Puasa untuk Jadi Pemenang
A
A
A
Rumadi Ahmad
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU
Dua tahun belakangan ini bangsa Indonesia menyambut puasa Ramadhan dengan wajah dan hati kalut, bahkan berduka. Menjelang puasa 2017 lalu terjadi tindakan terorisme di Kampung Melayu Jakarta Timur yang menewaskan 3 orang anggota polisi dan melukai belasan orang lainnya.
Menjelang Ramadhan 2018 ini lebih gila lagi. Setelah kerusuhan di rumah tahanan narapidana teroris Mako Brimob Kelapa Dua, Depok yang menewaskan 5 anggota Polri, serentetan serangan terorisme terjadi di Surabaya.
Yang lebih memilukan, tindakan terorisme tersebut dilakukan sebuah keluarga, suami-istri beserta anak-anaknya. Tragis dan sangat memilukan!
Di tengah upaya Densus 88 membongkar dan menangkap sel-sel terorisme di berbagai wilayah, Mapolda Riau di serang teroris, hanya sehari sebelum umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Meskipun akhirnya empat teroris yang nekat itu bisa dilumpuhkan dengan ditembak mati, tapi kasus tersebut lagi-lagi menunjukkan bahwa persoalan radikalisme dan terorisme menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia.
Entah disengaja atau tidak, lama-lama orang akan berpikir, setiap menjelang Ramadhan akan dijadikan “ritual” para teroris untuk melakukan tindakan teror. Hal ini tentu sangat aneh. Ramadhan sebagai bulan yang disucikan, mestinya disambut dengan cara mensucikan jiwa, bukan justru dengan mengotori jiwa.
Mau dicari argumen apa pun, baik teologis, sosiologis hingga politis tindakan terorisme tetaplah merupakan kejahatan. Sulit dikatakan, terorisme dan bom bunuh diri dilakukan orang-orang yang mempunyai kekuatan iman.
Justru sebaliknya, tindakan membunuh diri sendiri dan orang lain –bahkan juga membunuh anaknya sendiri dengan mengajak melakukan bom bunuh diri—hanya bisa dilakukan orang-orang yang berhati keras dan berjiwa kotor.
Orang-orang seperti ini jiwanya dikuasai oleh amarah dan permusuhan. Negara Indonesia dianggap thogut, polisi dan TNI dianggap sebagai tentara thogut yang boleh dibunuh, tempat-tempat ibadah non muslim boleh dirusak dan dibom. Bahkan, sesama muslim yang tidak sealiran juga dianggap sebagai kafir. Naudzubillah…
Orang yang jiwanya dikuasai amarah, menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali (wafat 1111 M) akan menjadikan setan masuk menguasai hatinya, Meskipun mulutnya selalu menyebut nama Allah, namun sebenarnya hati orang itu tidak sedang Bersama Allah. Mengapa? Karena sebenarnya hati orang itu sedang dicengkeram setan yang masuk melalui nafsu amarah (ghadhab).
Amarah, menurut Imam Ghazali merupakan salah satu pintu di mana setan akan masuk menguasai hati manusia (madakhil al-syaiton fil qalbi). Semakin orang menyimpan amarah, semakin mudah setan menguasai dan mempermainkan hati manusia.
Itulah sebagian dari kelihaian setan yang bisa masuk ke dalam diri seseorang sesuai dengan kapasitas orang tersebut. Bukan hanya bagi orang awam, seorang ahli ibadah pun bisa terpeleset mengikuti bisikan setan, karena setan bisa masuk melalui ibadah yang dilakukan.
Seorang ahli dzikir juga bisa terpeleset dengan dzikirnya, karena setan bisa saja berbisik melalui dzikir yang dilakukan. Setan bisa masuk ke pori-pori dan mengalir mengikuti aliran darah setiap orang. Bedanya, ahli ibadah dan ahli dzikir biasanya segera menyadari jika setan sedang bekerja dan berusaha menguasai hatinya.
Hal yang mengerikan jika seseorang yang hatinya dikuasai setan melalui nafsu amarah dan orang itu tidak menyadari. Apalagi jika nafsu amarah tersebut dibungkus dengan agama, orang bisa lebih terlena dan tidak sadar jika hatinya sedang dikendalikan setan.
Amarah orang tersebut dianggap sebagai ekspresi kesalehan beragama. Memaki dan melukai orang lain dianggap sebagai perbuatan untuk membela agama. Mengkafir-kafirkan orang lain seolah sedang menunjukkan ketinggian imannya. Melakukan tindakan terorisme dan bom bunuh diri merasa sedang menjalankan misi suci berjihad di jalan Allah.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Terorisme bukanlah misi suci yang dilakukan oleh orang-orang yang imannya kokoh. Mereka adalah orang-orang yang rapuh secara spiritual. Berhati batu dan kotor karena dikuasai nafsu amarahnya.
Mereka bukan sedang menjalankan misi suci keagamaan, tapi justru mengotori kesucian agama. Mereka tidak sedang mengangkat tinggi kalimah Allah (li i’lai kalimatillah) tapi justru membenamkannya dalam rendahnya peradaban. Nah, ibadah puasa seharusnya bisa menjadikan kita sebagai orang-orang yang menang. Menang melawan nafsu angkara murka yang bersemayam dalam setiap diri manusia. Menang melawan bisikan setan yang terus berusaha menggoda hati manusia. Godaan dan cengkeraman setan tidak selalu mengarahkan manusia untuk melakukan hal-hal yang secara kasat mata sebagai bentuk kemaksiatan, tapi terkadang bisa dalam bentuk seolah sedang memperjuangkan agama. Jadi, waspada dan hati-hati.
