Puasa Tetapi Tidak Salat? Ini Penjelasan Para Ulama
A
A
A
Fenomena bulan Ramadhan sering kita temui masjid selalu penuh di awal puasa. Namun, di pertengahan dan penghujung Ramadhan, masjid sepi dari aktivitas salat kecuali mereka yang istiqamah. Bagaimana sebenarnya hukum orang yang berpuasa, tetapi meninggalkan salat. Apakah puasanya diterima? Berikut penjelasan para ulama.
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya tentang orang yang berpuasa tetapi meninggalkan salat. Seperti dikutip dari Rumaysho, “Apabila seseorang hanya di bulan Ramadhan semangat melakukan puasa dan salat, namun setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan salat, apakah puasanya di bulan Ramadhan diterima?”
Jawaban:
“Salat merupakan salah satu rukun Islam. Salat merupakan rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap individu. Barangsiapa meninggalkan salat karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan, ia kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan salat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan salat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan salat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban salat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.
Nabi SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai salat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
Beliau SAW juga bersabda: “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah salat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)
“Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan salat.” (HR Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy). (Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa No 102, 10: 139-141)
Sementara itu, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA (Rumahfiqih.com) sebagaimana dilansir dari Rumah Aswaja menjelaskan, orang yang tidak mengerjakan ibadah wajib semisal salat lima waktu, tidak ada kaitannya dengan diterima atau tidaknya puasa yang dia lakukan. Yang penting untuk dicatat bahwa dosa besarnya karena tidak salat itu tidak membatalkan puasa yang dilakukannya. Sebab keduanya tidak saling menghalangi.
Meninggalkan salat tidak menghalangi sahnya puasa, sebagaimana tidak puasa juga tidak menghalangi sahnya salat. Kalau pun ada hubungannya, nanti di akhirat saat hitung-hitungan amal baik dan amal buruk. Ada dosa karena meninggalkan salat dengan sengaja, tapi ada juga pahala karena mengerjakan puasa.
Kesimpulannya, meski puasanya sah, tapi kalau meninggalkan salat tentu hukumnya berdosa besar. Dan hati-hati jangan sampai tekor pahala di hari akhirat nanti.
Bagaimana dengan dalil “orang yang tidak salat itu kafir”?
Meski banyak dalil dari hadis-hadis nabawi terkait batas kafir karena meninggalkan salat, namun yang disepakati para ulama dalam hal ini ketika seseorang meninggalkan salat sambil mengingkari kewajiban salat.
Sedangkan kalau meninggalkan salat tetepi masih meyakini kewajibannya, para ulama berbeda pendapat, apakah termasuk kafir atau tidak kafir.
Jumhur Ulama: Mengingkari Kewajiban
Jumhur ulama umumnya sepakat mengatakan berpendapat bahwa batas kafirnya adalah ketika seseorang meninggalkan salat seraya mengingkari kewajiban salat lima waktu. Bukan sekadar meninggalkan salat karena lalai atau malas. Dalam bahasa fiqih disebut dengan jahidu ash-shalah. Itupun tidak otomatis kafir, tetapi harus dilihat terlebih dahulu, apakah orang itu baru saja masuk Islam, atau dia tumbuh di lingkungan yang sama sekali jahil dari agama. Sehingga muncul di dalam pemahamannya bahwa shalat itu bukan sebuah kewajiban.
Untuk bisa sampai kepada status kafir, menurut jumhur ulama ada beberapa ketentuan, yaitu :
1. Mukallaf
Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seseorang secara resmi memeluk agama Islam alias muslim, berakal, sudah baligh dan dalam keadaan dari udzur syar'i seperti haidh dan nifas.
2. Ingkar Kewajiban Salat Lima Waktu
Yang menjadi titik kekafirannya adalah ketika dia mengingkari kewajiban salat lima waktu di dalam agama Islam. Sebab salat merupakan pokok agama, bila diingkari maka gugurlah keislaman seseorang. Dalam hal ini bukan hanya salat, tetapi ingkar kepada salah satu rukun Islam yang lainnya pun ikut menggugurkan keislaman.
