Semiotika Lailatul Qadar

Senin, 04 Juni 2018 - 09:00 WIB
Semiotika Lailatul Qadar
Semiotika Lailatul Qadar
A A A
Ustaz Dr Miftah el-Banjary
Penulis dan Pakar Linguistik Arab Lulusan Institute of Arab Studies Cairo-Mesir
Malam Lailatul Qadar merupakan malam keberkahan yang keutamaan pahalanya lebih baik dari seribu bulan. Malam yang menjadi harapan dan dambaan setiap mukmin di belahan dunia. Pada malam itu, Allah perintahkan para malaikat untuk turun ke bumi untuk mengunjungi orang-orang mukmin yang beribadah bertepatan pada malam itu.

Menurut Imam Al-Ghazali di dalam Kitab Mukasyafatul Qulub, “Pada malam itu, dibukalah pintu langit hingga tembus ke alam malakut (demensi alam malaikat). Sehingga bagi sebagian orang mukmin yang terpilih mampu menyaksikan turunnya para malaikat pada malam itu.”

Di dalam Alquran, Allah Swt hanya menyebutkan keutamaannya di bulan Ramadhan, namun tidak menjelaskan secara eksplisit kapan malam mulia itu terjadi secara pasti. Allah memang sengaja merahasiakan turunnya malam lailatul qadar pada setiap tahun di bulan Ramadhan.

Hikmah dirahasiakan turunnnya malam lailatul qadar setiap tahunnya agar setiap orang mukmin bersungguh-sungguh menantikan dan memperolehnya sejak awal Ramadhan hingga akhirnnya. Ketiadaan informasi yang jelas tentang kapan turunnya malam keutamaan itu, bukan berarti tidak ada seorang pun yang mengetahuinya.

Para golongan arifin, para ulama dan orang-orang mukmin yang memang terpilih mampu mengenali malam yang bertepatan lailatul qadar melalui pertandanya. Mereka dapat mengenali sejumlah tanda-tanda yang memang secara implisit disebutkan sejumlah keterangan dari hadis-hadis Nabi Muhammad SAW.

Bahkan sejumlah golongan arifin, mampu memprediksikan terjadinya malam lailatul qadar itu berdasarkan pengalaman empiris dan pengetahuan mukasyafah yang Allah karuniakan melalui kebersihan hati mereka. Di antara sejumlah tokoh ulama besar yang mampu memperkirakan terjadinya malam lailatul qadar tersebut adalah Ibnu Abbas, Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Imam al-Ghazali dan Imam as-Syadzili.

Menurut Imam Ghazali bahwa malam lailatul qadar itu dapat diketahui dari sejumlah pertanda fenomena alam. Di antaranya pada malam itu, suasana cerah, hening dan nyaman, tidak dingin dan tidak pula panas, tidak pula hujan, atau gerimis. Bintang-bintang bersinar gemerlapan. Pada pagi harinya, matahari bersinar agak redup, disebabkan kepakan sayap malaikat yang turun naik silih berganti hingga fajar. (Lihat: Kitab Sairusalikin karya Syekh Abdusshamad al-Falimbani)

Menariknya, jika kita mengkaji sejumlah pertanda itu dan kemudian dihubungkan dengan teori keilmuan Barat. Ilmu semiotika misalnya, sebuah disiplin ilmu yang membahas tentang sistem tanda dalam komunikasi bahasa dan budaya, maka kita akan mendapati pendekatan kebenaran secara ilmiah. Salah satu teori yang dapat kita pergunakan untuk menganalisa fenomena ini dengan pendekatan semiotika siginifikansi Ferdinand de Saussure; seorang ahli linguistik dari Prancis. Ada hubungan antara “redupnya matahari di pagi hari” dan “Kepakan sayap para malaikat”.

Menurut Ferdinand de Saussure, dalam melihat sebuah tanda, salah satunya melihat adanya hubungan “sebab-akibat”, contohnya: adanya asap menunjukkan adanya api atau mendung menunjukkan akan terjadinya hujan.

Demikian pula, perubahan cuaca seperti redupnya sinar matahari di pagi hari yang seharusnya bersinar terang berubah menjadi redup, kita bisa melacaknya dari penyebab faktor alam atau mengkaitkanya pada sejumlah keyakinan yang menurut istilah Roland Barthes disebut dengan istilah “Mithos.”

Dalam konteks ini, kita dapat mencermati adanya hubungan antara signifier (kabut) dan signified (kepakan sayap malaikat), kemudian memunculkan sebuah interpretasi (penafsiran: malam lailatul qadar). Jadi dengan demikian, pertanda malam lailatul qadar akan semakin dapat diyakini kebenarannya setelah terjadi malam lailatul qadar itu, sebab ada pertanda yang menguatkannya, yaitu redupnya matahari di pagi hari.

Tentu saja, ada banyak pertanda lainnya yang dapat menunjukkan kebenaran malam lailatul qadar dari sejumlah prediksi dan fenomena tanda yang dijelaskan oleh para ulama. Meskipun kebenaran ilmiahnya dapat kita terima, namun kebenaran hakikatnya hanyalah Allah yang lebih mengetahui-Nya.

Sebagai seorang yang beriman, kita meyakini sejumlah pertanda itu, namun tanda itu bukanlah sebuah tujuan utama. Tujuan utama kita beribadah semata-mata mengharapkan ridha-Nya, bukan semata malam lailatul qadar. Itu hanya bonus. Syukur kita jika memperoleh keutamannya. Hal yang terpenting, doa yang diajarkan Rasulullullah pada malam mulia itu. “Ya Allah, aku meminta ridha-Mu dan surga-Mu dan aku berlindung dari azab api kemurkaan-Mu.”
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3164 seconds (0.1#10.140)