Merawat Kebhinekaan dan Toleransi Jadi Wujud Syukur kepada Allah
loading...
A
A
A
SERANG - Ketua Umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, KH Embay Mulya Syarief menyatakan takdir yang diberikan oleh Allah SWT dalam bentuk perbedaan sejatinya merupakan rahmat bagi bangsa Indonesia. Dengan kebhinekaan yang ada, wajib hukumnya perbedaan itu dilindungi dan dijaga oleh segenap umat muslim.
“Bangsa ini ditakdirkan oleh Allah SWT menjadi bangsa yang majemuk, itu merupakan takdir. Artinya apa kalau kita tidak saling toleran, tidak merasa saling memiliki, kan sama dengan kita tidak bersyukur kepada nikmat Allah SWT,” ujar Embay Mulya Syarief di Serang, Sabtu (24/12/2022).
Dia melanjutkan, gesekan yang masih sering terjadi di tengah masyarakat yang terkait dengan latar belakang primordial, sudah sepatutnya diatasi dengan sikap saling terbuka dalam berkomunikasi. Selain itu juga harus menghindari suara-suara yang berusaha memprovokasi kedamaian umat beragama.
“Di dalam agama juga di sekolah, kita sudah diajarkan uuntuk tidak menggangu upacara maupun peribadahan keagamaan yang lain. Di dalam perang, Nabi juga melarang mengganggu tempat ibadah orang lain apapun agamanya. Tapi umat agama lain juga jangan memprovokasi, lakukan komunikasi yang baik,” jelas anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten ini.
Embay Mulya Syarief menambahkan, sebagaimana telah jelas dalam perintah Nabi Muhammad SAW tentang sepuluh hal yang diharamkan. Di antaranya dilarang menggangu tempat Ibadah apapun agamanya, menggangu pendeta apapun agamanya, membunuh orang tua, membunuh wanita, membunuh anak-anak.
Selanjutnya dilarang merusak bangunan, merusak tanaman kecuali untuk dimakan, membunuh binatang kecuali untuk dimakan. memutilasi jenazah, dan merusak sumber air.
Dia sangat menyayangkan jika masih ada oknum yang memprovokasi maupun melakukan tindakan yang mengganggu hak beragama umat lain. Menurutnya oknum seperti itu pemahaman agamanya cenderung masih sangat terbatas.
”Jika masih ada kasus persekusi, dan sebagianya maka berarti pemahaman agamanya masih belum luaslah begitu,” ucapnya.
Embay Mulya Syarief juga menjelaskan bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk saling menjaga dan membangun hubungan baik dengan umat beragama lain dalam konteks kemanusiaan.
”Dalam masalah-masalah kemanusiaan, kita boleh bersama-sama. Misalnya bencana alam, kesehatan, ekonomi dan kebersihan. Tapi masalah ibadah ya masing-masing. Dalam masalah sosial, kita tidak boleh acuh walaupun berbeda,” ujarnya.
Untuk membangun kesadaran masyarakat akan rasa saling melindung agar imun dari virus radikalisme. Ia menilai perlunya peran para tokoh ulama untuk menggencarkan narasi terkait pentingnya ibadah sosial dan tidak melulu soal ibadah ritual.
”Ibadah sosial ini muara daripada ibadah ritual. Di tengah maraknya politik identitas, para kiai sudah harus mulai membahas hal-hal seperti ibadah sosial seperti saling membantu dalam bencana alam, atau hal kemanusiaan lainnya. Jangan hanya masalah ibadah-ibadah ritual saja,” tuturnya.
Para tokoh agama juga diharapkan mulai mengencangkan barisan dan memberikan total action dengan mencontohkan kepada umatnya tentang praktik toleransi dan menghargai umat maupun kelompok masyarakat lain. Tidak hanya sekedar ucapan, tetapi dalam perilaku dan tindakan.
”Sekarang ini para tokoh agama memang harus lebihtotal action lah ya kepada masyarakat. Jangan hanya di takaran retorika saja, tapi kita berikan contoh,” imbaunya.
Untuk itu, Mathlaul Anwar menginisiasi gerakan nyata "Menata Ummat, Merekat Bangsa" dengan program penanaman nilai toleransi kepada sekolah, perguruan tinggi hingga pesantren.