3. Bukan Orang Yang Baru Masuk Islam
Para ulama sepakat bahwa bila yang ingkar atas kewajiban salat itu ternyata orang yang baru saja masuk Islam, maka hal itu dimaklumi. Boleh jadi dia memang belum tahu ajaran Islam secara mendalam, sehingga keingkarannya bukan karena semata-mata menentang melainkan karena ketidaktahuan. Orang seperti ini tidak dikatakan sebagai kafir kalau meninggalkan salat walaupun dalam hatinya mengatakan bahwa shalat tidak wajib.
4. Tumbuh di Tengah Masyarakat Non Islam
Bisa saja dalama kasus-kasus tertentu seseorang sudah menjadi muslim sejak lahir, namun dia tumbuh di tengah lingkungan keluarga atau masyarakat yang jahil dan tidak mengerti agama sama sekali.
Pendapat Para Ulama:
1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (Wafat 620 Hijriyah) mewakili Mazhab Al-Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut: “Orang yang tidak salat punya dua kemungkinan, yaitu dia mengingkari kewajibannya atau masih meyakini kewajibannya. Kalau dia mengingkari kewajibannya, diselidiki dulu, kalau dia jahil misalnya karena baru masuk Islam, atau dibesarkan di lingkungan terasing, maka diberitahu kewajibannya dan diajarkan tentang salat, dan tidak dikafirkan karena dia termasuk orang yang punya udzur.
Namun bila dia bukan orang yang jahil atas kewajiban salat, misalnya dibesarkan di tengah orang Islam di kota atau desa, maka dia tidak punya alasan dan tidak diterima pengakuan bahwa dirinya tidak tahu kewajiban salat, maka orang itu dihukumi kafir. Karena dalil-dalil kewajiban sudah nampak nyata di dalam kitab dan sunnah.
2. Syeikh Al-Utsaimin (Wafat 1421 Hijriyah) berpendapat meski seseorang tidak ingkar atas kewajiban salat, apabila dia selalu meninggalkan salat sepanjang hidupnya, maka dia sudah bisa dianggap kafir. Kalau cuma beberapa kali tidak salat dalam pandangan beliau tidak menjadi kafir. Tetapi kalau seumur-umur tidak pernah mengerjakan salat lima waktu, barulah bisa disebut kafir.
3. Syeikh Bin Baz (wafat 1420 Hijriyah) berpendapat kafir karena sekali tidak salat. Syeikh Bin Baz pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Dalam kitabnya Nur 'ala Ad-Darbi menuliskan sebagai berikut: “Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat itu disebut kafir dan disebut musyrik. Itulah yang benar dan yang makruf di kalangan sahabat radhiyallahunahum. Dan ini menunjukkan bahwa meninggalkan salat itu di kalangan sahabat dianggap kafir akbar. Pelakunya adalah kafir dan musyrik. Dan pendapat ini yang lebih shahih di antara dua pendapat ulama yang mensyaratkan iingkar atas kewajibannya. Sedangkan ingkar atas kewajibannya memang kafir menurut semua pihak."
Pendapat yang mengatakan bahwa puasa seseorang tidak sah kalau dia tidak salat, kemungkinan dasarnya berasal dari fatwa Ibn Bazz ini. Dimana fatwa beliau menyebutkan sekali saja seorang muslim tidak shalat, maka dia jadi kafir. Dan kalau dia kafir maka tidak sah berpuasa.
Perlu dicatat, seandainya pendapat Ibn Baz ini kita pakai, dampaknya bukan cuma tidak sah puasa, tetapi ada banyak dampak besar lainnya. Misalnya, gugur amal sebelumnya karena dianggap murtad. Istrinya menjadi haram karena salah satu pasangan telah murtad. Kemudian haram menikah dengan siapa pun. Sebab, orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Wallahu a'lam bishshawab
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’ pernah ditanya tentang orang yang berpuasa tetapi meninggalkan salat. Seperti dikutip dari Rumaysho, “Apabila seseorang hanya di bulan Ramadhan semangat melakukan puasa dan salat, namun setelah Ramadhan berakhir dia meninggalkan salat, apakah puasanya di bulan Ramadhan diterima?”
