Bagaimana Adab Murid kepada Guru? Ini Kata Imam Al-Ghazali
A
A
A
Dalam Alqur'an dijelaskan bahwa Allah Ta'ala meninggikan orang-orang yang beriman dan orang yang berilmu beberapa derajat. Islam sangat memuliakan ilmu sehingga para guru ataupun mu'allim yang mengajarkan ilmu wajib dihormati dan dimuliakan.
Kemarin, Senin (25/11/2019) bertepatan peringatan hari guru nasional. Sepatutnya pula kita memuliakan dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Bagaimana adab kita memperlakukan guru? Berikut penjelasan ulama besar Imam Al-Ghazali (1058-1111) yang dinukil dari Kitab Bidayatul Hidayah.
Jika engkau seorang murid, maka adab yang harus dimiliki seorang murid terhadap gurunya adalah mendahuluinya dalam memberi hormat dan salam. Tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak bertanya sebelum diberi izin.
Kemudian, kata Imam Al-Ghazali, seorang murid tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan berkata "Pendapat si fulan berbeda dengan dengan ucapanmu". Ketika berada di majelis ilmu atau sekolah, seorang murid tidak menoleh ke sekitarnya, melainkan ia harus duduk tenang menundukkan pandangannya disertai sikap menjunjung etika.
Murid juga tak boleh banyak bertanya ketika guru sedang bosan. Jika guru berdiri maka sang murid juga harus berdiri untuknya, tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah. Kemudian, murid tidak boleh berburuk sangka pada perbuatan yang secara lahiriah tidak bisa diterima, karena guru lebih mengetahui rahasia dibalik itu semua.
Kisah Nabi Musa Mencari Ilmu
Pelajaran hikmah bisa kita petik dari kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir 'alaihissalam (AS). Ketika Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidir "Apakah engkau sengaja melubangi perahu itu untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah melakukan kesalahan yang besar" (Al-Kahfi: 71). Nabi Musa salah dalam menyikapi perbuatan Nabi Khidir karena bersandar pada apa yang tampak secara lahir.
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ini dikisahkan dalam Alqur'an Surah Al-Kahfi ayat 60-82 dan Hadis Nabi. Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa itu bernama Yusya 'bin Nun.
Dari Ubay bin Ka'ab, Rasulullah SAW bersabda, "Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, 'Siapakah orang yang paling pandai itu?' Musa menjawab, 'Aku.' Karena ucapan itu, Allah menegur Musa karena tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada-Nya. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, 'Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!'
Musa bertanya, 'Ya Rabb, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, "Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!". Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama Yusya' bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Tiba-tiba ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali. Keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.'
Setibanya mereka di batu itu, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Nabi Khidir bertanya, "Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?" Musa menjawab, 'Aku adalah Musa. Khidir bertanya, Musa yang dari Bani Israil?’ Musa menjawab, "Benar!"
"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (QS. Al-Kahfi: 66-67)
Khidir berkata, "Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya."
Musa berkata, Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69).
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal itu agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, "Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!"
Khidir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidir melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, "Penumpang kapal ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?"
Khidir menjawab, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku." Musa berkata, 'Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.' (QS. Al-Kahfi: 72-73).
Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama temannya. Tiba-tiba Khidir menarik rambut anak itu dan membunuhnya. Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar." (QS. Al-Kahfi: 74).
Khidir menjawab, "Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya menemukan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Khidir berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (QS Al-Kahfi ayat 60-82)
Adab Seorang Guru
Jika engkau seorang alim (guru), maka adab yang harus diperhatikan adalah sabar, selalu santun, duduk dengan wibawa disertai kepala yang tunduk, bersikap tawadu' dalam setiap majelis dan pertemuan.
Kemudian, tidak bersenda gurau, menyayangi murid, berhati-hati terhadap orang sombong, tidak malu untuk mengaku tidak tahu, memperhatikan pertanyaan muridnya dan berusaha memahami pertanyaannya. Mau menerima hujjah dan mengikuti yang benar dengan kembali kepadaNya manakala ia salah.
Seorang guru juga melarang murid mempelajari ilmu berbahaya dan mengingatkannya murid agar tidak menuntut ilmu kecuali mencari rida Allah. Melarang murid sibuk dengan hal-hal bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan fardu ain (memperbaiki yang lahir dan batinnya dengan takwa). Seorang guru juga harus membekali dirinya terlebih dahulu dengan sikap takwa agar murid bisa mencontohnya kemudian mengambil manfaat dari ucapannya. Allahu A'lam.
Kemarin, Senin (25/11/2019) bertepatan peringatan hari guru nasional. Sepatutnya pula kita memuliakan dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Bagaimana adab kita memperlakukan guru? Berikut penjelasan ulama besar Imam Al-Ghazali (1058-1111) yang dinukil dari Kitab Bidayatul Hidayah.
Jika engkau seorang murid, maka adab yang harus dimiliki seorang murid terhadap gurunya adalah mendahuluinya dalam memberi hormat dan salam. Tidak banyak berbicara di hadapannya, tidak bertanya sebelum diberi izin.
Kemudian, kata Imam Al-Ghazali, seorang murid tidak mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan ucapannya, misalnya dengan berkata "Pendapat si fulan berbeda dengan dengan ucapanmu". Ketika berada di majelis ilmu atau sekolah, seorang murid tidak menoleh ke sekitarnya, melainkan ia harus duduk tenang menundukkan pandangannya disertai sikap menjunjung etika.
