Inilah Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih (2)

Kamis, 19 Desember 2019 - 15:21 WIB
Inilah Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih (2)
Inilah Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih (2)
A A A
Ustaz Muhammad Ajib
Pengajar Rumah Fiqih Indonesia (RFI)
Lulusan Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta Konsentrasi Ilmu Syariah

Bagi orang awam mungkin sedikit bingung dan bertanya-tanya kenapa para ulama banyak berbeda pendapat. Apa sih penyebab adanya perbedaan ulama ahli fiqih ini. Berikut akan kita dijelaskan satu persatu.

1. Perbedaan Qira'at.
Dalam cabang ilmu Al-Qur'an kita akan temukan ada beberapa bacaan atau qiro'at yang berbeda-beda yang dikenal dengan istilah qiro'ah sab'ah. Hanya gara-gara perbedaan qiro'at inilah nanti bisa menyebabkan perbedaan dalam kesimpulan hukum. Contoh fiqih dalam masalah ini adalah firman Allah Ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُواْ بِرُؤُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَين

Hai orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mengerjakan salat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku dan usaplah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki... (QS. Al-Maidah: 6)

Ulama ahli qiro'ah seperti Imam Nafi', Ibnu Amir dan Al-Kisa'i membaca lafadz (وَأَرْجُلَكُمْ) dengan huruf lam di fathah. Sementara imam Ibnu Katsir, Abu Umar dan Hamzah membaca lafadz (وَأَرْجُلِكُمْ) dengan huruf lam di kasroh.

Bagi ulama yang membaca lafadz tersebut dengan huruf lam difathah maka kaki dalam bab wudhu itu harus dibasuh. Adapun ulama yang membaca lafadz tersebut dengan lam di kasroh maka kaki itu cukup dengan diusap saja dan tidak perlu dibasuh.

2. Belum Sampainya Hadis.
Bisa jadi karena saking banyaknya riwayat hadis dan belum ada pembukuan hadits di zaman itu menyebabkan kemungkinan terjadinya ada salah satu hadis yang belum sampai kepada ulama satu dan ulama lain sudah mengetahui adanya riwayat hadits tersebut. Sehingga hukumnya pun nanti bisa berbeda-beda.

Sebagai contoh adalah masalah status hukum puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan Ramadhan. Dan ini terjadi pada masa sahabat. Abu Hurairah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan Ramadhan itu tidak sah.

مَنْ أَصْبَحَ جُنُباً فَلاَ صَوْمَ لَهُ
Dari Abu Hurairah dia berkata: orang yang masuk waktu subuh dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah (HR. Bukhari)

Beliau berpandangan seperti itu sebab belum sampainya riwayat Aisyah kepada beliau. Sedangkan Aisyah berpendapat bahwa puasanya orang yang junub karena bangun kesiangan di bulan ramadhan itu tetap sah. Hal ini berdasarkan hadits yang beliau riwayatkan sendiri yaitu :
أَنَّ اَلنَّبِي صلى الله عليه وسلم كَانَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ

Dari Aisyah dan Ummi Salamah radhiyallahuanhuma bahwa Nabi SAW memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima'’, kemudian beliau mandi dan berpuasa. (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Perbedaan Menilai Status Hadis.
Penilaian sebuah hadis itu bukan berasal dari Nabi Muhammad SAW. Sebab Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengatakan ini hadits shahih, ini hadits hasan dan ini hadits dha'if. Penilaian hadis itu muncul berdasarkan ijtihad masing-masing para ulama. Bisa jadi ulama satu mengatakan haditsnya dho'if sementara ulama lainnya mengatakan hadits tersebut shahih. Nah, gara gara penilaian status hadis yang berbeda-beda sehingga menyebabkan perbedaan pula dalam kesimpulan hukumnya.

Contoh dalam kasus ini adalah masalah hukum membaca doa qunut dalam shalat subuh. Mazhab Hanafi dan Madzhab Hanbali berpandangan bahwa Hadits tentang qunut shubuh itu statusnya dhoif, sehingga kesimpulannya qunut shubuh itu tidak disyariatkan bahkan hukumnya bisa jadi bid’ah. Sementara mazhab Maliki dan Madzhab Syafi'i berpandangan bahwa hadis qunut shubuh itu haditsnya shohih. Nah, gara-gara perbedaan dalam menilai status hadis ini menyebabkan adanya perbedaan hukum doa qunut dalam shalat subuh. Hadis yang dimaksud adalah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Anas.
مَا زَال رَسُول اللَّهِ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا

Rasulullah SAW tetap melakukan qunut pada salat fajr (shubuh) hingga beliau meninggal dunia. (HR. Ahmad).

عَنْ أنَسٍ أَنَّ النَّبِي قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَيْهِمْ ثُمَّ تَرَكَهَ فَأَمَّا فِي الصُّبْحِ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ حَتىَّ فَارَقَ الدُّنْيَا
Dari Anas bin Malik radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW melakukan doa qunut selama sebulan mendoakan keburukan untuk mereka, kemudian meninggalkannya. Sedangkan pada shalat shubuh, beliau tetap melakukan doa qunut hingga meninggal dunia. (HR. Al-Baihaqi)

Hadits ini dishahihkan oleh ulama Syafi'iyah dan ulama hadits lainnya. Sebagaimana yang dijelaskan imam Nawawi dalam kitab al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab bahwa Derajat hadits ini dinyatakan shahih menurut beberapa ulama hadits, di antaranya Al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhi. Mereka mengatakan bahwa sanad ini shahih dan para rawinya Tsiqah. Al-Hakim dalam kitab Al-Arbainnya berkata bahwa hadits ini shahih. Diriwayatkan juga oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang shahih. Sementara ulama yang lainnya menilai hadits tersebut termasuk hadits dhaif. (Bersambung)

[Baca Juga: Inilah Sebab-sebab Perbedaan Ulama Fiqih (1)]
(rhs)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5402 seconds (0.1#10.140)