Prof Sohail Humayun Hashmi Bicara tentang Muslim Amerika Sampai Konsep Jihad

Jum'at, 18 November 2022 - 13:55 WIB
loading...
Prof Sohail Humayun Hashmi Bicara tentang Muslim Amerika Sampai Konsep Jihad
Prof Sohail Humayun Hashmi. Foto/Ilustrasi: the new leam
A A A
Sohail Humayun Hashmi adalah seorang muslim yang tinggal di Amerika Serikat . Profesor Hubungan Internasional di Alumnae Foundation dan Profesor Politik di Mount Holyoke College ini banyak mengajar etika internasional komparatif, khususnya konsep perang dan perdamaian yang adil, dan pada studi agama dalam politik, khususnya Islam dalam politik domestik dan internasional.

Dia banyak berbicara mengenai kondisi umat Islam di AS dalam buku berjudul "American Jihad, Islam After Malcolm X" karya Steven Barbosa. "Muslim di Amerika Serikat belum mengukuhkan keberadaannya secara memadai. Mereka belum menyuarakan satu bahasa dan kepentingan yang lama, dan mereka bungkam agar tidak banyak menimbulkan persoalan," ujarnya.

Sohail telah menerbitkan berbagai topik dalam etika Islam dan teori politik, termasuk kedaulatan, intervensi kemanusiaan, toleransi, masyarakat sipil, dan teori jihad . Buku terbarunya adalah volume yang telah diedit berjudul Just Wars, Holy Wars, and Jihads: Christian, Jewish, and Muslim Encounters and Exchanges (Oxford University Press, 2012). Dia saat ini sedang mengerjakan sebuah buku yang menganalisis tanggapan Muslim terhadap kebangkitan hukum internasional .

Berikut penuturan Sohail Humayun Hashmi tentang banyak hal mengenai Islam dan orang Islam AS sebagaimana dinukil dalam buku yang diterjemahkan Sudirman Teba dan Fettiyah Basri menjadi "Jihad Gaya Amerika, Islam Setelah Malcolm X " (Mizan, 1995):



Kaum Muslimin di negeri ini terobsesi dengan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan negeri leluhurnya. Muslim dari India terpaku pada isu-isu yang sedang terjadi di Kashmir dan India.

Orang-orang yang berasal dari Pakistan lebih memikirkan kebijakan AS terhadap Pakistan. Muslim dari negeri-negeri Arab terpaku pada soal-soal Palestina.

Mereka benar-benar terpaku pada soal-soal semacam itu dan segan untuk memasukkan isu-isu lainnya dalam agenda pergerakan mereka. Begitu pula keberadaan orang-orang Bosnia sungguh amat kecil dampaknya di AS.

Belum ada upaya untuk mengembangkan kepentingan Muslim Amerika yang lebih mengarah pada peran mereka yang lebih luas. Mereka masih sibuk tidak saja dengan urusan politik tetapi juga dengan masalah sosial-sosialnya masalah membangun masjid.

Salah satu sahabat saya adalah seorang pemimpin masjid terkemuka di California Selatan. Ia menceritakan bahwa di AS ada banyak masjid yang disebutnya homesick mosque -masjid yang dibangun oleh para pendatang yang menginginkan sebuah tempat untuk berkumpul dan berbicara dengan bahasa ibu mereka, seraya meyakinkan bahwa anak-anak mereka berada dalam lingkungan yang aman dan masih terikat kuat dengan budaya leluhur mereka.

Sementara itu sejumlah masjid lainnya menghindar untuk menyusun rencana kegiatan apa pun, lantaran terlalu khawatir akan mengarah ke gerakan-gerakan politis, dan begitu inginnya memelihara kesatuan antar jamaahnya. Mereka memutuskan untuk mengubur setiap perbedaan yang muncul, dan hasilnya adalah sebuah tempat yang semata-mata digunakan sebagai tempat sholat.



Sebuah perubahan sedang muncul pada generasi saya. Kami tak begitu terdorong untuk mengidentifikasikan diri dengan budaya homesick mosque, dan lebih tertarik untuk meningkatkan peran politik pusat-pusat kegiatan Islam, dan melakukannya dalam konteks masyarakat Muslim Amerika --bukan sebagai pendatang Mesir, Pakistan, melainkan sebagai orang Amerika.

Jihad di Amerika
Jihad umat Islam di Amerika adalah menegakkan sebuah identitas sebagai Muslim yang tinggal dan hidup di AS, karena hingga kini belum ada sebuah masyarakat Muslim seperti itu.

Dalam setiap kesempatan khutbah, sering dibicarakan perlunya kebangkitan kembali umat Islam. Umat ini telah dibekali dengan nilai-nilai moral sesuai yang tertulis dalam Al-Quran, yang berlawanan dengan nilai-nilai moral yang berdasarkan kebangsaan, kesukuan, atau keturunan (etnik). Singkatnya di sisi Tuhan, suatu masyarakat akan dinilai berdasarkan standar dan praktik-praktik etikanya.

