Mualaf Yahudi Muhammad Asad Bicara tentang Pentingnya Hadis
loading...
A
A
A
Mualaf Yahudi , Muhammad Asad yang sebelum masuk Islam bernama Leopold Weiss (23 Juli 1900 – 20 Februari 1992), mengingatkan pentingnya kembali kepada al-Quran dan Hadis . Menurutnya, slogan mari kembali kepada al-Quran, tetapi tidak mengikuti sunnah menunjukkan ketidaktahuan kita tentang Islam.
"Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu" ujarnya dalam bukunya berjudul "Islam at the Crossroads" yang diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan" (YAPI, Surabaya, 1967).
Sekadar mengingatkan Muhammad Asad adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an.
Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.
Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
Dalam bukunya itu, Muhammad Asad mengingatkan hadis Nabi SAW adalah catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam.
"Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadis di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah," katanya.
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadis-hadis yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran.
"Tetapi tidaklah demikian halnya," kata Muhammad Asad. "Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadis sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah."
Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadis dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadis pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.
Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadis.
Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan.
Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadis tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri.
Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela.
Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadis itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!"
Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India.
Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadis?
"Orang-orang yang berkata demikian menyerupai orang yang hendak masuk ke satu istana tetapi tidak hendak menggunakan kunci yang asli, satu-satunya kunci yang cocok untuk membuka pintu itu" ujarnya dalam bukunya berjudul "Islam at the Crossroads" yang diterjemahkan M. Hashem menjadi "Islam di Simpang Jalan" (YAPI, Surabaya, 1967).
Sekadar mengingatkan Muhammad Asad adalah seorang cendekiawan muslim, mantan Duta Besar Pakistan untuk Perserikatan Bangsa Bangsa, dan penulis beberapa buku tentang Islam termasuk salah satu tafsir Al Qur'an modern yakni The Message of the Qur'an.
Muhammad Asad terlahir sebagai Leopold Weiss pada tahun 1900 di kota Lemberg, saat itu bagian dari Kekaisaran Austria-Hongaria (sekarang bernama Lviv dan terletak di Ukraina) dalam lingkungan keluarga Yahudi. Keluarganya secara turun-temurun adalah rabbi (pemuka agama Yahudi) kecuali ayahnya yang menjadi seorang pengacara.
Pendidikan agama yang ia enyam selama masa kecil hingga mudanya menjadikan ia familiar dengan bahasa Aram, Kitab Perjanjian Lama serta teks-teks maupun tafsir dari Talmud, Mishna, Gemara dan Targum.
Baca Juga
Dalam bukunya itu, Muhammad Asad mengingatkan hadis Nabi SAW adalah catatan turun-temurun tentang ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan Nabi yang dilaporkan dan disalurkan oleh sahabat-sahabat beliau dan dikumpulkan dengan kritis dalam abad-abad pertama Islam.
"Banyak orang Muslimin modern berpaham bahwa mereka akan sedia mengikuti Sunnah, tetapi mereka berpendapat bahwa mereka tidak dapat bersandar pada tubuh Hadis di mana Sunnah itu terletak. Telah menjadi mode dalam zaman kita untuk secara prinsip menolak keaslian Hadits dan oleh karena itu menolak seluruh struktur Sunnah," katanya.
Orang sering berpikir bahwa lawan-lawan pikiran orthodoks akan sanggup mengemukakan argumen-argumen yang sesungguhnya meyakinkan yang akan mengukuhkan, sekali untuk selamanya, tentang pendapat bahwa hadis-hadis yang dikatakan berasal dari Nabi tidak dapat dijadikan sandaran.
"Tetapi tidaklah demikian halnya," kata Muhammad Asad. "Walau telah dipergunakan segala jalan untuk menantang keaslian Hadis sebagai satu badan, oleh kritikus-kritikus modern dari Timur dan dari Barat, tetapi mereka tidak mampu menopang kritik mereka yang bersifat temperamental melulu dengan hasil penelitian ilmiah."
Malah lebih sulit berbuat demikian karena penyusun-penyusun kumpulan Hadis dahulu, terutama Imam Bukhari dan Imam Muslim, telah melakukan segala apa yang mungkin dapat dilakukan manusia untuk menempatkan keaslian setiap Hadis pada ujian yang paling keras --ujian yang jauh lebih keras dari yang biasa dilakukan ahli-ahli sejarah Barat terhadap suatu dokumen historik.
Cabang sejarah dari penegetahuan ini berhasil dalam menegakkan satu rantai tak terputus dari riwayat hidup mendetail dari pribadi-pribadi yang pernah disebut oleh perawi-perawi Hadis.
Kehidupan orang-orang laki-laki dan perempuan telah diselidiki dengan sempurna dari segala segi pandangan, dan hanya orang-orang yang telah diterima sebagai orang-orang yang terpercaya, yang jalan hidup mereka dan cara mereka menyalurkan Hadits, sempurna memenuhi standar yang ditentukan oleh muhadditsuun terkenal dan dipercayai sebagai paling tepat yang dapat dipikirkan.
Oleh karena itu apabila sekarang seseorang hendak menyangkal akan keaslian satu Hadis tertentu atau keseluruhan sistemnya, maka tugas untuk membuktikan ketidaktepatannya jatuh pada orang itu sendiri.
Secara ilmiah sama sekali tidak dibenarkan untuk menyangkal kebenaran suatu sumber historik, kecuali apabila ia mampu membuktikan bahwa sumber itu bercela.
Apabila tidak ada argumen yang dapat diterima, yaitu apabila tidak dapat diperoleh argumen ilmiah untuk menentang sumber itu sendiri atau terhadap salah satu atau lebih dari musnad-musnadnya, dan apabila sebaliknya tidak ada laporan bertentangan tentang hal itu, maka kita harus menerima kebenaran Hadis itu.
Bayangkan umpamanya apabila orang berbicara tentang peperangan-peperangan Mahmud dan Ghasna di India lalu anda bangkit dan berkata: "Saya tidak percaya bahwa Mahmud pernah datang ke India. Itu dongengan tanpa dasar sejarah!"
Apa yang akan terjadi dalam hal seperti itu? Seseorang yang mengenal sejarah segera akan berusaha memperbaiki kekeliruan anda dan akan mengutip catatan-catatan sejarah yang didasarkan pada laporan-laporan orang yang hidup di zaman itu tentang sultan yang termasyhur itu, sebagai bukti definitif dari fakta bahwa Mahmud pernah di India.
Dalam hal ini anda harus menerima bukti itu --atau anda akan dipandang sebagai orang sakit yang tanpa alasan yang terang menolak fakta-fakta sejarah yang kuat. Kalau demikian halnya maka orang akan bertanya-diri: mengapa kritikus-kritikus modern ini tidak mengemukakan pemikiran jujur yang logis yang sama seperti itu pada masalah Hadis?