Abu Yazid Berkisah: Dengan Tatapan yang Pasti Aku Memandang Allah
loading...
A
A
A
ABU Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami. Lahir di Bustham yang terletak di bagian timur Laut Persia. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau adalah salah seorang Sulton Aulia, yang merupakan salah satu Syaikh yang ada di silsilah dalam thoriqoh Sadziliyah, Thoriqoh Suhrowardiyah dan beberapa thoriqoh lain.
Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: "...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah."
Abu Yazid berkisah, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku.
Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya. Kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya. Kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.
Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri. Sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.
Aku bertanya, "Ya Allah, apakah ini?"
Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku". Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku.
Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku.
Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya.
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya, kututup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya.
Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah. Dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan. Dan dengan cahaya Allah aku menatap kepadaNya.
Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan".
"Ya, Allah,” jawabku. "Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepadaMu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau".
Allah berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukumKu dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu."
"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya".
"Dari siapakah engkau belajar?" tanya Allah.
"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya" jawabku. “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya".
Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasanNya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dialah aku hidup dan karena kelimpahanNya-lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
"Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki," kata Allah. "Engkaulah yang kuinginkan," jawabku. "Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau".
Akan tetapi beliau sendiri menyebutkan di dalam kitab karangan tokoh di negeri Irbil sbb: "...bahwa mulai Abu Bakar Shiddiq sampai ke aku adalah golongan Shiddiqiah."
Abu Yazid berkisah, "Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahasia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku.
Setelah menatap Allah akupun memandang diriku sendiri dan merenungi rahasia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya. Kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya. Kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang di dalam diriku segalanya kotor dan cemar.
Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup karena cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya karena kemahakuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri. Sedang selama ini aku beranggapan bahwa akulah yang berbakti kepada-Nya.
Aku bertanya, "Ya Allah, apakah ini?"
Dia menjawab, "Semuanya adalah Aku, tidak ada sesuatupun juga kecuali Aku. Dan sesungguhnya tidak ada wujud selain wujud-Ku". Kemudian Ia menjahit mataku sehingga aku tidak dapat melihat. Dia menyuruhku untuk merenungi akar permasalahan, yaitu diri-Nya sendiri. Dia meniadakan aku dari kehidupan-Nya sendiri, dan Ia memuliakan diriku.
Kepadaku dibukakan-Nya rahasia diri-Nya sendiri sedikitpun tidak tergoyahkan oleh karena adaku.
Demikianlah Allah, Kebenaran Yang Tunggal menambahkan realitas ke dalam diriku. Melalui Allah aku memandang Allah, dan kulihat Allah di dalam realitas-Nya.
Di sana aku berdiam dan beristirahat untuk beberapa saat lamanya, kututup telinga dari derap perjuangan. Lidah yang meminta-minta kutelan ke dalam tenggorokan keputusasaan. Kucampakkan pengetahuan yang telah kutuntut dan kubungkamkan kata hati yang menggoda kepada perbuatan-perbuatan aniaya.
Di sana aku berdiam dengan tenang. Dengan karunia Allah aku membuang kemewahan-kemewahan dari jalan yang menuju prinsip-prinsip dasar.
Allah menaruh belas kasih kepadaku. Ia memberkahiku dengan pengetahuan abadi dan menanam lidah kebajikan-Nya ke dalam tenggorokanku. Untuk diciptakan-Nya sebuah mata dari cahaya-Nya, semua makhluk kulihat melalui Dia. Dengan lidah kebajikan itu aku berkata-kata kepada Allah. Dengan pengetahuan Allah kuperoleh sebuah pengetahuan. Dan dengan cahaya Allah aku menatap kepadaNya.
Allah berkata kepadaku, "Wahai engkau yang tak memiliki sesuatupun jua namun telah memperoleh segalanya, yang tak memiliki perbekalan namun telah memiliki kekayaan".
"Ya, Allah,” jawabku. "Jangan biarkan diriku terperdaya oleh semua itu. Jangan biarkan aku puas dengan diriku sendiri tanpa mendambakan diri-Mu. Adalah lebih baik jika Engkau menjadi milikku tanpa aku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa Engkau. Lebih baik jika aku berkata-kata kepadaMu melalui Engkau, daripada aku berkata-kata kepada diriku sendiri tanpa Engkau".
Allah berkata, "Oleh karena itu perhatikanlah hukumKu dan janganlah engkau melanggar perintah serta larangan-Ku, agar Kami berterima kasih akan segala jerih payahmu."
"Aku telah membuktikan imanku kepada-Mu dan aku benar-benar yakin bahwa sesungguhnya Engkau lebih pantas untuk berterimakasih kepada diri-Mu sendiri dari pada kepada hamba-Mu. Bahkan seandainya Engkau mengutuk diriku ini, Engkau bebas dari segala perbuatan aniaya".
"Dari siapakah engkau belajar?" tanya Allah.
"Ia Yang Bertanya lebih tahu dari ia yang ditanya" jawabku. “Karena Ia adalah Yang Dihasratkan dan Yang Menghasratkan, Yang Dijawab dan Yang Menjawab, Yang Dirasakan dan Yang Merasakan, Yang Ditanya dan Yang Bertanya".
Setelah Dia menyaksikan kesucian hatiku yang terdalam, aku mendengar seruan puas dari Allah. Dia mencap diriku dengan cap kepuasanNya. Dia menerangi diriku, menyelamatkan diriku dari kegelapan hawa nafsu dan kecemaran jasmani. Aku tahu bahwa melalui Dialah aku hidup dan karena kelimpahanNya-lah aku bisa menghamparkan permadani kebahagiaan di dalam hatiku.
"Mintalah kepadaKu segala sesuatu yang engkau kehendaki," kata Allah. "Engkaulah yang kuinginkan," jawabku. "Karena Engkau lebih dari kemurahan dan melalui Engkau telah kudapatkan kepuasan di dalam Engkau. Karena Engkau adalah milikku, telah kugulung catatan-catatan kelimpahan dan kemurahan. Janganlah Engkau jauhkan aku dari diri-Mu dan janganlah Engkau berikan kepadaku sesuatu yang lebih rendah daripada Engkau".