Muslim Amerika saat ini tidak bersedia untuk mengambil tindakan yang dapat mengeluarkan mereka dari fragmentasi khas ini. Saya kira ini merupakan masalah perbedaan kultural yang begitu lama, yang hanya dapat dipecahkan secara perlahan sejalan dengan berlalunya waktu.

Tetapi, menurut pengalaman saya, iklim di negeri ini lebih baik bagi kehidupan seorang Muslim ketimbang di tempat-tempat lain, bahkan dibandingkan dengan di negeri-negeri Muslim sendiri.



Identitas Anda sebagai seorang Amerika akan menggambarkan apa-apa yang Anda lakukan, dan di negeri ini Anda lebih memperoleh kebebasan ketimbang di tempat-tempat mana pun yang pernah saya saksikan.

Dalam banyak hal saya merasakan ada perbedaan dengan teman-teman sekelas yang berkebangsaan Amerika. Tetapi, anak-anak saya boleh jadi sudah merasakan bahwa mereka benar-benar seperti orang Amerika lainnya.

Sementara itu mereka juga akan menyadari bahwa ada nilai-nilai yang saya yakini dapat mereka anut. Tapi mereka harus tetap menyadari bahwa mereka tak mungin untuk secara total hidup seperti orang Amerika lainnya --malah ada aspek-aspek tertentu yang harus diubah agar sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut.

Tugas melakukan perubahan sebenarnya bisa dilakukan melalui kerja sama dengan umat agama-agama lain. Teman-teman saya yang beragama Kristen banyak yang menilai bahwa meskipun Amerika merupakan negeri Kristen, mereka melihat banyak nilai-nilai moral yang sudah menyimpang dari ajaran Kristen. Mereka juga menganggap dirinya sedang berada di medan jihad menegakkan kembali nilai-nilai moral dan ajaran itu.

Masyarakat Kristen, Yahudi, dan umat beragama lainnya dihadapkan pada pergumulan untuk meletakkan landasan dan identitas misi keagamaan mereka di negeri ini.

Mikrokosmos Muslim
Di Amerika, Islam memiliki peluang terbesar untuk benar-benar menunjukkan perannya di masa depan, karena umat Islam di negeri ini merupakan mikrokosmos Muslim dari seluruh dunia yang harus mencari jalan untuk hidup bersama.

Mereka harus mencari pengertian dan pemahaman yang lama tentang Islam di negeri ini, dan lebih dari itu mereka terbebas dari tekanan budaya dan politik yang sering kali begitu besar di negeri-negeri Muslim.



Muslim di Mesir berhadapan dengan tantangan semacam ini. Mereka hidup di tengah-tengah budaya yang lebih menghargai keberhasilan materi, menggunakan simbol-simbol materi sebagai status sebagaimana orang-orang Barat; mereka dibombardir oleh acara-acara televisi yang menonjolkan konsumsi materi.

Kalau Anda benar-benar miskin, ada dua kemungkinan ekstrem yang akan Anda lakukan. Pertama, bisa jadi Anda akan menjadi seorang materialis tulen; yang dengan segala cara akan berusaha mati-matian, menyogok, korupsi, bahkan rela menjual harga diri untuk memperoleh status materi.

Kemungkinan kedua, Anda dapat menjadi seorang yang benar-benar militan; yang menolak segala cara-cara yang lebih beradab untuk mencapai tujuan, dan akhirnya menempuh cara kekerasan.

Sayyid Quthb, salah seorang intelektual Muslim yang sangat berpengaruh, yang juga merupakan salah satu pemimpin Ikhwanul Muslimin pada 1960-an, pernah tinggal di New York selama kurang lebih dua tahun.

Di sana ia menyaksikan sebuah fenomena yang mengerikan. Lantas ia kembali ke Mesir dan memulai sebuah kampanye dengan menyebarkan berita bahwa invasi Barat ke negeri-negeri Muslim tidak lagi dilakukan dengan senjata dan pasukan militer. Yang mereka (Barat) lakukan kini adalah penjajahan moral dan kebudayaan; dan cara-cara semacam itu perlahan tapi pasti akan merusak negeri-negeri Muslim seperti yang dilakukan militer dengan persenjataannya.

Banyak pengikut Sayyid Quthb yang menyaksikan acara-acara TV yang ditayangkan, kasino, nite club --kesemuanya merupakan lambang dari penghancuran budaya dan masyarakat Muslim-- dan pada akhirnya mereka berkesimpulan bahwa hanya dengan cara kekerasan, infiltrasi Barat semacam itu dapat dihentikan.

(mhy)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1506 seconds (0.1#10.140)