Puasa itu Membangun Solidaritas
A
A
A
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation
Pengalaman adalah guru sekaligus pengingat terbaik dalam hidup. Pengalaman adalah ilmu yang sejati. Pengalaman adalah realita dari sebuah peristiwa yang terjadi dalam perjalanan hidup kita yang berkebas dalam.
Puasa sesungguhnya adalah pengalaman nyata dalam membangun solidaritas kemanusiaan dan rasa simpati kepada mereka yang terpaksa atau dipaksa untuk mengalami pahit getirnya hidup ini. Satu di antara sekian pahit getirnya hidup saat ini adalah kemiskinan yang masih menghimpit sebagian saudara-saudara sesama manusia di sekitar kita. (Baca Juga: Puasa Itu Transformasi Karakter)
Bayangkan suatu saat anda bangun di pagi hari dalam keadaan lapar dan anda tidak memiliki sesuap nasi, atau segelas air bersih untuk sekadar diminum. Atau di malam hari anda terpaksa tidur beratap langit-langit, dalam keadaan basah kuyup kehujanan.
Atau mungkin anda harus berlindung dari teriknya mentari di siang hari atau dinginnya angin di malam hari di bawah kolong-kolong jembatan. Di saat itu anak terbangun di tengah malam menahan lapar. (Baca Juga: Puasa itu Proses Menghadirkan Allah)
Kira-kira bagaimana perasaan ketika itu? Pernahkah kita bahkan sekadar membayangkan seperti apa yang dirasakan oleh saudara-saudara yang mengalaminya?
Kita yang mungkin berada di posisi yang menguntungkan (fortunate) belum merasakan itu. Bahkan kita tahu penderitaan orang lain. Akan tetapi belum merasakannya, kita mungkin gagal membangun rasa simpati dan solidaritas itu. Apalagi bergerak untuk melakukan aksi agar Saudara kita itu bisa terlepas dari himpitan kesulitannya.
Puasa yang kita lakukan ini hendaknya melatih rasa kemanusiaan itu. Harusnya menumbuhkan tenggang rasa atau solidaritas terhadap mereka yang kesulitan.
Puasa yang tidak melahirkan rasa kasih dan tenggang rasa terhadap sesama boleh jadi puasa yang masih sebatas sekadar menunaikan kewajiban. Tapi tidak membawa manfaat besar bagi kehidupan kemanusiaan kita.
Puasa dan ibadah yang tidak membawa manfaat secara sosial ini boleh jadi juga tidak memiliki nilai tambah (value) di sisi Allah Yang Maha Rahman.
Ada sebuah cerita yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada seorang ahli ibadah bernama Syeikh Abu bin Hasyim, yang hebat dalam melakukan salat tahajjud.
Bertahun-tahun Syeikh itu tidak pernah meninggalkan salat tahajjud maupun ibadah-ibadah lainnya. Konsisten dalam melakukannya dan sungguh-sungguh.
Hingga pada suatu malam ketika hendak mengambil air wudhu untuk salat malam atau tahajjud, beliau dikejutkan oleh kehadiran satu makhluk yang duduk di tepi telaganya.
Beliau menegur dan bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?”
Sambil tersenyum, makhluk itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah".
Abu Bin Hasyim terkejut tapi sekaligus bangga karena telah didatangi oleh malaikat yang mulia. Apalagi di saat akan melakukan ibadah malamnya.
Beliau lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba-hamba pecinta Allah.”
Malaikat itu memegang sebuah kitab tebal di tangannya. Syeikh Abu bin Hasyim pun bertanya, “Wahai Malaikat, buku apakah yang engkau bawa?”
Malaikat menjawab; “Buku ini memuat nama-nama hamba-yang masuk dalam daftar pencinta Allah.”
Mendengar jawaban Malaikat itu, Abu bin Hasyim berharap dalam hati kiranya namanya ada dalam daftar nama-nama yang dicatat sebagai precinta Allah itu.
Maka ditanyalah kepada Malaikat. “Wahai Malaikat, adakah namaku di situ ?”
Sang Syeikh sangat yakin jika namanya ada di dalam buku itu. Tentu karena amalan ibadahnya yang selama ini tidak putus-putus dalam mengerjakan salat tahajjud setiap malam, berdo’a dan juga bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, setiap hari.
“Baiklah, aku carikan namanya,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya.
Dan, ternyata sang Malaikat itu tidak menemukan nama Abu bin Hasyim dalam buku tersebut.
Tidak percaya, Syeikh Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencari namanya sekali lagi.
“Betul... namamu tidak ada dalam buku ini!” kata Malaikat.
Abu bin Hasyim pun gementar, sedih bercampur takut, dan jatuh tersungkur di depan Malaikat, menangis sekerasnya.
“Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan munajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pencinta Allah,” ratapnya.
Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur. Engkau mengambil air wudhu dan menahan dinginnya malam ketika orang lain terlelap dalam kehangatan buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah menuliskan namamu.”
“Apakah gerangan penyebab sehingga engkau dilarang oleh Allah menuliskan namaku?” tanya Abu bin Hasyim.
Malaikat kemudian menatapnya dan berkata: “Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga ke mana-mana.
Engkau asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Sedang di kanan kirimu ada orang sakit, ada orang lapar, ada orang sedang sedih, tidak engkau tengok dan perhatikan.
Mereka itu mungkin ibumu, mungkin adikmu, mungkin sahabatmu. Atau mungkin juga cuma saudara seagama denganmu, bahkan mungkin cuma sekadar saudara sesama manusia, dan tetanggamu.
Tapi kenapa engkau tak peduli pada mereka? kenapa?
Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah jika engkau tidak pernah peduli dan mencintai hamba-hamba yang Allah ciptakan?”
Demikian malaikat menyampaikan kepada Abu bin Hasyim, seolah menasehati atas kelalaian yang selama ini dilakukannya. Mendegar itu Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang hari.
Dia tersadar kini jika ibadah manusia tidaklah sekedar kepada Allah semata (hablumminAllah), tetapi juga kepada sesama manusia (hablumminannas), bahkan juga kepada alam.
Cerita di atas saya kutip dari buku Mukasyafatul Qulub Karya Imam Al Ghazali. Sebuah cerita yang serius. Mengingatkan betapa ibadah-ibadah yang kita lakukan justeru masih sering menambah keegoan kita.
Semoga puasa yang kita lakukan kali ini tidak saja mampu membangun relasi vertikal dengan Allah. Tapi juga mampu membangun rasa simpati dan solidaritas dengan sesama. Puasa yang menumbuh suburkan empati kita kepada mereka yang belum beruntung (unfortunate). Semoga!
Presiden Nusantara Foundation
Pengalaman adalah guru sekaligus pengingat terbaik dalam hidup. Pengalaman adalah ilmu yang sejati. Pengalaman adalah realita dari sebuah peristiwa yang terjadi dalam perjalanan hidup kita yang berkebas dalam.
Puasa sesungguhnya adalah pengalaman nyata dalam membangun solidaritas kemanusiaan dan rasa simpati kepada mereka yang terpaksa atau dipaksa untuk mengalami pahit getirnya hidup ini. Satu di antara sekian pahit getirnya hidup saat ini adalah kemiskinan yang masih menghimpit sebagian saudara-saudara sesama manusia di sekitar kita. (Baca Juga: Puasa Itu Transformasi Karakter)
Bayangkan suatu saat anda bangun di pagi hari dalam keadaan lapar dan anda tidak memiliki sesuap nasi, atau segelas air bersih untuk sekadar diminum. Atau di malam hari anda terpaksa tidur beratap langit-langit, dalam keadaan basah kuyup kehujanan.
Atau mungkin anda harus berlindung dari teriknya mentari di siang hari atau dinginnya angin di malam hari di bawah kolong-kolong jembatan. Di saat itu anak terbangun di tengah malam menahan lapar. (Baca Juga: Puasa itu Proses Menghadirkan Allah)
Kira-kira bagaimana perasaan ketika itu? Pernahkah kita bahkan sekadar membayangkan seperti apa yang dirasakan oleh saudara-saudara yang mengalaminya?
Kita yang mungkin berada di posisi yang menguntungkan (fortunate) belum merasakan itu. Bahkan kita tahu penderitaan orang lain. Akan tetapi belum merasakannya, kita mungkin gagal membangun rasa simpati dan solidaritas itu. Apalagi bergerak untuk melakukan aksi agar Saudara kita itu bisa terlepas dari himpitan kesulitannya.
Puasa yang kita lakukan ini hendaknya melatih rasa kemanusiaan itu. Harusnya menumbuhkan tenggang rasa atau solidaritas terhadap mereka yang kesulitan.
Puasa yang tidak melahirkan rasa kasih dan tenggang rasa terhadap sesama boleh jadi puasa yang masih sebatas sekadar menunaikan kewajiban. Tapi tidak membawa manfaat besar bagi kehidupan kemanusiaan kita.
Puasa dan ibadah yang tidak membawa manfaat secara sosial ini boleh jadi juga tidak memiliki nilai tambah (value) di sisi Allah Yang Maha Rahman.
Ada sebuah cerita yang menyebutkan bahwa pada zaman dahulu ada seorang ahli ibadah bernama Syeikh Abu bin Hasyim, yang hebat dalam melakukan salat tahajjud.
Bertahun-tahun Syeikh itu tidak pernah meninggalkan salat tahajjud maupun ibadah-ibadah lainnya. Konsisten dalam melakukannya dan sungguh-sungguh.
