Ramadan di Yaman: Puasa Seharian, Kelaparan Jelang Malam

Senin, 05 Juni 2017 - 12:50 WIB
Ramadan di Yaman: Puasa Seharian, Kelaparan Jelang Malam
Ramadan di Yaman: Puasa Seharian, Kelaparan Jelang Malam
A A A
SANAA - Kondisi memilukan mewarnai bulan Ramadan di Yaman, negara yang hancur dilanda perang. Sekitar 17 juta orang di negara itu menghadapi kelaparan.

Fatima Salah, 58, tidak tidur cukup di siang hari seperti yang banyak orang lakukan ketika puasa Ramadan. Sebagai gantinya, dia mengembara di Kota Sanaa mengunjungi tetangga dan toko-toko lokal, dengan harapan bisa mendapatkan cukup makanan untuk memberi makan keluarganya pada malam hari.

”Saya lelah dan haus karena berjalan kaki, dan saya telah berpuasa tanpa sahur yang baik,” tutur Fatima kepada Al Jazeera, dengan air mata berlinang.

”Saya dulu hidup dengan harga diri di rumah saya, dan bulan Ramadan adalah bulan terbaik saya, perang telah membuat kita kehilangan sukacita setiap hari. Ramadan sebelumnya baik-baik saja, tapi yang ini sangat sulit. Kami puasa di siang hari dan kelaparan di malam hari.”

Di seluruh dunia Muslim, Ramadan dimaksudkan untuk menjadi momen yang menyenangkan dan momen spiritual. Tapi di Yaman yang dilanda perang, hanya ada sedikit ruang untuk sukacita akhir-akhir ini.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) baru-baru ini memperingatkan bahwa 17 juta orang di Yaman menghadapi kelaparan karena bantuan kemanusiaan dari masyarakat internasional sulit menjangkau rakyat sipil.

Perang yang terus berlanjut selama lebih dari dua tahun, telah membuat banyak keluarga Yaman mengalami kemiskinan dan keputusasaan.

”Ini adalah bulan Ramadan, dan saya sampai ke leher saya dalam kemiskinan,” ucap kata Fatima. ”Saya membutuhkan makanan untuk keluarga saya dan saya perlu membayar 20.000 riyal untuk sewa rumah. Saya memiliki dua kekhawatiran tanpa henti: kelaparan dan penggusuran.”

Wabah kolera semakin memperparah kondisi warga Yaman dalam menjalani bulan Ramadan tahun ini. Organisasi Kesehatan Dunia memperkirakan ada lebih dari 530 kematian dan lebih dari 65.000 kasus kolera yang dicurigai muncul sejak April lalu.

Mohamed al-Mokhdari, ayah dari 10 anak yang tinggal di Sanaa, mengatakan bahwa dia bersyukur anak-anaknya tidak menderita kolera. Namun, dia tidak senang dengan situasi yang dihadapi orang-orang Yaman selama bulan suci ini.

”Ramadan adalah saat yang spesial, sayangnya, saya tidak merasakan kebahagiaan yang pernah saya rasakan sebelum perang di Yaman. Harga makanan tinggi dan uang sulit didapat di sini,” keluh Mokhdari kepada Al Jazeera, sembari membelai janggutnya.

Agar bisa mengatasinya, dua anak mudanya mulai mengumpulkan botol plastik dari jalanan dan menjualnya ke pabrik daur ulang. Hal itu bisa menghasilkan sedikit uang sehari. Mokhdari sendiri menganggur. Dia dan keluarganya tidak mampu merayakan Ramadan dengan mewah. Saban Magrib, menu buka puasa keluarganya hanya terdiri dari yoghurt dan roti.

”Sulit, kita hampir tidak menemukan nasi dan roti. Makan daging, ayam, sayur yang cukup dan buah telah menjadi impian Ramadan ini,” katanya. “Lewatlah sudah hari-hari ketika Ramadan dulu memiliki selera khusus di rumah saya dan semua orang di Yaman,” ujarnya.

Abdulatif al-Hubaishi, pemilik toko kelontong di Sanaa, mengatakan bahwa permintaan barang makanan dari tokonya sudah sangat rendah selama Ramadan ini.

”Telah terjadi penurunan permintaan hampir 50 persen dibandingkan tahun lalu,” kata Hubaishi kepada Al Jazeera, yang dilansir Senin (5/6/2017). ”Bahkan mereka yang biasanya datang ke toko terutama untuk membeli gula, tepung dan beras. Barang-barang lainnya, seperti permen, kacang-kacangan dan sayuran, tidak diminati karena orang hanya mampu membeli bahan-bahan pokok.”

Ekonom Yaman, Saeed Abdulmomin sepakat bahwa keadaan menjadi sangat mengerikan pada tahun ini. ”Gaji tidak dibayar, harga telah melonjak dan bisnis stagnan,” katanya.
(mas)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2679 seconds (0.1#10.140)