Murid juga tak boleh banyak bertanya ketika guru sedang bosan. Jika guru berdiri maka sang murid juga harus berdiri untuknya, tidak diikuti dengan pembicaraan dan pertanyaan, tidak bertanya kepadanya dalam perjalanan menuju rumah. Kemudian, murid tidak boleh berburuk sangka pada perbuatan yang secara lahiriah tidak bisa diterima, karena guru lebih mengetahui rahasia dibalik itu semua.
Kisah Nabi Musa Mencari Ilmu
Pelajaran hikmah bisa kita petik dari kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir 'alaihissalam (AS). Ketika Nabi Musa bertanya kepada Nabi Khidir "Apakah engkau sengaja melubangi perahu itu untuk menenggelamkan penumpangnya? Sungguh kamu telah melakukan kesalahan yang besar" (Al-Kahfi: 71). Nabi Musa salah dalam menyikapi perbuatan Nabi Khidir karena bersandar pada apa yang tampak secara lahir.
Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir ini dikisahkan dalam Alqur'an Surah Al-Kahfi ayat 60-82 dan Hadis Nabi. Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa itu bernama Yusya 'bin Nun.
Dari Ubay bin Ka'ab, Rasulullah SAW bersabda, "Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan Bani Israil, kemudian ada seseorang yang bertanya, 'Siapakah orang yang paling pandai itu?' Musa menjawab, 'Aku.' Karena ucapan itu, Allah menegur Musa karena tidak mengembalikan pengetahuan suatu ilmu kepada-Nya. Kemudian Allah mewahyukan kepada Musa, 'Sesungguhnya Aku memiliki seorang hamba yang berada di pertemuan antara laut Persia dan Romawi, hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!'
Musa bertanya, 'Ya Rabb, bagaimana caranya agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka dijawab, "Bawalah seekor ikan yang kamu masukkan ke dalam suatu tempat, di mana ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku itu berada!". Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi bersama Yusya' bin Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di sebuah batu besar. Tiba-tiba ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali. Keduanya terus menyusuri dari siang hingga malam hari. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula.'
Setibanya mereka di batu itu, mereka mendapati seorang lelaki yang tertutup kain, lalu Musa memberi salam kepadanya. Nabi Khidir bertanya, "Berasal dari manakah salam yang engkau ucapkan tadi?" Musa menjawab, 'Aku adalah Musa. Khidir bertanya, Musa yang dari Bani Israil?’ Musa menjawab, "Benar!"
"Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" Dia menjawab, "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku." (QS. Al-Kahfi: 66-67)
Khidir berkata, "Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja, yang aku tidak mengetahuinya."
Musa berkata, Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69).
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-bincang dengan para penumpang kapal itu agar berkenan membawa serta mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidir, lalu penumpang kapal itu membawa keduanya tanpa diminta upah.
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir memberitahu Musa, "Wahai Musa, ilmuku dan ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah, kecuali seperti paruh burung yang meminum air laut tadi!"
Khidir lalu menuju salah satu papan perahu, kemudian Khidir melubanginya. Melihat kejanggalan ini Musa bertanya, "Penumpang kapal ini telah bersedia membawa serta kita tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau sengaja melubangi kapal mereka? Apakah engkau lakukan itu dengan maksud menenggelamkan penumpangnya?"
Khidir menjawab, "Bukankah aku telah berkata, 'Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku." Musa berkata, 'Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku.' (QS. Al-Kahfi: 72-73).
Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan Musa, kemudian keduanya melanjutkan perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang anak laki-laki sedang bermain bersama temannya. Tiba-tiba Khidir menarik rambut anak itu dan membunuhnya. Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar." (QS. Al-Kahfi: 74).
Khidir menjawab, "Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?" (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian keduanya menemukan di negeri itu dinding rumah yang hampir roboh. Khidir berkata bahwa, melalui tangannya, dia menegakkan dinding itu. Musa berkata, "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
Khidir berkata, "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu, kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya". (QS Al-Kahfi ayat 60-82)
Adab Seorang Guru
Jika engkau seorang alim (guru), maka adab yang harus diperhatikan adalah sabar, selalu santun, duduk dengan wibawa disertai kepala yang tunduk, bersikap tawadu' dalam setiap majelis dan pertemuan.
Kemudian, tidak bersenda gurau, menyayangi murid, berhati-hati terhadap orang sombong, tidak malu untuk mengaku tidak tahu, memperhatikan pertanyaan muridnya dan berusaha memahami pertanyaannya. Mau menerima hujjah dan mengikuti yang benar dengan kembali kepadaNya manakala ia salah.
Seorang guru juga melarang murid mempelajari ilmu berbahaya dan mengingatkannya murid agar tidak menuntut ilmu kecuali mencari rida Allah. Melarang murid sibuk dengan hal-hal bersifat fardu kifayah sebelum menyelesaikan fardu ain (memperbaiki yang lahir dan batinnya dengan takwa). Seorang guru juga harus membekali dirinya terlebih dahulu dengan sikap takwa agar murid bisa mencontohnya kemudian mengambil manfaat dari ucapannya. Allahu A'lam.
(rhs)