3 Pendapat tentang Lafaz Sayyidina, Kamu Tinggal Pilih 1 di Antaranya

Jum'at, 11 November 2022 - 15:18 WIB
loading...
A A A
2. Boleh di Luar Sholat, Tapi Tidak di Dalam Sholat
Jumhur ulama berpendapat bahwa menambahkan lafadz Sayyidina adalah mustahab (disukai) sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan kepada beliau. Berdasarkan dalil berikut ini:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ

Artinya: "Saya penghulu anak adam pada hari kiamat dan bukan karena sombong." (HR Muslim dan Tirimidzi)

Kalangan ini membantah pendalilan kelompok yang menolak penggunaan kata Sayyidina dalam sholawat dengan menyatakan bahwa hadits riwayat imam Ahmad di atas bukanlah larangan menyebut Nabi Muhammad SAW dengan Sayyid, tapi keengganan beliau untuk dipuji berlebihan, sebagai bentuk sifat ketawadhuan beliau.

Sedangkan bila dalam sholat, kelompok pendapat ini berpendapat lafadz Sayyidina tidak digunakan, karena sholat adalah ibadah mahdhah yang bersifat tawqifi (aturan dan tatacaranya harus mengikuti praktek Rasulullah). Manusia tidak diperkenankan untuk menambah bentuk bacaan dan aktivitas apapun yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Hal ini berdasarkan makna hadits berikut:

صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى أُصَلِّى

"Sholatlah kalian sebagaimana kamu sekalian melihat aku sholat." (HR Al-Bukhari)

Pendapat kedua ini yang lazim dipegang dan dinisbahkan kepada mayoritas ulama empat Mazhab.

3. Membolehkan di Luar Maupun di Dalam Sholat
Sebagian ulama mutaakhirin dari Mazhab Syafi'iyyah di antaranya Imam Izz abdussalam, Ramli, Syarqawi, Qulyubi, dan sebagian ulama Hanafiyyah berpendapat, bahwa menambahkan kata Sayyidina adalah sebuah hal yang baik ketika membaca sholawat, baik di dalam maupun di luar sholat.

Kalangan ini berdalil bahwa penambahan Sayyidina adalah bentuk adab dan bukan penambahan yang dilarang dalam sholat. Berkata Ibnu Hajar Al-Haitami: "Dan tidak mengapa menambahkan kata Sayyidina sebelum lafadz Muhammad.

Sedangkan hadis yang berbunyi "La Tusyyiduni Fi ash-Shalat" adalah hadits dha'if, bahkan tidak memiliki dasar (hadits maudhu/palsu).

Kesimpulan
Para ulama dari awalnya telah berbeda pendapat mengenai masalah ini. Perbedaan ini buah dari kedalaman ilmu mereka, tidak perlu diragukan lagi. Kalau kemudian kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang memiliki pilihan yang berbeda dari kita.

Sebab, orang-orang hanya hanya mengikuti fatwa para ulama, selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, tidak sepantasnya kita melecehkan apalagi memvonis sebagai perbuatan bid'ah yang berujung ke neraka.

Maka penambahan lafadz Sayyidina dalam lafadz sholawat bukanlah perkara bid'ah. Tetapi masuk ranah khilafiyah, yang mana mayoritas ulama membolehkannya.

Wallahu A'lam

Referensi:
1. Dalam bahasa Arab Fi'il (kata kerja) terbagi dua yaitu: Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس (duduk) kata ini tidak butuh objek. Kemudian Fi'il Muta'addi adalah Fi'il yang butuh objek. Contoh, جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan.
2. Lisanul Arab (2/235), Misbahul Munir (1/294).
3. Al-Mausu'ah Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (11/346)
4. Rad al Mukhtar 'ala Dar al Mukhtar (11/385), Al Qulyubi (1/167), Hasyiah asy Syarqawi 'ala Tuhfatul Thulab (1/21), Nail Authar (2/236).
5. Minhaju Qawim Hal 160.

(rhs)
Halaman :
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1338 seconds (0.1#10.140)