Yahaanu

Minggu, 25 Juni 2017 - 12:00 WIB
Yahaanu
Yahaanu
A A A
Kita yang pernah nyantri di Pondok Gontor, akrab dengan istilah "yahaanu". Yahaanu bermakna berlagak, sok, belagu dalam arti positif. Ia merujuk pada sosok yang berusaha berbeda dengan penuh percaya diri. "Orang Kulon" bilang: "You can if you think you can". Padahal, jauh sebelumnya kita sudah punya modal: "Aku (Allah) ini mengikuti prasangka hamba pada-Ku" (Hadits Qudsi riwayat Imam Tirmidzi dari Abu Hurairah ra).

Suatu hari, saya meladeni seorang anggota jamaah Klinik Spiritual Wisatahati Jawa Tengah. Orang ini, maaf, datang berpakaian agak lusuh, raut mukanya madesu (masa depan suram), penuh beban hidup seperti orang yang yang la yahya wala yamuut alias hidup segan mati tak mau.

"Ada yang bisa saya bantu, Mas," saya membuka cakap.

"Anu, Ustadz..," ia mencoba mengutarakan maksudnya, namun serasa berat lidahnya untuk melanjutkan bicara.

Ia tersenyum, dan bisa melanjutkan kalimatnya yang terputus. "Nganu Ustadz, Saya ini kurang percaya diri. Setiap saya usaha selalu gagal, mohon nasehatnya dan pencerahan untuk Saya, Ustadz..."

"Umur Mas berapa?" tanya saya.

"38 tahun," jawabnya singkat.

Saya terus mencecarnya dengan beberapa pertanyaan lagi: "Pendidikan terakhir Mas? Punya anak berapa?"

"Strata satu, Ustadz. Anak saya sudah tiga."

"Mmmhh, kok iso yo?" saya sedikit mengerutkan kening tanda tidak percaya dan penasaran something wrong-nya di mana.

"Mas, Mas ini kurang bersyukur dengan pemberian Allah berupa kesehatan, nikmat umur, nikmat berkeluarga, amanat berupa anak, pendidikan tinggi dan seabrek karunia Allah yang lain. Yang ada Mas hanya mengeluh dan mengeluh. Coba Mas tengok orang lain, betapa banyak orang yang saat ini sedang terbaring di rumah sakit, betapa banyak orang seusia Mas sudah dipanggil Gusti Allah, betapa banyak orang yang seumuran Mas belum berkeluarga. Bahkan ada yang sudah berkeluarga sampai beberapa tahun namun belum juga diamanatin anak oleh Allah. Betapa banyak pula orang yang tidak mampu mengenyam pendidikan setinggi Mas. Maka, jangan bunuh masa depan anak Mas karena rasa kurang percaya diri yang terus mendekam dan seakan-akan betah dalam diri Mas. Mas ini terkungkung oleh pikiran I can’t do it, saya engga bisa, ora iso. Ketahuilah sikap seperti itu akan merugikan diri kita dan menghancurkan harapan orang lain yang menjadi tanggung jawab Mas!"

Di penghujung taushiyah keras saya, saya tepak tangan orang itu. "Mas! Tanamkan kalimat ini dalam dada dan pikiranmu: ‘’Aku bisa, I Can, Aku iso. Saya hari ini bukan saya yang kemarin." (Sumber : www.pppa.or.id )
(bbk)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3103 seconds (0.1#10.140)