Kisah Imam Al-Ghazali saat Mengalami Krisis Kepercayaan
loading...
A
A
A
Pada tahun 1095, Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, atau lebih terkenal dengan nama Al-Ghazali mengalami krisis kepercayaan diri. Beberapa orang menganggap al-Ghazali mendapat gangguan mental. Dia berhenti dari pekerjaannya dan menghabiskan dasawarsa berikutnya untuk mengembara di dunia Muslim.
Dalam pengembaraannya, al-Ghazali mempertanyakan semua hal yang sebelumnya dia anggap benar.
Eamon Gearon dalam bukunya berjudul "Turning Points in Middle Eastern History" mengungkap Al-Ghazali telah memulainya terlebih dahulu (meragukan segala sesuatu) dibandingkan dengan Bapak Filsafat Modern Eropa, yakni René Descartes, 500 tahun kemudian. Apa yang al-Ghazali pikirkan, pada masa itu merupakan hal yang baru.
Meskipun bepergian dengan gaya hidup sufi yang sederhana, nyatanya ketenarannya masih membuatnya sering dikenali ketika dia singgah dari kota ke kota.
Dalam karya otobiografinya yang berjudul al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan), al-Ghazali menceritakan bagaimana dia pertama-tama pergi ke Damaskus dan hidup sebagai sufi, mengubah seluruh gaya hidupnya yang nyaman ke dalam kesederhanaan, perenungan, dan kesendirian.
Al-Munqidh min al-Dalal adalah karya al-Ghazali yang sangat personal, yang isinya menunjukkan tentang kerendahan hati dan keraguan.
Di dalamnya al-Ghazali berkisah: suatu hari, saat memasuki sebuah Masjid, dia mendengar seorang pengkhotbah memuji karya-karyanya. Bukannya terkesan, al-Ghazali malah terburu-buru pergi dari tempat tersebut, dia khawatir Iblis akan menguasai dirinya dengan kesombongan.
Di dalam Al-Munqidh min al-Dalal al-Ghazali berkata tentang keputusasaan dan keraguan, “Sekarang keputusasaan telah menimpaku, tidak ada gunanya mempelajari masalah kecuali berdasarkan apa yang terbukti dengan sendirinya, yaitu, kebenaran yang diperlukan dan penegasan akan kesadaran. Aku harus terlebih dahulu membawa ini untuk dinilai agar aku yakin mengenai hal ini.”
Dia menyerahkan semua uang dan harta benda duniawinya, dan mengembara ke Yerusalem. Di kota itu, dia melihat Dome of the Rock dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah dan Madinah.
Secara keseluruhan, al-Ghazali menghabiskan sebagian besar dekade pengembaraan dengan keraguan tentang kehidupan dan ragam pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Selanjutnya dia kembali ke Nishapur, dia tinggal di sana hanya beberapa kilometer dari kampung halamannya.
Lihat Juga: Kisah Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama Nusantara yang Kuasai Perdagangan Internasional
Dalam pengembaraannya, al-Ghazali mempertanyakan semua hal yang sebelumnya dia anggap benar.
Eamon Gearon dalam bukunya berjudul "Turning Points in Middle Eastern History" mengungkap Al-Ghazali telah memulainya terlebih dahulu (meragukan segala sesuatu) dibandingkan dengan Bapak Filsafat Modern Eropa, yakni René Descartes, 500 tahun kemudian. Apa yang al-Ghazali pikirkan, pada masa itu merupakan hal yang baru.
Meskipun bepergian dengan gaya hidup sufi yang sederhana, nyatanya ketenarannya masih membuatnya sering dikenali ketika dia singgah dari kota ke kota.
Dalam karya otobiografinya yang berjudul al-Munqidh min al-Dalal (Pembebasan dari Kesalahan), al-Ghazali menceritakan bagaimana dia pertama-tama pergi ke Damaskus dan hidup sebagai sufi, mengubah seluruh gaya hidupnya yang nyaman ke dalam kesederhanaan, perenungan, dan kesendirian.
Al-Munqidh min al-Dalal adalah karya al-Ghazali yang sangat personal, yang isinya menunjukkan tentang kerendahan hati dan keraguan.
Di dalamnya al-Ghazali berkisah: suatu hari, saat memasuki sebuah Masjid, dia mendengar seorang pengkhotbah memuji karya-karyanya. Bukannya terkesan, al-Ghazali malah terburu-buru pergi dari tempat tersebut, dia khawatir Iblis akan menguasai dirinya dengan kesombongan.
Di dalam Al-Munqidh min al-Dalal al-Ghazali berkata tentang keputusasaan dan keraguan, “Sekarang keputusasaan telah menimpaku, tidak ada gunanya mempelajari masalah kecuali berdasarkan apa yang terbukti dengan sendirinya, yaitu, kebenaran yang diperlukan dan penegasan akan kesadaran. Aku harus terlebih dahulu membawa ini untuk dinilai agar aku yakin mengenai hal ini.”
Dia menyerahkan semua uang dan harta benda duniawinya, dan mengembara ke Yerusalem. Di kota itu, dia melihat Dome of the Rock dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Makkah dan Madinah.
Secara keseluruhan, al-Ghazali menghabiskan sebagian besar dekade pengembaraan dengan keraguan tentang kehidupan dan ragam pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalanya.
Selanjutnya dia kembali ke Nishapur, dia tinggal di sana hanya beberapa kilometer dari kampung halamannya.
Lihat Juga: Kisah Samudera Pasai, Kerajaan Islam Pertama Nusantara yang Kuasai Perdagangan Internasional
(mhy)