Hingga pada suatu malam ketika hendak mengambil air wudhu untuk salat malam atau tahajjud, beliau dikejutkan oleh kehadiran satu makhluk yang duduk di tepi telaganya.
Beliau menegur dan bertanya, “Wahai hamba Allah, siapakah Engkau?”
Sambil tersenyum, makhluk itu berkata; “Aku Malaikat utusan Allah".
Abu Bin Hasyim terkejut tapi sekaligus bangga karena telah didatangi oleh malaikat yang mulia. Apalagi di saat akan melakukan ibadah malamnya.
Beliau lalu bertanya, “Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”
Malaikat itu menjawab, “Aku disuruh mencari hamba-hamba pecinta Allah.”
Malaikat itu memegang sebuah kitab tebal di tangannya. Syeikh Abu bin Hasyim pun bertanya, “Wahai Malaikat, buku apakah yang engkau bawa?”
Malaikat menjawab; “Buku ini memuat nama-nama hamba-yang masuk dalam daftar pencinta Allah.”
Mendengar jawaban Malaikat itu, Abu bin Hasyim berharap dalam hati kiranya namanya ada dalam daftar nama-nama yang dicatat sebagai precinta Allah itu.
Maka ditanyalah kepada Malaikat. “Wahai Malaikat, adakah namaku di situ ?”
Sang Syeikh sangat yakin jika namanya ada di dalam buku itu. Tentu karena amalan ibadahnya yang selama ini tidak putus-putus dalam mengerjakan salat tahajjud setiap malam, berdo’a dan juga bermunajat kepada Allah SWT di sepertiga malam, setiap hari.
“Baiklah, aku carikan namanya,” kata Malaikat sambil membuka kitab besarnya.
Dan, ternyata sang Malaikat itu tidak menemukan nama Abu bin Hasyim dalam buku tersebut.
Tidak percaya, Syeikh Abu bin Hasyim meminta Malaikat mencari namanya sekali lagi.
“Betul... namamu tidak ada dalam buku ini!” kata Malaikat.
Abu bin Hasyim pun gementar, sedih bercampur takut, dan jatuh tersungkur di depan Malaikat, menangis sekerasnya.
“Rugi sekali diriku yang selalu tegak berdiri di setiap malam dalam tahajud dan munajat, tetapi namaku tidak masuk dalam golongan para hamba pencinta Allah,” ratapnya.
Melihat itu, Malaikat berkata, “Wahai Abu bin Hasyim! Bukan aku tidak tahu engkau bangun setiap malam ketika yang lain tidur. Engkau mengambil air wudhu dan menahan dinginnya malam ketika orang lain terlelap dalam kehangatan buaian malam. Tapi tanganku dilarang Allah menuliskan namamu.”
“Apakah gerangan penyebab sehingga engkau dilarang oleh Allah menuliskan namaku?” tanya Abu bin Hasyim.
Malaikat kemudian menatapnya dan berkata: “Engkau memang bermunajat kepada Allah, tapi engkau pamerkan dengan rasa bangga ke mana-mana.
Engkau asyik beribadah memikirkan diri sendiri. Sedang di kanan kirimu ada orang sakit, ada orang lapar, ada orang sedang sedih, tidak engkau tengok dan perhatikan.
Mereka itu mungkin ibumu, mungkin adikmu, mungkin sahabatmu. Atau mungkin juga cuma saudara seagama denganmu, bahkan mungkin cuma sekadar saudara sesama manusia, dan tetanggamu.
Tapi kenapa engkau tak peduli pada mereka? kenapa?
Bagaimana mungkin engkau dapat menjadi hamba pencinta Allah jika engkau tidak pernah peduli dan mencintai hamba-hamba yang Allah ciptakan?”
Demikian malaikat menyampaikan kepada Abu bin Hasyim, seolah menasehati atas kelalaian yang selama ini dilakukannya. Mendegar itu Abu bin Hasyim seperti disambar petir di siang hari.
Dia tersadar kini jika ibadah manusia tidaklah sekedar kepada Allah semata (hablumminAllah), tetapi juga kepada sesama manusia (hablumminannas), bahkan juga kepada alam.
Cerita di atas saya kutip dari buku Mukasyafatul Qulub Karya Imam Al Ghazali. Sebuah cerita yang serius. Mengingatkan betapa ibadah-ibadah yang kita lakukan justeru masih sering menambah keegoan kita.
Semoga puasa yang kita lakukan kali ini tidak saja mampu membangun relasi vertikal dengan Allah. Tapi juga mampu membangun rasa simpati dan solidaritas dengan sesama. Puasa yang menumbuh suburkan empati kita kepada mereka yang belum beruntung (unfortunate). Semoga!
(rhs)