Jawaban:
“Salat merupakan salah satu rukun Islam. Salat merupakan rukun Islam terpenting setelah dua kalimat syahadat. Dan hukum shalat adalah wajib bagi setiap individu. Barangsiapa meninggalkan salat karena menentang kewajibannya atau meninggalkannya karena menganggap remeh dan malas-malasan, ia kafir. Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan dan mengerjakan salat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah) hanya pada bulan Ramadhan saja.”
Oleh karena itu, tidak sah puasa seseorang yang tidak melaksanakan salat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan salat) dinilai kafir dan telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tidak menentang kewajiban salat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.
Nabi SAW bersabda: “Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai salat, barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
Beliau SAW juga bersabda: “Inti (pokok) segala perkara adalah Islam, tiangnya (penopangnya) adalah salat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi dengan sanad shahih dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu)
“Pembatas antara seorang muslim dengan kekafiran dan kesyirikan adalah meninggalkan salat.” (HR Muslim dari Jabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy). (Sumber: Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-‘Ilmiyyah wa Al-Ifta’, pertanyaan ke-3, Fatawa No 102, 10: 139-141)
Sementara itu, Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA (Rumahfiqih.com) sebagaimana dilansir dari Rumah Aswaja menjelaskan, orang yang tidak mengerjakan ibadah wajib semisal salat lima waktu, tidak ada kaitannya dengan diterima atau tidaknya puasa yang dia lakukan. Yang penting untuk dicatat bahwa dosa besarnya karena tidak salat itu tidak membatalkan puasa yang dilakukannya. Sebab keduanya tidak saling menghalangi.
Meninggalkan salat tidak menghalangi sahnya puasa, sebagaimana tidak puasa juga tidak menghalangi sahnya salat. Kalau pun ada hubungannya, nanti di akhirat saat hitung-hitungan amal baik dan amal buruk. Ada dosa karena meninggalkan salat dengan sengaja, tapi ada juga pahala karena mengerjakan puasa.
Kesimpulannya, meski puasanya sah, tapi kalau meninggalkan salat tentu hukumnya berdosa besar. Dan hati-hati jangan sampai tekor pahala di hari akhirat nanti.
Bagaimana dengan dalil “orang yang tidak salat itu kafir”?
Meski banyak dalil dari hadis-hadis nabawi terkait batas kafir karena meninggalkan salat, namun yang disepakati para ulama dalam hal ini ketika seseorang meninggalkan salat sambil mengingkari kewajiban salat.
Sedangkan kalau meninggalkan salat tetepi masih meyakini kewajibannya, para ulama berbeda pendapat, apakah termasuk kafir atau tidak kafir.
Jumhur Ulama: Mengingkari Kewajiban
Jumhur ulama umumnya sepakat mengatakan berpendapat bahwa batas kafirnya adalah ketika seseorang meninggalkan salat seraya mengingkari kewajiban salat lima waktu. Bukan sekadar meninggalkan salat karena lalai atau malas. Dalam bahasa fiqih disebut dengan jahidu ash-shalah. Itupun tidak otomatis kafir, tetapi harus dilihat terlebih dahulu, apakah orang itu baru saja masuk Islam, atau dia tumbuh di lingkungan yang sama sekali jahil dari agama. Sehingga muncul di dalam pemahamannya bahwa shalat itu bukan sebuah kewajiban.
Untuk bisa sampai kepada status kafir, menurut jumhur ulama ada beberapa ketentuan, yaitu :
1. Mukallaf
Yang dimaksud dengan mukallaf adalah seseorang secara resmi memeluk agama Islam alias muslim, berakal, sudah baligh dan dalam keadaan dari udzur syar'i seperti haidh dan nifas.
2. Ingkar Kewajiban Salat Lima Waktu
Yang menjadi titik kekafirannya adalah ketika dia mengingkari kewajiban salat lima waktu di dalam agama Islam. Sebab salat merupakan pokok agama, bila diingkari maka gugurlah keislaman seseorang. Dalam hal ini bukan hanya salat, tetapi ingkar kepada salah satu rukun Islam yang lainnya pun ikut menggugurkan keislaman.