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (LAKPESDAM) PBNU
Dua tahun belakangan ini bangsa Indonesia menyambut puasa Ramadhan dengan wajah dan hati kalut, bahkan berduka. Menjelang puasa 2017 lalu terjadi tindakan terorisme di Kampung Melayu Jakarta Timur yang menewaskan 3 orang anggota polisi dan melukai belasan orang lainnya.
Menjelang Ramadhan 2018 ini lebih gila lagi. Setelah kerusuhan di rumah tahanan narapidana teroris Mako Brimob Kelapa Dua, Depok yang menewaskan 5 anggota Polri, serentetan serangan terorisme terjadi di Surabaya.
Yang lebih memilukan, tindakan terorisme tersebut dilakukan sebuah keluarga, suami-istri beserta anak-anaknya. Tragis dan sangat memilukan!
Di tengah upaya Densus 88 membongkar dan menangkap sel-sel terorisme di berbagai wilayah, Mapolda Riau di serang teroris, hanya sehari sebelum umat Islam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Meskipun akhirnya empat teroris yang nekat itu bisa dilumpuhkan dengan ditembak mati, tapi kasus tersebut lagi-lagi menunjukkan bahwa persoalan radikalisme dan terorisme menjadi persoalan serius bagi bangsa Indonesia.
Entah disengaja atau tidak, lama-lama orang akan berpikir, setiap menjelang Ramadhan akan dijadikan “ritual” para teroris untuk melakukan tindakan teror. Hal ini tentu sangat aneh. Ramadhan sebagai bulan yang disucikan, mestinya disambut dengan cara mensucikan jiwa, bukan justru dengan mengotori jiwa.
Mau dicari argumen apa pun, baik teologis, sosiologis hingga politis tindakan terorisme tetaplah merupakan kejahatan. Sulit dikatakan, terorisme dan bom bunuh diri dilakukan orang-orang yang mempunyai kekuatan iman.
Justru sebaliknya, tindakan membunuh diri sendiri dan orang lain –bahkan juga membunuh anaknya sendiri dengan mengajak melakukan bom bunuh diri—hanya bisa dilakukan orang-orang yang berhati keras dan berjiwa kotor.
Orang-orang seperti ini jiwanya dikuasai oleh amarah dan permusuhan. Negara Indonesia dianggap thogut, polisi dan TNI dianggap sebagai tentara thogut yang boleh dibunuh, tempat-tempat ibadah non muslim boleh dirusak dan dibom. Bahkan, sesama muslim yang tidak sealiran juga dianggap sebagai kafir. Naudzubillah…
Orang yang jiwanya dikuasai amarah, menurut Hujjatul Islam Imam Ghazali (wafat 1111 M) akan menjadikan setan masuk menguasai hatinya, Meskipun mulutnya selalu menyebut nama Allah, namun sebenarnya hati orang itu tidak sedang Bersama Allah. Mengapa? Karena sebenarnya hati orang itu sedang dicengkeram setan yang masuk melalui nafsu amarah (ghadhab).
Amarah, menurut Imam Ghazali merupakan salah satu pintu di mana setan akan masuk menguasai hati manusia (madakhil al-syaiton fil qalbi). Semakin orang menyimpan amarah, semakin mudah setan menguasai dan mempermainkan hati manusia.
Itulah sebagian dari kelihaian setan yang bisa masuk ke dalam diri seseorang sesuai dengan kapasitas orang tersebut. Bukan hanya bagi orang awam, seorang ahli ibadah pun bisa terpeleset mengikuti bisikan setan, karena setan bisa masuk melalui ibadah yang dilakukan.
Seorang ahli dzikir juga bisa terpeleset dengan dzikirnya, karena setan bisa saja berbisik melalui dzikir yang dilakukan. Setan bisa masuk ke pori-pori dan mengalir mengikuti aliran darah setiap orang. Bedanya, ahli ibadah dan ahli dzikir biasanya segera menyadari jika setan sedang bekerja dan berusaha menguasai hatinya.
Hal yang mengerikan jika seseorang yang hatinya dikuasai setan melalui nafsu amarah dan orang itu tidak menyadari. Apalagi jika nafsu amarah tersebut dibungkus dengan agama, orang bisa lebih terlena dan tidak sadar jika hatinya sedang dikendalikan setan.
Amarah orang tersebut dianggap sebagai ekspresi kesalehan beragama. Memaki dan melukai orang lain dianggap sebagai perbuatan untuk membela agama. Mengkafir-kafirkan orang lain seolah sedang menunjukkan ketinggian imannya. Melakukan tindakan terorisme dan bom bunuh diri merasa sedang menjalankan misi suci berjihad di jalan Allah.
Padahal yang terjadi justru sebaliknya. Terorisme bukanlah misi suci yang dilakukan oleh orang-orang yang imannya kokoh. Mereka adalah orang-orang yang rapuh secara spiritual. Berhati batu dan kotor karena dikuasai nafsu amarahnya.
Mereka bukan sedang menjalankan misi suci keagamaan, tapi justru mengotori kesucian agama. Mereka tidak sedang mengangkat tinggi kalimah Allah (li i’lai kalimatillah) tapi justru membenamkannya dalam rendahnya peradaban. Nah, ibadah puasa seharusnya bisa menjadikan kita sebagai orang-orang yang menang. Menang melawan nafsu angkara murka yang bersemayam dalam setiap diri manusia. Menang melawan bisikan setan yang terus berusaha menggoda hati manusia. Godaan dan cengkeraman setan tidak selalu mengarahkan manusia untuk melakukan hal-hal yang secara kasat mata sebagai bentuk kemaksiatan, tapi terkadang bisa dalam bentuk seolah sedang memperjuangkan agama. Jadi, waspada dan hati-hati.
(zik)