ustaz Ahmad.
Siapapun yang tidak sejalan dengan konsep pemahamannya tentang cinta dan loyalitas kepada negara, akan langsung distempel olehnya sebagai khawarij dan pemberontak yang halal darahnya. Lalu berlanjutlah dengan pembantaian demi pembantaian.
Korbannya bukan hanya dari rakyat biasa, tapi juga dari kalangan para ulama. Begitulah, sejarah kelam ditorehkan oleh Hajjaj bin Yusuf, satu dari sekian banyak contoh orang-orang berilmu tapi dibutakan oleh fanatisme kelompok dan loyalitas yang kebablasan.
Ustaz Ahmad Syahrin menyampaikan sebuah renungan, jika yang alim saja seperti Hajjaj bisa bertindak demikian, bagaimana dengan orang awam dan bukan ahli apa-apa diberi jabatan. Apalagi kalau disuntik paham fanatik kelompok. Ini tentu sangat berbahaya.
"Pantas saja kemudian jika hari ini kita melihat adanya fenomena anggota ormas, partai atau kelompok yang mengaku berasaskan Islam, ketika telah bisa duduk di lingkaran kekuasaan, justru bukan Islam yang mereka perjuangkan, tapi hanya membesarkan kelompoknya saja," terang dai yang juga pembina media Konsultasi Islam itu.
Bahkan, tak peduli jika harus dengan cara mengkerdilkan saudaranya sendiri atau memusuhi ulama dan kaum muslimin. Fanatisme ini sering dipertontonkan oleh kelompok tertentu yang mengklaim bahwa merekalah yang Ahlus Sunnah. Selain dari mereka diklaim sesat dan ahli bid'ah. Mereka menjadi bengis dan mudah memvonis.
Jika dahulu orang seperti Hajjaj fanatiknya kepada kekuasaan yang masih menjalankan hukum syariah, hari ini banyak orang yang fanatik kepada partai dan golongan yang bahkan jelas-jelas menjadikan aturan agama sebagai musuhnya.
"Dahulu taqlid dan fanatik itu dialamatkan kepada ulama yang memang berilmu, sedangkan hari ini taqlidnya kepada tokoh yang punya pengaruh. Tak penting ilmunya, yang terpenting banyak pengikutnya. Dahulu fanatik itu hanya kepada mazhab dan sanad keilmuan, sekarang fanatiknya kepada kelompok dan organisasinya. Tak penting yang dibela itu ijtihad atau sekedar manuver politik," demikian penjelasan Ustaz Ahmad Syahrin.
Mudah-mudahan kisah kelam Hajjaj bin Yusuf ini menjadi pelajaran berharga bagi kita.
Wallahu A'lam
Muncul pertanyaaan, apa yang membuat Hajjaj bin Yusuf begitu zalim saat berkuasa? Berikut penjelasan Pengasuh Ma'had Subulana Bontang Kalimantan Timur, Ustaz Ahmad Syahrin Thoriq dalam satu kajiannya.
Dalam sejarah Islam, Hajjaj bin Yusuf sangat tenar sebagai tukang jagal manusia. Ia tak pernah segan menghabisi siapapun yang ia anggap sebagai lawan politiknya. Sampai Umar bin Abdul Aziz rahimahullah mengatakan tentangnya: "Seandainya setiap umat menunjuk orang yang terjahat di tengah-tengah mereka, maka kita cukup menunjuk orang ini untuk mewakili semua kejahatan kita."
Hajjaj sebenarnya adalah seorang Qurra' dan ulama ahli fiqih. Bahkan tidak sekadar hanya ahli Qur'an, dia termasuk yang terbaik di zamannya. Namun sayangnya, semua keilmuannya yang mumpuni tidak berarti apapun saat satu penyakit menghinggapinya, yakni fanatisme.
"Ya, begitu diangkat menjadi pejabat Dinasti Umayyah, sikapnya pun berubah. Atas nama loyalitas dan pengabdian, ia tak segan-segan melakukan manuver politik yang berlumuran darah," jelas Ustaz Ahmad.
Siapapun yang tidak sejalan dengan konsep pemahamannya tentang cinta dan loyalitas kepada negara, akan langsung distempel olehnya sebagai khawarij dan pemberontak yang halal darahnya. Lalu berlanjutlah dengan pembantaian demi pembantaian.
Korbannya bukan hanya dari rakyat biasa, tapi juga dari kalangan para ulama. Begitulah, sejarah kelam ditorehkan oleh Hajjaj bin Yusuf, satu dari sekian banyak contoh orang-orang berilmu tapi dibutakan oleh fanatisme kelompok dan loyalitas yang kebablasan.
Ustaz Ahmad Syahrin menyampaikan sebuah renungan, jika yang alim saja seperti Hajjaj bisa bertindak demikian, bagaimana dengan orang awam dan bukan ahli apa-apa diberi jabatan. Apalagi kalau disuntik paham fanatik kelompok. Ini tentu sangat berbahaya.
"Pantas saja kemudian jika hari ini kita melihat adanya fenomena anggota ormas, partai atau kelompok yang mengaku berasaskan Islam, ketika telah bisa duduk di lingkaran kekuasaan, justru bukan Islam yang mereka perjuangkan, tapi hanya membesarkan kelompoknya saja," terang dai yang juga pembina media Konsultasi Islam itu.
Bahkan, tak peduli jika harus dengan cara mengkerdilkan saudaranya sendiri atau memusuhi ulama dan kaum muslimin. Fanatisme ini sering dipertontonkan oleh kelompok tertentu yang mengklaim bahwa merekalah yang Ahlus Sunnah. Selain dari mereka diklaim sesat dan ahli bid'ah. Mereka menjadi bengis dan mudah memvonis.
Jika dahulu orang seperti Hajjaj fanatiknya kepada kekuasaan yang masih menjalankan hukum syariah, hari ini banyak orang yang fanatik kepada partai dan golongan yang bahkan jelas-jelas menjadikan aturan agama sebagai musuhnya.
"Dahulu taqlid dan fanatik itu dialamatkan kepada ulama yang memang berilmu, sedangkan hari ini taqlidnya kepada tokoh yang punya pengaruh. Tak penting ilmunya, yang terpenting banyak pengikutnya. Dahulu fanatik itu hanya kepada mazhab dan sanad keilmuan, sekarang fanatiknya kepada kelompok dan organisasinya. Tak penting yang dibela itu ijtihad atau sekedar manuver politik," demikian penjelasan Ustaz Ahmad Syahrin.
Mudah-mudahan kisah kelam Hajjaj bin Yusuf ini menjadi pelajaran berharga bagi kita.
Wallahu A'lam
(rhs)