3. Bukan Orang Yang Baru Masuk Islam
Para ulama sepakat bahwa bila yang ingkar atas kewajiban salat itu ternyata orang yang baru saja masuk Islam, maka hal itu dimaklumi. Boleh jadi dia memang belum tahu ajaran Islam secara mendalam, sehingga keingkarannya bukan karena semata-mata menentang melainkan karena ketidaktahuan. Orang seperti ini tidak dikatakan sebagai kafir kalau meninggalkan salat walaupun dalam hatinya mengatakan bahwa shalat tidak wajib.
4. Tumbuh di Tengah Masyarakat Non Islam
Bisa saja dalama kasus-kasus tertentu seseorang sudah menjadi muslim sejak lahir, namun dia tumbuh di tengah lingkungan keluarga atau masyarakat yang jahil dan tidak mengerti agama sama sekali.
Pendapat Para Ulama:
1. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (Wafat 620 Hijriyah) mewakili Mazhab Al-Hanbali menuliskan di dalam kitabnya Al-Mughni sebagai berikut: “Orang yang tidak salat punya dua kemungkinan, yaitu dia mengingkari kewajibannya atau masih meyakini kewajibannya. Kalau dia mengingkari kewajibannya, diselidiki dulu, kalau dia jahil misalnya karena baru masuk Islam, atau dibesarkan di lingkungan terasing, maka diberitahu kewajibannya dan diajarkan tentang salat, dan tidak dikafirkan karena dia termasuk orang yang punya udzur.
Namun bila dia bukan orang yang jahil atas kewajiban salat, misalnya dibesarkan di tengah orang Islam di kota atau desa, maka dia tidak punya alasan dan tidak diterima pengakuan bahwa dirinya tidak tahu kewajiban salat, maka orang itu dihukumi kafir. Karena dalil-dalil kewajiban sudah nampak nyata di dalam kitab dan sunnah.
2. Syeikh Al-Utsaimin (Wafat 1421 Hijriyah) berpendapat meski seseorang tidak ingkar atas kewajiban salat, apabila dia selalu meninggalkan salat sepanjang hidupnya, maka dia sudah bisa dianggap kafir. Kalau cuma beberapa kali tidak salat dalam pandangan beliau tidak menjadi kafir. Tetapi kalau seumur-umur tidak pernah mengerjakan salat lima waktu, barulah bisa disebut kafir.
3. Syeikh Bin Baz (wafat 1420 Hijriyah) berpendapat kafir karena sekali tidak salat. Syeikh Bin Baz pernah menjadi mufti Kerajaan Saudi Arabia. Dalam kitabnya Nur 'ala Ad-Darbi menuliskan sebagai berikut: “Dalil ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan salat itu disebut kafir dan disebut musyrik. Itulah yang benar dan yang makruf di kalangan sahabat radhiyallahunahum. Dan ini menunjukkan bahwa meninggalkan salat itu di kalangan sahabat dianggap kafir akbar. Pelakunya adalah kafir dan musyrik. Dan pendapat ini yang lebih shahih di antara dua pendapat ulama yang mensyaratkan iingkar atas kewajibannya. Sedangkan ingkar atas kewajibannya memang kafir menurut semua pihak."
Pendapat yang mengatakan bahwa puasa seseorang tidak sah kalau dia tidak salat, kemungkinan dasarnya berasal dari fatwa Ibn Bazz ini. Dimana fatwa beliau menyebutkan sekali saja seorang muslim tidak shalat, maka dia jadi kafir. Dan kalau dia kafir maka tidak sah berpuasa.
Perlu dicatat, seandainya pendapat Ibn Baz ini kita pakai, dampaknya bukan cuma tidak sah puasa, tetapi ada banyak dampak besar lainnya. Misalnya, gugur amal sebelumnya karena dianggap murtad. Istrinya menjadi haram karena salah satu pasangan telah murtad. Kemudian haram menikah dengan siapa pun. Sebab, orang yang murtad itu statusnya tidak beragama. Wallahu a'lam bishshawab
(rhs)