”Gerakan arah baru Mathlaul Anwar ini sebagai tekad mengeratkan persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa yang berfalsafah Pancasila untuk mencapai negara Indonesia yang maju, tercerdaskan dan terciptanya kesejahteraan umum di bidang pendidikan, dakwah, sosial dengan mengedepankan wajah Islam ramah, moderat dan toleran,” pungkasnya.
“Bangsa ini ditakdirkan oleh Allah SWT menjadi bangsa yang majemuk, itu merupakan takdir. Artinya apa kalau kita tidak saling toleran, tidak merasa saling memiliki, kan sama dengan kita tidak bersyukur kepada nikmat Allah SWT,” ujar Embay Mulya Syarief di Serang, Sabtu (24/12/2022).
Dia melanjutkan, gesekan yang masih sering terjadi di tengah masyarakat yang terkait dengan latar belakang primordial, sudah sepatutnya diatasi dengan sikap saling terbuka dalam berkomunikasi. Selain itu juga harus menghindari suara-suara yang berusaha memprovokasi kedamaian umat beragama.
“Di dalam agama juga di sekolah, kita sudah diajarkan uuntuk tidak menggangu upacara maupun peribadahan keagamaan yang lain. Di dalam perang, Nabi juga melarang mengganggu tempat ibadah orang lain apapun agamanya. Tapi umat agama lain juga jangan memprovokasi, lakukan komunikasi yang baik,” jelas anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Banten ini.
Embay Mulya Syarief menambahkan, sebagaimana telah jelas dalam perintah Nabi Muhammad SAW tentang sepuluh hal yang diharamkan. Di antaranya dilarang menggangu tempat Ibadah apapun agamanya, menggangu pendeta apapun agamanya, membunuh orang tua, membunuh wanita, membunuh anak-anak.
Selanjutnya dilarang merusak bangunan, merusak tanaman kecuali untuk dimakan, membunuh binatang kecuali untuk dimakan. memutilasi jenazah, dan merusak sumber air.
Dia sangat menyayangkan jika masih ada oknum yang memprovokasi maupun melakukan tindakan yang mengganggu hak beragama umat lain. Menurutnya oknum seperti itu pemahaman agamanya cenderung masih sangat terbatas.
”Jika masih ada kasus persekusi, dan sebagianya maka berarti pemahaman agamanya masih belum luaslah begitu,” ucapnya.
Embay Mulya Syarief juga menjelaskan bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk saling menjaga dan membangun hubungan baik dengan umat beragama lain dalam konteks kemanusiaan.
”Dalam masalah-masalah kemanusiaan, kita boleh bersama-sama. Misalnya bencana alam, kesehatan, ekonomi dan kebersihan. Tapi masalah ibadah ya masing-masing. Dalam masalah sosial, kita tidak boleh acuh walaupun berbeda,” ujarnya.
Untuk membangun kesadaran masyarakat akan rasa saling melindung agar imun dari virus radikalisme. Ia menilai perlunya peran para tokoh ulama untuk menggencarkan narasi terkait pentingnya ibadah sosial dan tidak melulu soal ibadah ritual.
”Ibadah sosial ini muara daripada ibadah ritual. Di tengah maraknya politik identitas, para kiai sudah harus mulai membahas hal-hal seperti ibadah sosial seperti saling membantu dalam bencana alam, atau hal kemanusiaan lainnya. Jangan hanya masalah ibadah-ibadah ritual saja,” tuturnya.
Para tokoh agama juga diharapkan mulai mengencangkan barisan dan memberikan total action dengan mencontohkan kepada umatnya tentang praktik toleransi dan menghargai umat maupun kelompok masyarakat lain. Tidak hanya sekedar ucapan, tetapi dalam perilaku dan tindakan.
”Sekarang ini para tokoh agama memang harus lebihtotal action lah ya kepada masyarakat. Jangan hanya di takaran retorika saja, tapi kita berikan contoh,” imbaunya.
Untuk itu, Mathlaul Anwar menginisiasi gerakan nyata "Menata Ummat, Merekat Bangsa" dengan program penanaman nilai toleransi kepada sekolah, perguruan tinggi hingga pesantren.
”Gerakan arah baru Mathlaul Anwar ini sebagai tekad mengeratkan persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa yang berfalsafah Pancasila untuk mencapai negara Indonesia yang maju, tercerdaskan dan terciptanya kesejahteraan umum di bidang pendidikan, dakwah, sosial dengan mengedepankan wajah Islam ramah, moderat dan toleran,” pungkasnya.
(shf)